Sudah banyak konsumen yang mengendarai Chevy, minum Coke, belanja di Tarjay, dan makan di MickeyD selama beberapa puluhan tahun. Namun, saat interaksi brand kebanyakan beralih ke dunia maya, bagaimana seharusnya para marketer menggunakan julukan-julukan tersebut di dunia digital?
Dalam suatu studi yang baru-baru ini dilakukan, kami meneliti bagaimana julukan brand dapat memengaruhi interaksi konsumen dengan brand tersebut serta menilai seberapa kredibel komunikasi dari brand tersebut. Pada bagian pertama dalam penelitian, kami melakukan analisa pada lebih dari 10,000 konsumen yang membagikan tweet mengenai 3 brand terkenal, dan kami membandingkan jumlah share serta like postingan yang menggunakan tagar nama brand resmi (contoh: #chevrolet, #buffalowildwings, dan #newenglandpatriots) dengan postingan yang menggunakan tagar julukan brand (contoh: #chevy, #bdubs, dan #pats). Hasilnya kami menemukan jika julukan pada brand memiliki dampak positif pada interaksi di sosial media: Rata-rata, tweet yang menggunakan tagar julukan dibagikan 2 kali lebih banyak dan disukai 3 kali lebih banyak dibandingkan dengan tweet yang menggunakan tagar nama resmi.
Akan tetapi, akan jadi berbeda ketika ketika Anda mengamati postingan tertulis dari perusahaan. Kami telah melakukan 6 studi susulan yang melibatkan lebih dari 1500 konsumen Amerika. Dalam penelitian ini, kami membandingkan bagaimana orang merespon julukan brand di postingan Instagram dan Twitter yang ditulis oleh konsumen dan yang ditulis oleh akun resmi brand. Hasil menunjukkan perbedaan besar: Saat konsumen yang menggunakan julukan tersebut, informasi yang disampaikan di postingan terlihat lebih kredibel dan autentik bagi konsumen lain, namun, saat brand itu sendiri yang menggunakan julukan mereka, justru memiliki efek yang sebaliknya.
Kenapa bisa begitu? Penelitian kami berpendapat ketika konsumen yang menggunakan julukan brand saat mengulas produk secara online atau di postingan sosial media, orang akan menganggap jika konsumen tersebut punya hubungan yang tidak dibuat-buat dengan brand tersebut, sehingga bisa menambah tingkat kepercayaan terhadap apa saja yang dikatakan oleh konsumen tersebut.
Tetapi, ketika perusahaan itu sendiri yang menggunakan nama julukan untuk berkomunikasi di laman resmi mereka, hal itu terasa seperti promosi dan manipulatif, sehingga postingan dirasa kurang kredibel. Dalam suatu penelitian, kami menemukan jika konsumen yang membaca postingan Instagram dari Walmart yang menggunakan julukan Wally World memiliki 9% kemungkinan lebih kecil setuju kalau postingan tersebut terkesan tulus, dan 10% kemungkinan lebih kecil kalau mereka akan membeli produk, dibandingkan saat mereka membaca postingan Walmart menggunakan nama resminya.
Tentu saja, hal ini tidak berarti jika brand tidak seharusnya menggunakan nama julukannya sendiri—tapi, akan lebih penting jika mereka menggunakannya dengan cara yang tepat. Berdasarkan penelitian kami, ada beberapa hal penting yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para marketer saat menggunakan julukan brand di dunia digital:
Apa yang Harus dilakukan:
1. Tetap Up to Date dengan Julukan Brand Anda
Kebanyakan konsumen sudah sering menemukan julukan brand dan hanya 3% dari konsumen dalam penelitian kami yang belum pernah melihat julukan brand secara online. Oleh karenanya, penting bagi marketer memahami bagaimana konsumen membicarakan brand mereka termasuk tetap memantau bahasa informal yang digunakan oleh konsumen.
Untuk bisa melakukannya, tim sosial media harus memastikan jika mereka tidak hanya memonitor nama resmi perusahaan mereka, tetapi juga tagar dan tag akun yang menggunakan julukan populer untuk brand mereka. Anda mungkin berpikir jika julukan nama brand itu adalah opsi alternatif, tetapi penggunaannya justru bisa saja jauh lebih luas dari yang Anda bayangkan.
Ambil saja Chevrolet sebagai contohnya. Analisa kami menunjukkan jika 41% dari postingan Twitter menyebut Chevrolet menggunakan tagar “Chevy” dibandingkan dengan nama resmi mereka. Tentunya seorang marketer tidak boleh sampai melewatkan hal ini, apalagi ketika ada komplain atau komentar positif yang dibuat oleh konsumen dengan menggunakan nama julukan dan bukan nama resmi dari brand.
