Menangani emosi secara efektif adalah sebuah kemampuan leadership yang utama. Dan menamai emosi kita—atau apa yang disebut para psikolog sebagai labelling—adalah langkah penting pertama dalam menangani emosi secara efektif. Namun, hal ini lebih sulit dari kedengarannya; kebanyakan dari kita kesulitan untuk mengidentifikasi apa sebenarnya perasaan kita, dan sering kali label paling jelas bukanlah label yang paling akurat. 

Ada beberapa alasan kenapa ini begitu sulit: Kita telah dilatih untuk percaya jika emosi kuat harus dipendam. Kita memiliki aturan sosial dan organisasional (yang terkadang tidak diucapkan) yang melarang untuk mengekspresikannya. Atau kita tidak pernah belajar sebuah bahasa yang secara akurat mendeskripsikan emosi kita. Mari perhatikan dua contoh berikut.  

Neena sedang berada dalam rapat bersama Jared dan selama itu Jared telah mengatakan hal yang membuat Neena ingin meledak. Selain menginterupsi Neena di setiap kesempatan, Jared mengingatkan lagi kepada orang-orang tentang satu proyek Neena yang gagal. Neena begitu marah.

Mikhail  sampai di rumah setelah hari yang panjang dan mengeluh saat dia menggantungkan mantelnya. Istrinya berkata apakah ada yang salah. “Aku hanya merasa stres,” katanya, mengeluarkan laptop untuk menyelesaikan laporan.  

Kemarahan dan stres adalah dua emosi yang paling sering kita temukan di tempat kerja—atau setidaknya itu adalah istilah yang paling sering digunakan. Namun, mereka sering menutupi perasaan yang bisa dan seharusnya kita jelaskan dengan cara lebih detail dan lebih tepat, sehingga kita bisa mengembangkan tingkat ketangkasan emosional (emotional agility) yang lebih besar—sebuah kemampuan kritis yang memungkinkan kita untuk berinteraksi lebih baik dengan diri kita dan dunia (lebih lanjut mengenai Emotional Agility di buku baru saya dengan judul yang sama, tersedia di sini). 

Ya, Neena boleh jadi marah, tapi bagaimana jika dia juga sedih? Sedih karena proyeknya gagal, dan mungkin juga cemas kalau kegagalannya akan menghantui dirinya dan kariernya. Dengan Jared menginterupsinya terus-terusan, kecemasan tersebut semakin beralasan. Kenapa proyeknya tidak berhasil? Dan apa yang akan terjadi dengan pekerjaannya sekarang? Semua emosi itu masuk dalam kemarahannya, tetapi perasaan tersebut juga memisahkan perasaan-perasaan yang seharusnya dia identifikasi dan atasi. 

Dan bagaimana jika dibalik stres yang dialami Mikhail adalah fakta kalau dia tidak yakin berada di karier yang tepat? Hari yang panjang yang biasanya menyenangkan, kenapa sekarang tidak lagi? Dia tentu saja tertekan, tapi apa yang terjadi di bawah perasaan itu? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuka dunia baru akan pertanyaan dan jawaban potensial bagi Neena dan Mikhail. Seperti mereka, kita butuh kosakata yang lebih bervariasi untuk emosi kita, bukan hanya supaya lebih tepat, tapi karena mendiagnosis emosi secara tidak tepat membuat kita merespon secara tidak tepat pula. Jika kita berpikir perlu menangani kemarahan, kita akan menggunakan pendekatan berbeda dibandingkan kita menangani ketidakpuasan atau kecemasan—atau kita tidak mengatasinya sama sekali.  

Hal ini sudah terlihat saat orang-orang tidak menyadari dan mengatasi emosi mereka, mereka menunjukkan kesejahteraan yang rendah dan gejala fisik lain seperti sakit kepala. Ada konsekuensi besar saat menghindari perasaan kita. Di sisi lain, menggunakan kosakata yang tepat memungkinkan kita untuk melihat permasalahan sebenarnya—untuk menangani pengalaman buruk, memahaminya lebih jelas, dan membangun jalan untuk mengatasi masalah tersebut.

Berikut adalah 3 cara untuk memahami lebih akurat dan tepat emosi yang Anda rasakan: 

Perluas kosakata emosi Anda 

Kata-kata itu penting. Jika Anda mengalami sebuah emosi kuat, luangkan sedikit waktu untuk memahami bagaimana menyebut perasaan tersebut. Tapi jangan berhenti di situ: saat Anda sudah mengidentifikasinya, cobalah untuk memunculkan dua kata lagi yang mendeskripsikan perasaan Anda. Anda mungkin terkejut dengan luasnya emosi Anda—atau Anda telah menemukan emosi yang lebih dalam yang terkubur di bawah satu emosi yang terungkap. 

Sama pentingnya juga untuk melakukan hal ini pada emosi “positif” juga “negatif.” Misalnya, bisa mengatakan kalau Anda antusias dengan pekerjaan baru (bukan hanya “nervous”) atau memercayai seorang rekan (bukan hanya karena “dia baik”), akan membantu Anda menetapkan intensi untuk jabatan atau relasi yang memungkinkan mengarah ke jalan kesuksesan.  

