Menurut Centers for Disease Control and Prevention (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit), saat ini seperempat dari seluruh karyawan memandang pekerjaan mereka sebagai penyebab stres nomor satu dalam hidup mereka. WHO menggambarkan stres sebagai “epidemi kesehatan global abad ke-21.” Kebanyakan karyawan saat ini bekerja dalam budaya kerja yang selalu terhubung, selalu aktif, dan memiliki tuntutan kerja yang tinggi di mana stres dan risiko burnout semakin meningkat. Karena kecepatan dan intensitas budaya kerja kontemporer tidak mungkin berubah, maka akan lebih baik bagi Anda untuk membangun keterampilan ketahanan sehingga Anda dapat mengelola kehidupan kerja secara efektif.
Saat bekerja sebagai Direktur Pembelajaran dan Pengembangan organisasi di Google, eBay, dan JP Morgan Chase, dan dalam pekerjaan saya saat ini sebagai salah satu pendiri perusahaan solusi pembelajaran Wisdom Labs, saya telah melihat berulang kali bahwa yang paling tangguh bukanlah individu dan tim yang tidak pernah gagal, melainkan mereka yang gagal, lalu belajar dan berkembang karenanya. Sebuah tantangan yang terkadang sangat berat merupakan bagian dari latihan untuk mengaktifkan keterampilan ketahanan diri Anda.
Lebih dari lima dekade, penelitian menunjukkan fakta bahwa ketahanan dibangun oleh sikap, perilaku, dan dukungan sosial yang dapat diterapkan dan dikembangkan oleh siapa saja. Faktor-faktor yang memicu ketahanan antara lain optimisme; kemampuan untuk tetap seimbang dan mengelola emosi yang kuat atau sulit; rasa aman dan sistem dukungan sosial yang kuat. Kabar baiknya adalah ada serangkaian perilaku dan keterampilan konkret yang terkait dengan ketahanan sehingga Anda dapat belajar menjadi lebih tangguh.
Namun, membangun keterampilan ketahanan dalam konteks kerja kontemporer tidaklah mudah. Hal yang paling penting adalah memahami dan mengelola beberapa faktor yang menyebabkan kita merasa begitu kewalahan dan stres di tempat kerja. Budaya kerja saat ini merupakan cerminan langsung dari meningkatnya kompleksitas dan tuntutan yang dihadapi oleh bisnis secara global. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh IBM Institute for Business Value pada akhir tahun 2015, survei pada 5.247 eksekutif bisnis dari 21 industri di lebih dari 70 negara melaporkan bahwa “ruang lingkup, skala dan kecepatan” dari bisnis mereka meningkat pada tingkat akselerasi, terutama karena persaingan semakin dipengaruhi oleh teknologi dan model bisnis yang berbeda secara radikal. Hasilnya kadang-kadang berupa cara kerja yang cepat, energik, dan tidak terkendali. Menjadi seseorang yang selalu terhubung dan responsif untuk bekerja kapan saja, di mana saja, bisa sangat melelahkan. Dalam survei global Human Capital Trends pada tahun 2014 yang dilakukan oleh Deloitte, 57% responden mengatakan bahwa organisasi mereka “lemah” dalam hal membantu para pemimpin mengelola jadwal yang sulit dan membantu karyawan mengelola arus informasi, dan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi tantangan ini.
Hal tersebut menegaskan bahwa stres dan burnout terkait dengan peningkatan kecepatan dan intensitas kerja yang sedang meningkat secara global. Sebuah survei terhadap lebih dari 100.000 karyawan di seluruh Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan menemukan bahwa depresi, stres, dan kecemasan karyawan menyumbang 82,6% dari semua kasus kesehatan emosional dalam Employee Assistance Programs (Program Bantuan Karyawan) pada tahun 2014, naik dari 55,2% pada tahun 2012. Selain itu, survei longitudinal berskala besar baru-baru ini terhadap lebih dari 1,5 juta karyawan di 4.500 perusahaan di 185 negara yang dilakukan sebagai bagian dari Global Corporate Challenge menemukan bahwa sekitar 75% tenaga kerja mengalami tingkat stres sedang hingga tinggi—dan lebih spesifik lagi, bahwa 36% karyawan melaporkan merasa terlalu atau sangat stres di tempat kerja, dan 39% lainnya melaporkan tingkat stres sedang di tempat kerja. Tingkat stres saat ini dan peningkatannya di tempat kerja harus menjadi perhatian, karena ada hubungan dan pengaruh langsung antara stres negatif, kesehatan, dan produktivitas.