2. Masukkan Julukan Brand Anda di Strategi SEO
Jika Anda mencari “Chevy” di Google, hasil pertama yang akan muncul adalah laman resmi Chevrolet. Tetapi, jika Anda mencari Mickey D atau Tarjay, hasil yang muncul pertama justru situs seperti Urban Dictionary dan Wiktionary dibandingkan dengan laman resmi dari brand tersebut. Sehingga, penting untuk mengikutsertakan julukan nama brand Anda dalam strategi SEO. Tujuannya untuk memastikan supaya konsumen Anda lebih mudah menemukan brand Anda terlepas apa pun nama yang digunakan.
Bukan hanya tentang pencarian populer di Google saja, tapi, apakah brand Anda sudah bekerja sama dengan platform seperti Alexa untuk meningkatkan visibilitas situs Anda? Jika sudah, pastikan jika tools pihak ketiga ini bisa mengenali nama julukan brand Anda, karena akan sangat mungkin kata-kata itu yang digunakan oleh konsumen saat mencari tahu tentang perusahaan Anda.
Marketer juga harus memastikan kemungkinan jika brand memiliki lebih dari satu julukan. Misalnya, di penelitian kami, kami melihat konsumen menyebut BMW sebagai beemer, beamer, dan bimmer. Memastikan jika semua versi dari julukan brand Anda masuk dalam strategi SEO bisa membantu memaksimalkan visibilitas brand Anda di dunia digital yang ramai ini.
3. Lindungi Julukan Brand Anda
Julukan brand bisa saja dibuat dan digunakan oleh konsumen, tapi semuanya tetap bergantung pada perusahaan untuk memastikan jika nama brand sudah dilindungi secara hukum. Hal ini berlaku pada berbagai hal mulai dari mengamankan nama julukan merek dagang hingga pembelian domain URL. Contohnya, cobalah Anda cari situs www.beemer.com. Meskipun ‘beemer’ memiliki lebih dari 2 juta hasil pencarian di Google, URL tersebut ternyata tidak dimiliki oleh BMW. Jika Anda secara aktif mengamankan nama julukan brand Anda, ini bisa meminimalkan risiko dibajak oleh pesaing atau bisnis lain yang tidak ada keterkaitan dengan Anda.
Dalam contoh lain, banyak konsumen muda yang menyebut jaringan retail raksasa Canadian Tire dengan sebutan yang tak sopan “Crappy Tire” dan perusahaan pun begitu terkejut ketika tahu seorang konsumen mendaftarkan website “crappytire.com” serta menggunakannya untuk memposting komplain negatif mengenai perusahaan.
Dengan cepat perusahaan tersebut melayangkan gugatan ke WIPO atau World Intellectual Property Organization, namun mereka kalah dalam pertarungan hukum itu. WIPO menemukan jika perusahaan telah gagal membuktikan kepemilikan hak dalam merek dagang atau merek layanan tersebut,” dan oleh karenanya tak ada jalan hukum untuk mengklaim ulang URL tersebut. Lebih buruknya lagi, Canadian Tire mencoba untuk membeli domain tersebut, tetapi pemiliknya justru menolak untuk menjualnya.
Demikian juga dengan bintang sepak bola Cristiano Ronaldo yang mengalami masalah ketika dia mencoba untuk mempromosikan brand pakaian dalamnya di Amerika Serikat dengan menggunakan nama julukannya yang populer yaitu CR7. Ternyata, bisnis lain telah mendaftarkan merek dagang dengan nama yang sama di Amerika, sehingga memicu pertempuran hukum yang rumit. Meskipun risiko hukum tak dapat dihindari sepenuhnya, sebaiknya brand tetap memastikan nama julukan mereka tetap dilindungi sebaik mungkin sebelum muncul permasalahan.
Apa yang Tak Boleh dilakukan:
1. Jangan Menghentikan Konsumen yang Menggunakan Julukan Brand Anda
Pada tahun 1993, Coca-Cola meluncurkan kampanye yang berbunyi “Coca-Cola: Panggil dengan Nama Lengkapnya.” Nyatanya, sesudah 30 tahun pemasaran terus-terusan, konsumen tetap menggunakan nama julukan “Coke.” Baru-baru ini Chevrolet juga mendapat kecaman keras setelah adanya berita yang memuat jika perusahaan melarang penggunaan nama “Chevy”, dengan tujuan untuk menjaga konsistensi nama brand.
Saat sebuah julukan sebuah brand punya konotasi yang negatif (seperti “Whole Paycheck” untuk brand Whole Foods atau “Fix it again, Tony!” untuk brand Fiat), pastinya Anda merasa ingin menghentikan penggunaannya. Namun, meski Anda merasa tidak menyukai julukan brand Anda, Anda tidak bisa sepenuhnya menghentikan konsumen Anda untuk menggunakannya—dan Anda hanya memutus hubungan baik dengan mereka.
2. Jangan Mengambil Alih Julukan Brand
Alasan utama mengapa julukan brand identik dengan konsumen karena mereka yang menciptakan, menggunakan, dan memilikInya. Maksudnya, julukan tersebut benar-benar menunjukkan cerminan bagaimana konsumen melihat sebuah brand. 81% konsumen dalam studi kami meyakini jika julukan pada suatu brand berasal dari konsumen, bukan perusahaan, dan 88% merasa jika julukan tersebut harus digunakan secara personal bukan oleh perusahaan. Ketika sebuah perusahaan secara terang-terangan ingin mengambil alih bahasa pelanggannya untuk tujuan pemasaran, maka itu terkesan sebagai pemaksaan. Seolah mengubah sebutan sayang yang dibuat oleh konsumen menjadi nama resmi perusahaan. Hal ini akan menghilangkan keaslian dan keistimewaan julukan yang digunakan oleh konsumen.
Mengambil alih julukan brand bisa saja memberikan keuntungan jangka pendek bagi brand tersebut, tetapi dalam jangka panjang, hal ini bisa merusak keaslian nama tersebut. Hal ini bukan berarti brand tidak diperbolehkan untuk memakai nama julukan—namun sangat penting untuk lebih strategis dalam penggunaannya. Contohnya, mengganti nama brand dengan julukan yang dibuat oleh konsumen mungkin bukanlah ide yang baik, tetapi Anda bisa mendorong penggunaan julukan brand pada referral program, ulasan pelanggan, atau interaksi peer to peer. Sehingga, bisa membantu penyampaian pesan pemasaran brand tetap terdengar autentik dan jujur tanpa menakut-nakuti konsumen mengenai kepemilikan julukan brand.
3. Jangan Memaksakan Julukan Tertentu Pada Konsumen
Membuat julukan yang berkesan harus dibuat secara natural. Jika brand Anda belum memilikinya, Anda mungkin berkeinginan untuk membuat julukan sendiri dan mencoba mengaplikasikannya ke pelanggan Anda—tetapi, penelitian kami menunjukkan jika kemungkinan itu tidak berhasil. Julukan brand pada dasarnya memiliki nilai keaslian, karena mereka murni dan dibuat serta dimiliki oleh konsumen.
Meskipun demikian, Anda tidak harus duduk dan menunggu saja, serta berharap jika akan adanya julukan tertentu untuk brand Anda. Meskipun tidak bisa memaksakan penggunaan julukan pada konsumen, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendorong konsumen memunculkan sebuah julukan. Salah satunya dengan mendorong konsumen untuk memilih julukan brand untuk produk atau akun brand Anda.
Contohnya, dalam penelitian kami sebelumnya, kami mencatat bagaimana bank Chase menawarkan pilihan julukan untuk akun mereka kepada nasabahnya dan Nikon yang meminta konsumen untuk memberikan julukan kepada produk mereka selama proses registrasi online. Meskipun julukan-julukan tersebut hanya dipakai secara pribadi oleh beberapa konsumen, namun nama yang paling unik bisa saja menjadi viral jika para konsumen mulai membagikan nama tersebut.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan terang-terangan meminta bantuan urun nama dari basis pelanggan Anda. Ini bisa jadi cara proaktif dalam strategi pembuatan julukan brand untuk meyakinkan pula jika nama tersebut secara asli dibuat, dibagikan, dan dimiliki oleh konsumen. Contohnya, kampanye populer “Do us a flavor” dari Lay mencoba mengundang konsumen untuk memberikan nama bagi rasa terbaru produk keripik mereka, memberikan kepemilikan nama tersebut tanpa mengambil kendali dalam proses pemberian nama tersebut.
Tentu saja, banyak dari nama panggilan yang dibuat oleh konsumen yang tidak memberikan daya tarik. Tetapi, mendorong konsumen untuk memberikan nama untuk produk Anda dapat menanamkan cikal bakal nama panggilan yang sukses. Bahkan, jika 99% dari nama-nama ini hanya pernah digunakan oleh segelintir orang, yang Anda butuhkan hanyalah satu nama untuk menjadi viral agar cikal bakal itu tumbuh menjadi nama panggilan asli yang banyak digunakan.Julukan brand semakin populer di kalangan konsumen di dunia digital saat ini. Ketika digunakan dengan cara yang benar, julukan ini dapat memberikan kredibilitas yang berharga ke sebuah brand, membuatnya tampak lebih autentik dan kredibel bagi konsumen. Dengan demikian, marketer akan jadi lebih mudah dalam memonitor penggunaan julukan tersebut dan memastikan julukan tersebut dilindungi secara hukum—tetapi, penting bagi marketer untuk mengakui bahwa konsumen adalah pemilik sebenarnya dari aset brand yang berharga ini, dan tidak berusaha untuk mengontrol atau mengambil alih nama tersebut. Julukan yang terkenal bagi brand adalah salah satu hadiah terbesar yang dapat diberikan konsumen kepada brand yang mereka sukai. Hal ini sepenuhnya bergantung pada marketer akan menyia-nyiakannya atau tidak.
Sumber: Harvard Business Review (Zhe Zhang dan Vanessa M. Patrick, 08 July 2021)