Pahami intensitas emosi

Kita cenderung menyimpulkan ke kata dasar seperti “marah” atau “stres” bahkan ketika perasaan kita tidak terlalu ekstrem. Saya memiliki klien bernama Ed (bukan nama sebenarnya) yang sedang mengalami kesulitan dengan pernikahannya; dia sering menceritakan istrinya “marah” dan dia juga jadi sering marah akibatnya. Tetapi seperti yang ditunjukkan oleh bagan kosakata, setiap emosi hadir dalam berbagai rasa. Ketika kami berbicara tentang kata-kata lain untuk emosi istrinya, Ed melihat bahwa ada kalanya dia mungkin hanya kesal atau tidak sabar. Wawasan ini mengubah hubungan mereka karena dia tiba-tiba bisa melihat bahwa istrinya tidak hanya marah sepanjang waktu. Ini menandakan dia benar-benar dapat menanggapi emosi dan perhatian khusus wanita itu tanpa ikut-ikutan marah. Demikian pula, penting dalam penilaian diri Anda sendiri apakah Anda marah atau hanya kesal, sedih atau hanya kecewa, gembira atau hanya senang.

Selagi Anda melabeli emosi Anda, nilai pula emosi tersebut dalam skala 1-10. Seberapa dalam Anda merasakan emosi tersebut? Seberapa gawat atau seberapa kuat? Apakah itu membuat Anda memilih penggunaan kata yang berbeda?

Tulislah

James Pennebaker telah melakukan 40 tahun penelitian tentang hubungan antara menulis dan pemrosesan emosional. Eksperimennya mengungkapkan bahwa orang yang menulis tentang kejadian yang bermuatan emosi mengalami peningkatan yang nyata dalam kesejahteraan fisik dan mental mereka. Selain itu, dalam sebuah penelitian terhadap pekerja yang baru saja di-PHK, ia menemukan bahwa mereka yang menyelidiki perasaan terhina, marah, cemas, dan hubungan yang sulit, tiga kali lebih mungkin untuk dipekerjakan kembali daripada mereka yang berada dalam kelompok kontrol.

Eksperimen ini juga mengungkapkan bahwa seiring waktu mereka yang menulis tentang perasaan mereka mulai mengembangkan wawasan tentang apa arti perasaan itu (atau bukan!), menggunakan frasa seperti “saya telah belajar,” “saya tersadar kalau,” “alasan yang…,” “saya sekarang menyadari,” dan “saya mengerti.” Proses menulis memungkinkan mereka untuk mendapatkan perspektif baru tentang emosi mereka dan untuk memahami diri mereka dan implikasinya dengan lebih jelas.

Inilah latihan yang dapat Anda gunakan untuk merefleksikan emosi melalui tulisan. Anda dapat melakukan ini setiap hari, tetapi ini sangat berguna ketika Anda mengalami masa sulit atau transisi besar, atau jika Anda merasakan gejolak emosi—atau jika Anda memiliki pengalaman sulit yang Anda pikir belum pernah Anda alami. 

  • Atur timer selama 20 menit
  • Dengan notebook atau komputer, tulis pengalaman emosional Anda dari minggu, bulan, atau tahun lalu. 
  • Tidak perlu khawatir untuk membuatnya sempurna atau mudah dibaca: biarkan kemana pikiran Anda membawa Anda. 
  • Pada akhirnya, Anda tidak perlu menyimpan dokumen itu; intinya adalah bahwa pikiran-pikiran itu sekarang keluar dari Anda dan ada di tulisan.

Anda juga dapat menggunakan tiga pendekatan ini—memperluas kosakata, mencatat intensitas emosi, dan menuliskannya. ketika mencoba untuk lebih memahami emosi orang lain. Seperti yang kita lihat pada contoh Ed dan istrinya, kita cenderung salah memberi label pada emosi orang lain seperti emosi kita sendiri, dengan konsekuensi yang sama rumitnya. Dengan lebih memahami apa yang mereka rasakan secara lebih tepat, Anda akan lebih siap untuk merespons dengan cara yang konstruktif.Setelah Anda memahami apa yang Anda rasakan, maka Anda dapat mengatasi dan belajar dengan lebih baik dari emosi yang dijelaskan secara lebih akurat. (Jika Anda ingin menilai Ketangkasan Emosional (Emotional Agility) Anda sendiri, berikut ini tautan ke kuis.) Jika Neena membahas kesedihan dan penyesalan yang dia rasakan setelah proyeknya yang gagal—serta kecemasan tentang apa arti kegagalan itu bagi kariernya—hal itu lebih produktif daripada mencoba mencari cara untuk mengatasi kemarahannya pada Jared. Dan jika Mikhail dapat mengenali kecemasan kariernya sendiri, ia dapat mulai menyusun rencana untuk membangun masa depannya dengan lebih hati-hati—daripada sekadar menipu dirinya sendiri dalam lebih banyak pekerjaan yang sama ketika ia pulang setiap malam.

Sumber: HBR (Susan David, 10 November 2016)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *