Matthew Fox, seorang teolog dan aktivis yang menulis ‘The Reinvention of Work’, mengatakan, “Pekerjaan yang kita lakukan adalah sebuah keberkahan. Pekerjaan juga bisa menjadi karunia dan anugerah, bahkan bisa berupa tindakan untuk menunjukkan cinta tanpa pamrih kita kepada masyarakat…” Kutipan tersebut bisa dikatakan terdengar mewah dan berlebihan, namun, bagi pencari kerja yang kurang sentimental, itu justru terdengar sangat akurat.
Kebanyakan Millenial dan Gen Z menunjukkan jika mereka tidak ingin memiliki kehidupan atau pekerjaan yang biasa. Mereka ingin untuk bisa bekerja di tempat dimana bisa melayani masyarakat dan bisa merasakan keberkahan serta penuh tujuan.
Untuk bisa mendapatkan pekerjaan semacam itu dan bisa mendapat perhatian di antara orang lainnya, setidaknya Anda harus mengeluarkan seluruh keunggulan dalam diri Anda. Tentunya, setiap orang di luar sana memiliki keunggulannya masing-masing. Keunggulan tersebut muncul dari adanya harapan, bakat, dan keinginan untuk bisa memberikan pengaruh.
Namun, sama halnya dengan membuat api, ada bahan penting yang perlu untuk diperhatikan yaitu: ruang.
Ruang, melalui kekuatan oksigennya, adalah hal yang bisa menjadi bahan untuk menyulut api, atau dalam konteks sesungguhnya, bisa mendorong seseorang untuk bisa melakukan pekerjaan yang baik atau mendapatkan pekerjaan yang diimpikannya. Sering kali, para pencari kerja dihantui oleh perasaan gelisah hingga melupakan kelebihan yang tersimpan dalam diri mereka. Mereka lupa untuk mengambil jeda untuk berpikir, bernapas, merefleksikan diri, dan memulihkan diri dari kondisi stres saat sedang mencari pekerjaan.
Tanpa adanya ruang, kekuatan mental yang terlibat dalam pencarian kerja ini akan kelelahan. Dibawah tekanan stres, para pencari kerja akan berakhir memilih posisi yang sebenarnya tidak begitu mereka inginkan, mengirimkan lamaran yang setengah-setengah dan tidak sepenuhnya unik, bahkan mengalami burn out sebelum melewati proses wawancara.
Jika Anda saat ini sedang mencari pekerjaan dan merasakan beban berat yang terus membuat Anda terpuruk, strategi berikut ini bisa jadi cara untuk membuat Anda tetap stabil, dan memungkinan Anda untuk mendapatkan ruang yang dibutuhkan dalam membuat keputusan cerdas untuk masa depan Anda.
1) Visualisasikan bagaimana Anda tampil—bukan memikirkan hasil akhir tertentu.
Saat teman saya, George, yang lebih dari sekadar hippie, menyarankan saya untuk mencoba visualisasi. Lalu, saya pun mencobanya. Pada saat itu, sejujurnya saya tidak percaya jika memproyeksikan gambaran tertentu dalam pikiran bisa berdampak pada pengalaman atau tingkah laku.
Namun, beberapa bulan sebelum acara terbesar dalam hidup saya—dimana saya akan berbicara di depan setengah juta orang—saya pun mulai merasakan grogi. Jadi, saya mulai mencoba cara tersebut. Selama beberapa minggu sebelum acara, saya memberikan ruang bagi diri saya sendiri untuk membayangkan pengalaman yang baik. Di tengah-tengah menjalani aktivitas sederhana (seperti mencuci piring atau saat menunggu di kala menjemput anak-anak), saya membayangkan diri saya, terus menerus secara mendetail, bukan untuk mendapatkan hasil tertentu, tetapi hanya untuk menunjukkan versi terbaik dari diri saya di panggung nantinya: tenang, berwibawa, dan gembira.
Saya membayangkan diri saya dengan percaya diri menunggu dipanggil oleh pembawa acara, tersenyum saat saya menyapa dan berinteraksi dengan audiens, dan meninggalkan panggung dengan penuh rasa syukur. Saya membayangkan sedetail mungkin hingga sepatu apa yang sekiranya saya pakai di hari itu. Nantinya, ketika saya melangkah ke panggung acara, saya seolah memasuki sebuah film yang telah saya tonton sebelumnya.
Cobalah untuk melakukan visualisasi ini kapan pun Anda sedang menyiapkan situasi yang sangat penting. Seperti halnya wawancara kerja, hari pertama di tempat kerja, atau bahkan saat Anda menyapa rekan kerja baru setelah berhasil direkrut. Membuat visualisasi bagaimana Anda akan bersikap, dan bukan hasil yang didapatkan, akan membantu Anda menghilangkan kepulan asap di kepala akibat stres, dan mengembalikan perasaan tenang yang bisa membantu Anda untuk bisa bersinar kembali.
2) Buat janji dengan ‘kekhawatiran.’
Untuk menjaga kewarasan Anda selama masa-masa sulit dan mempertahankan kelebihan yang Anda miliki, Anda harus berlatih untuk memisahkan emosi Anda dari perasaan khawatir.
Biarkan diri Anda untuk sepenuhnya merasakan emosi tersebut dan cobalah dengarkan pesan-pesan penting yang ingin disampaikan mereka. Hal ini bisa jadi terasa cukup sulit dengan beberapa macam emosi seperti kesedihan, ketakutan, atau kemarahan. Saat perasaan itu datang, carilah tempat yang tenang dan coba terima perasaan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh sebuah penelitian—jika Anda ingin cepat melewati emosi-emosi sulit, Anda harus merasakannya—bukan malah menguburnya hidup-hidup.
Contohnya, ketika Anda merasa kecewa karena tidak mendapatkan panggilan untuk wawancara tahap kedua, jauhkan diri dari aktivitas yang bisa membuat Anda tak bisa merasakan perasaan tersebut. Seperti melakukan scrolling sosial media atau makan makanan yang enak. Justru, coba duduk dan biarkan kekecewaan itu tiba. Jangan takut untuk menghadapinya. Mungkin akan terasa sulit dan membuat Anda sedih, tetapi setelah beberapa waktu, perasaan tersebut akan menghilang. Perasaan tidak akan bersemayam selamanya, kecuali jika kita memang pura-pura menganggapnya tak ada.
Namun, kekhawatiran adalah hal berbeda. Tidak seperti emosi atau perasaan yang bisa datang dan pergi, kekhawatiran adalah kondisi psikologis. Kita cenderung membuangnya seperti toffee yang menempel di pipi. Kekhawatiran justru bersifat menempel dan butuh perhatian yang sama besarnya. Anda harus menemukan cara untuk merasakan maupun menampungnya (tanpa mengabaikannya). Jika Anda menghindari kekhawatiran tersebut, maka lambat laun hal itu akan terus membebani Anda. Di sisi lain, jika Anda terlalu memikirkannya, itu akan menjadi bentuk lamunan, memecah fokus, dan membuat kinerja Anda jadi kurang efektif. Oleh karenanya, penting untuk melatih menyingkirkan kekhawatiran tersebut dan menjernihkan pikiran, meski hanya untuk sementara.
Cara yang dinilai efektif dalam hal ini adalah dengan membuat janji dengan kekhawatiran. Jadi, ketika ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda (seperti situasi mengenai perekrutan kerja), buat jadwal dengan kekhawatiran tersebut dan Anda hanya perlu mengunjunginya sesuai waktu yang ditentukan. Katakan pada diri Anda, “setiap hari jam 9 pagi, aku akan memberikan waktuku untuk hal ini dengan penuh fokus.” Kemudian, ketika hal tersebut tiba-tiba muncul di luar waktu tersebut, ingatkan diri Anda jika Anda sudah punya jadwal tersendiri dengannya dan mulailah untuk melakukan hal lain.
3) Berikan waktu bagi diri Anda untuk berpikir.
Jika Anda sedang dalam situasi tekanan finansial yang cukup besar, menerima (hampir) jenis pekerjaan apapun—dan mengajukan lamaran kerja untuk tujuan yang lebih besar—bisa jadi pilihan yang tepat untuk Anda, setidaknya untuk sekarang ini. Lakukan apa saja yang Anda perlu untuk menafkahi diri Anda dan keluarga Anda. Anda tetap bisa bertumbuh dan berkontribusi di posisi apapun.
Konon, tekanan dalam hal mencari pekerjaan menyebabkan banyak orang yang sebenarnya memiliki pilihan lain (entah itu putus asa atau sangat senang) untuk mengatakan “ya” tanpa mengambil sedikit waktu untuk berpikir. Ini bisa menyebabkan orang untuk melamar ke berbagai pekerjaan tanpa memperkirakan apakah mereka benar-benar akan menikmati pekerjaan tersebut. Jika Anda memiliki waktu luang untuk memikirkannya dan tidak ingin menaruh diri Anda dalam risiko, cobalah untuk meluangkan beberapa waktu—baik itu sebelum melamar ke pekerjaan tersebut atau saat mempertimbangkan suatu tawaran.
Diam dan bayangkan diri Anda bekerja di sebuah perusahaan yang sudah Anda lamar (atau sedang Anda pertimbangkan untuk melamar). Apabila Anda mendapatkan sebuah tawaran, berdasarkan pengalaman, coba pikirkan dulu setidaknya selama 24 jam. Ini akan memberikan Anda ruang untuk lepas dari naluri seketika, dan mempertimbangkan pilihan apa yang paling sesuai dengan diri Anda dan tujuan jangka panjang Anda.
Posisi yang tepat membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk mendapatkannya. Semakin tinggi posisi yang ingin dicapai, maka semakin panjang pula prosesnya. Mengalami kekecewaan karena belum ada pesan baru di kotak masuk atau tak adanya telepon yang mengabarkan tentang status lamaran Anda bukanlah suatu hal yang harus diabaikan. Jadi, cobalah untuk menerima perasaan itu apa adanya dan tetap pertahankan kelebihan Anda dengan ruang istirahat yang cukup dalam jadwal Anda, lakukan self-talk dengan penuh rasa kasih sayang, dan tetap peduli dengan diri sendiri. Pada kondisi ini, Anda akan lebih terarah dalam memutuskan segala keputusan. Waktu Anda sangatlah berharga, dan Anda berhak merasa yakin dalam membuat keputusan terkait dimana Anda akan menggunakan waktu Anda untuk bekerja.
Sumber: Harvard Business Review (Juliet Funt, 28 September 2021)