Satu perbedaan penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua stres sama dan bahkan ada beberapa jenis stres yang mungkin juga memiliki efek positif pada kesejahteraan dan produktivitas karyawan. “Stres yang baik,” atau yang kadang-kadang disebut sebagai “eudaemonic stress,” (berasal dari kata yunani “eudaemonia,” atau berkembang) menunjukkan bahwa beberapa jenis stres dapat membuat kita lebih sehat, memotivasi untuk menjadi yang terbaik versi kita, dan membantu kita bekerja semaksimal mungkin. Cara mudah untuk membayangkannya adalah bahwa stres dapat digambarkan melalui kurva berbentuk lonceng. Setelah melewati puncak atau kinerja tinggi dimana stres memotivasi kita, kita mengalami efek stres yang tidak sehat dimana jika dipertahankan dari waktu ke waktu, tidak hanya menyebabkan kelelahan tetapi juga penyakit kronis.
Stres yang menyebabkan kita mengalami kesulitan atau ketegangan yang tidak sehat- “kesusahan”-adalah penyebab utama kekhawatiran karena secara langsung mempengaruhi kesuksesan pribadi dan bisnis. Penelitian Global Corporate Challenge terhadap lebih dari 1,5 juta karyawan secara global selama periode 12 tahun menemukan bahwa 63% karyawan yang sangat stres melaporkan produktivitas di atas rata-rata. Jumlah ini meningkat secara signifikan menjadi 87% di antara mereka yang mengatakan mereka sama sekali tidak stres. Dalam penelitian yang sama, 77% karyawan yang sangat stres juga melaporkan tingkat kelelahan di atas rata-rata, dan tanda-tanda peringatan dini kelelahan jangka panjang. Faktanya, kelelahan adalah indikator stres kronis yang tertinggal.
Jadi bagaimana kita bisa mengembangkan ketahanan dan tetap termotivasi dalam menghadapi stres negatif kronis dan terus meningkatkan tuntutan, kompleksitas, dan perubahan? Berikut adalah beberapa tips, berdasarkan beberapa penelitian ilmu saraf, dan penelitian perilaku dan organisasi yang terbaru:
Latihan pemusatan perhatian atau mindfulness. Orang-orang di dunia bisnis semakin memperhatikan praktik pelatihan mental yang terkait dengan kesadaran untuk alasan yang baik. Psikolog sosial Laura Kiken dan Natalie Shook, misalnya, telah menemukan bahwa mindfulness dapat memprediksi akurasi penilaian dan pemecahan masalah terkait pengetahuan, dan ahli saraf kognitif Peter Malinowski dan Adam Moore menemukan bahwa mindfulness dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif. Dalam lingkungan kerja yang dinamis, psikolog organisasi Erik Dane dan Bradley Brummel menemukan bahwa mindfulness memfasilitasi kinerja pekerjaan, bahkan setelah memperhitungkan ketiga dimensi keterlibatan kerja yakni semangat, dedikasi, dan penyerapan. Peneliti obat pencegahan Kimberly Aitken dan rekan-rekannya telah menemukan bahwa program mindfulness secara daring telah terbukti praktis dan efektif dalam mengurangi stres karyawan, sambil meningkatkan ketahanan dan keterlibatan kerja, sehingga meningkatkan kesejahteraan karyawan secara keseluruhan dan kinerja organisasi.
Bagaimana Anda atau tim Anda dapat mulai menerapkan mindfulness ke dalam ritme dan rutinitas pekerjaan sehari-hari Anda? Di Wisdom Labs, kami telah menemukan bahwa menerapkan solusi pembelajaran multimodal dan pengembangan keterampilan—termasuk kombinasi pembelajaran online, pelatihan di tempat, webinar, dan jaringan pembelajaran peer-to-peer yang membuat keterampilan mindfulness memiliki peluang terbesar untuk menjadi kompetensi inti dalam sebuah organisasi. Peserta melaporkan peningkatan ketahanan yang signifikan secara statistik, dan mengatakan bahwa alat dan konten terkait mindfulness yang disampaikan dengan cara ini sangat berguna untuk mengelola stres, meningkatkan kolaborasi, dan meningkatkan kesejahteraan. Mengintegrasikan mindfulness ke dalam proses bakat inti seperti orientasi, pelatihan manajer, percakapan kinerja dan pengembangan kepemimpinan juga penting, meskipun sebagian besar organisasi belum pada tahap ini. Disisi lain, sejumlah buku dan aplikasi juga menawarkan pendekatan terstruktur tentang mindfulness, termasuk buku-buku berikut: “Fully Present: The Art”, “Science and Practice of Mindfulness and Mindfulness: An Eight Week Plan for Finding Peace in a Frantic World.” Ada juga aplikasi yang berguna terkait mindfulness seperti (tetapi tidak terbatas pada): Headspace, Spire, Mental Workout, Calm, Whil dan Simple Habit. Pertimbangkan untuk menggabungkan pelatihan langsung, tatap muka, atau virtual dengan aplikasi untuk pembentukan perilaku yang optimal.
Pisahkan beban kognitif Anda. Menurut Shawn Achor, salah satu pendiri Institute for Applied Positive Research dan penulis The Happiness Advantage, bahwa kita menerima 11 juta bit informasi setiap detik, tetapi pusat pemikiran otak kita hanya dapat memproses 40 bit informasi secara efektif. Salah satu cara praktis untuk memikirkan hal ini adalah bahwa meskipun kita tidak dapat mengurangi jumlah informasi yang kita terima (di kotak masuk kita, misalnya), kita dapat membagi tugas kognitif kita untuk mengoptimalkan cara kita memproses informasi itu. Berhati-hatilah dalam mengotak-ngotakkan berbagai jenis kegiatan kerja seperti mengirim email, sesi strategi atau brainstorming, dan pertemuan bisnis sehari-hari. Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan oleh American Psychological Association, membagi pekerjaan akan bermanfaat ketika Anda merasa bahwa beralih dari satu jenis tugas ke tugas lain akan mempersulit menghilangkan gangguan dan mengurangi produktivitas sebanyak 40%. Terjemahan: sejauh mungkin, hindari peralihan konteks. Ciptakan waktu khusus dalam sehari untuk melakukan aktivitas terkait pekerjaan tertentu dan bukan yang lain—sebuah konsep yang saya jelaskan dalam posting HBR sebelumnya sebagai “serial monotasking”—seperti halnya Anda dapat membuat waktu khusus untuk latihan fisik di hari-hari tertentu. Pendekatan ini mungkin terlalu ketat bagi sebagian orang, tetapi hal ini menciptakan serangkaian kondisi yang optimal bagi kita untuk memproses informasi secara efektif dan membuat keputusan yang berkualitas sambil mengurangi beban dan ketegangan kognitif.
Ambil istirahat sementara. Sepanjang hari kerja, Anda harus memperhatikan puncak dan pangkal energi dan produktivitas yang kita semua alami atau yang oleh psikolog kesehatan disebut ultradian (setiap jam) sebagai lawan dari ritme sirkadian (harian) kita. Fokus secara mental, kejernihan, dan siklus energi biasanya berdurasi 90-120 menit, sehingga akan bermanfaat apabila kita menjauh dari pekerjaan kita meski hanya beberapa menit saja untuk mengatur ulang energi dan perhatian kita. Bukti untuk pendekatan ini dapat dilihat dalam karya Anders Ericsson, yang menemukan bahwa pemain biola virtuoso secara tegas telah menandai waktu latihan yang berlangsung tidak lebih dari 90 menit, diikuti dengan istirahat di antaranya. Penelitian menunjukkan bahwa menyeimbangkan aktivitas kerja bahkan dengan waktu yang singkat untuk melepaskan diri dari aktivitas tersebut dapat meningkatkan energi, kejernihan mental, kreativitas, dan fokus yang lebih besar, yang pada akhirnya meningkatkan kapasitas kita terhadap ketahanan sepanjang hari kerja. Hasil jangka panjangnya adalah kita menghemat energi dan mencegah kelelahan selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan.
Kembangkan ketangkasan mental. Hal ini dapat dilakukan—tanpa terlalu banyak usaha- dengan benar-benar mengalihkan jaringan saraf yang memproses pengalaman stres untuk merespons daripada bereaksi terhadap situasi atau orang yang sulit. Kualitas ketangkasan mental ini bergantung pada kemampuan mental untuk “mengurangi” stresor dan mengelolanya secara efektif. “Menghilangkan” stres bukan berarti menyangkal atau menekan fakta bahwa kita merasa stres—melainkan, ini adalah proses untuk dapat berhenti sejenak, mengamati pengalaman dari sudut pandang netral, dan kemudian mencoba memecahkan masalah. Ketika kita mampu secara kognitif mengambil langkah mundur dari pengalaman kita dan memberi label pada pikiran dan emosi kita, kita secara efektif mengalihkan perhatian dari jaringan naratif di otak kita ke bagian otak kita yang lebih observasional. Menjadi tangkas secara mental, dan mengurangi stres ketika itu terjadi, memungkinkan keterampilan ketahanan inti dari “fleksibilitas respons,” yang digambarkan oleh psikolog terkenal Linda Graham sebagai “kemampuan untuk berhenti sejenak, mundur, merenung, mengubah perspektif, menciptakan pilihan, dan memilih dengan bijak.” Kita sering memberi tahu anak-anak kita yang sedang kesal untuk “perhatikan kata-kata kalian”, misalnya, dan ternyata menghentikan dan melabeli emosi memiliki efek mengaktifkan pusat berpikir otak kita, bukan pusat emosional—keterampilan yang berharga dalam menuntut, tempat kerja berkinerja tinggi di mana saja.
Kembangkan belas kasih. Salah satu aspek yang paling diabaikan dari set keterampilan ketahanan adalah kemampuan untuk menumbuhkan kasih sayang—baik kasih sayang diri dan kasih sayang untuk orang lain. Menurut penelitian yang dikutip oleh Greater Good Science Center di UC Berkeley, belas kasih meningkatkan emosi positif, menciptakan hubungan kerja yang positif, dan meningkatkan kerja sama dan kolaborasi. Program pelatihan belas kasih seperti yang ditawarkan oleh Center for Compassion, Altruism and Research In Education (CCARE) Universitas Stanford telah menunjukkan bahwa praktik pengembangan perilaku belas kasih meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan dan mengurangi stres. Belas kasih dan efektivitas bisnis merupakan sesuatu yang saling terhubung. Lebih tepatnya, kesuksesan individu, tim, dan organisasi bergantung pada budaya kerja yang penuh kasih.
Dengan demikian, hal ini dapat disimpulkan bahwa serangkaian keterampilan dan perilaku yang memungkinkan ketahanan di tempat kerja merupakan pengembalian investasi yang baik. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan oleh PwC pada tahun 2014, inisiatif dan program yang memupuk tempat kerja yang tangguh dan sehat secara mental mengembalikan $2,30 untuk setiap dolar yang dihabiskan — dengan pengembalian dalam bentuk biaya perawatan kesehatan yang lebih rendah, produktivitas yang lebih tinggi, ketidakhadiran yang lebih rendah dan penurunan pergantian karyawan.
Kemampuan untuk membangun ketahanan adalah keterampilan yang sangat berguna di dunia kerja yang semakin menegangkan. Dan perusahaan sendiri lebih suka mendapatkan keuntungan dari tenaga kerja yang lebih tangguh. Membangun budaya organisasi yang mendorong dan mendukung pelatihan ketahanan membuat nuansa bisnis yang baik.
Sumber: Harvard Business Review (Rich Fernandez, 27 Juni 2016)