Apa yang Menjadikan Seseorang Sebagai Leader?

Setiap pebisnis pastinya tahu sebuah cerita mengenai eksekutif yang begitu pandai dan terampil yang dipromosikan ke posisi leadership, namun justru mengalami kegagalan. Mereka juga pastinya tahu sebuah cerita mengenai seorang yang punya kemampuan intelektual dan keterampilan teknis yang solid (tetapi tidak luar biasa) yang dipromosikan ke posisi serupa dan kemudian meroket. 

Anekdot semacam itu menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg keyakinan yang diyakini secara luas kalau menemukan individu dengan “ciri-ciri yang tepat” menjadi leaders tidak menggunakan rumus yang saklek. Bagaimanapun juga, gaya personal dari leaders hebat itu beragam: Beberapa leaders pendiam dan analitis; sementara lainnya secara terbuka menyuarakan gagasan mereka. Dan sama pentingnya, situasi yang berbeda membutuhkan tipe leadership yang berbeda pula. Kebanyakan penggabungan perusahaan membutuhkan negosiator yang peka, sementara banyak perubahan membutuhkan otoritas yang lebih kuat. 

Akan tetapi, saya telah menemukan jika leader yang paling efektif memiliki kesamaan dalam satu hal penting: Mereka semua memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Bukan berarti kecerdasan intelektual (IQ) dan keterampilan teknis tidak penting. Semua itu penting, namun lebih sebagai “karakteristik utama” atau persyaratan mendasar untuk jabatan eksekutif. Tetapi, penelitian saya, bersamaan dengan penelitian yang baru-baru ini, secara jelas menunjukkan jika kecerdasan emosional adalah sine qua non atau keharusan dalam leadership. Tanpanya, seseorang boleh saja mendapatkan pelatihan terbaik di dunia, pemikiran analitis yang tajam, dan gagasan cerdas yang terus-menerus, tetapi tetap saja dia tak akan jadi leader hebat. 

Sepanjang tahun lalu, rekan saya dan saya telah berfokus pada bagaimana kecerdasan emosional berdampak di tempat kerja. Kami telah meneliti hubungan antara kecerdasan emosional dan kinerja efektif, terutama pada para leaders. Dan kami telah mengamati bagaimana kecerdasan emosional terlihat di tempat kerja. Contohnya, bagaimana Anda bisa mengetahui jika seseorang memiliki kecerdasan emosional tinggi dan bagaimana bisa Anda mengenalinya dalam diri Anda? Dalam halaman berikut, kita akan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan membahas tiap komponen dari kecerdasan emosional diantaranya self-awareness, self-regulation, motivasi, empati, dan keterampilan sosial, secara berurutan.  

Mengevaluasi Kecerdasan Emosional

Kebanyakan perusahaan besar sekarang ini telah mempekerjakan psikolog terlatih untuk mengembangkan apa yang disebut “model kompetensi” untuk membantu mereka mengidentifikasi, melatih, dan mempromosikan para karyawan terbaik dalam leadership. Para psikolog juga telah mengembangkan model tersebut untuk jabatan di tingkat yang lebih rendah. Dan dalam beberapa tahun terakhir, saya telah menganalisis model kompetensi dari 188 perusahaan, kebanyakan adalah perusahaan besar diantaranya seperti Lucent Technologies, British Airways, dan Credit Suisse. 

Dalam melakukan penelitian ini, tujuan saya adalah untuk menentukan kemampuan personal mana yang menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg kinerja luar biasa dalam perusahaan-perusahaan ini, dan sejauh mana mereka melakukannya. Saya mengelompokkan kemampuan tersebut ke dalam tiga kategori: keterampilan teknis murni seperti akuntansi dan perencanaan bisnis; kemampuan kognitif seperti penalaran analitis; dan kompetensi yang menunjukkan kecerdasan emosional, seperti kemampuan untuk bekerja dengan orang lain dan efektivitas dalam memimpin perubahan. 

Untuk menciptakan beberapa model kompetensi, para psikolog meminta manajer senior di perusahaan-perusahaan untuk mengidentifikasi kemampuan yang mencirikan leaders yang paling hebat. Untuk menciptakan model lainnya, para psikolog menggunakan kriteria objektif, seperti profitabilitas divisi, untuk membedakan karyawan terbaik diantara karyawan biasa di tingkat senior dalam perusahaan. Individu tersebut kemudian diwawancarai dan diuji secara ekstensi, dan kemampuan mereka dibandingkan. Proses ini menghasilkan daftar komposisi untuk menjadi leaders yang sangat efektif. Daftar tersebut berkisar antara 7 hingga 15 item dan contohnya termasuk inisiatif dan visi strategis. 

Ketika saya menganalisis semua data ini, saya menemukan hasil yang dramatis. Yang pasti, kecerdasan adalah penhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg kinerja terbaik. Keterampilan kognitif seperti pemikiran dengan gambaran besar dan visi jangka panjang sangatlah penting. Tetapi, ketika saya melakukan kalkulasi rasio dari keterampilan teknis, IQ, dan kecerdasan emosional sebagai komposisi kinerja yang luar biasa, kecerdasan emosional terbukti dua kali lebih penting dari lainnya untuk pekerjaan di semua tingkatan. 

Lebih lanjut, analisa saya menunjukkan jika kecerdasan emosional memainkan peran yang semakin penting di tingkat tertinggi dalam perusahaan, di mana perbedaan dalam keterampilan teknis tidak begitu penting. Dalam kata lain, semakin tinggi pangkat seseorang dan digolongkan sebagai karyawan bintang, kecerdasan emosional semakin terlihat sebagai alasan keefektifannya kinerjanya. Ketika saya membandingkan pekerja terbaik dengan pekerja rata-rata di jabatan leadership senior, hampir 90% perbedaan dalam profil mereka disebabkan oleh faktor kecerdasan emosional daripada kemampuan kognitif.

Peneliti lainnya telah mengonfirmasi jika kecerdasan emosional tidak hanya membedakan leaders hebat, tetapi juga bisa dikaitkan dengan kinerja yang kuat. Temuan mendiang David McClelland, seorang peneliti tingkah laku manusia dan organisasi (human and organizational behaviour), tergolong contoh yang baik. Pada penelitian tahun 1996 mengenai perusahaan makanan dan minuman global, McClelland menemukan bahwa ketika senior manajer memiliki critical mass pada kemampuan kecerdasan emosional, divisi mereka berhasil mengungguli tujuan pendapatan tahunan sebesar 20%. Sementara itu, leader divisi yang tidak memiliki critical mass berkinerja buruk dengan jumlah yang hampir sama. Menariknya, temuan McClelland dibenarkan di divisi perusahaan AS seperti halnya di divisi di Asia dan Eropa.

Singkatnya, angka-angka tersebut adalah permulaan yang memberi tahu kita cerita persuasif mengenai kaitan antara kesuksesan perusahaan dan kecerdasan emosional dari para leaders-nya. Dan sama pentingnya, penelitian juga menunjukkan jika setiap orang bisa mengembangkan kecerdasan emosional mereka apabila mereka menggunakan pendekatan tepat. (Lihat sidebarCan Emotional Intelligence Be Learned?”)

Self-Awareness

Self-awareness adalah komponen pertama dalam kecerdasan emosional—dan masuk akal kalau orang menganggap Orakel Delfi memberikan nasihat “kenali dirimu sendiri” ribuan tahun yang lalu. Self-awareness berarti memiliki pemahaman yang mendalam terhadap emosi, kekuatan, kelemahan, kebutuhan, dan https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan seseorang. Orang dengan self-awareness yang kuat tidak terlalu kritis atau terlalu berharap secara tidak realistis. Mereka justru jujur dengan diri mereka sendiri dan orang lain. 

Orang yang memiliki self-awareness yang tinggi mengenali bagaimana perasaan mereka memengaruhi mereka, orang lain, dan kinerja pekerjaan mereka. Oleh karenanya, orang yang memiliki self-awareness yang paham jika deadline ketat bisa memunculkan hal terburuk dalam dirinya, akan merencanakan waktunya secara cermat dan menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline. Orang lainnya dengan self-awareness yang tinggi bisa bekerja dengan klien yang suka menuntut. Dia akan memahami pengaruh klien terhadap mood dan alasan mendalam akan kekesalannya. “Tuntutan sepele mereka menjauhkan kita dari pekerjaan apa yang seharusnya kita selesaikan,” dia mungkin menjelaskan. Dan dia akan mengambil langkah lebih maju dan mengubah marahnya menjadi sesuatu yang konstruktif.  

Self-awareness berkembang ke pemahaman seseorang mengenai value dan tujuannya. Seseorang yang memiliki self-awareness tinggi tahu kemana tujuannya dan alasannya; misalnya, seseorang akan tegas dalam menolak tawaran pekerjaan yang menggiurkan secara finansial tetapi tidak cocok dengan prinsip atau tujuan jangka panjangnya. Seseorang yang memiliki self-awareness yang kurang, cenderung membuat keputusan dengan membawa gejolak batin dengan mengabaikan value yang ada. “Uangnya terlihat bagus, jadi saya mendaftar,” seseorang mungkin mengatakan akan bekerja dua tahun, “tetapi pekerjaannya tidak begitu bernilai bagi saya, sehingga saya merasa bosan terus-menerus.” Keputusan seseorang yang punya self-awareness menyatu dengan value diri mereka, sehingga mereka sering menjadikan pekerjaan sebagai hal yang memberikan energi. 

Lalu, bagaimana seseorang bisa mengenali self-awareness? Pertama dan yang utama, hal itu terlihat pada keterusterangan dan kemampuannya dalam mengenali diri sendiri secara realistis. Orang dengan self-awareness yang tinggi mampu berbicara secara akurat dan terbuka—meski tidak harus secara blak-blakan atau terang-terangan—mengenai emosi mereka dan pengaruhnya terhadap pekerjaan mereka. Contohnya, seorang manajer yang saya kenal skeptis mengenai layanan personal-shopper yang dikenalkan oleh perusahaannya yang merupakan sebuah department store besar. Tanpa diminta oleh tim dan atasannya, dia mengatakan kepada mereka: “Sulit bagi saya untuk mendukung peluncuran layanan ini,” akuinya, “karena saya ingin menjalankan proyek tersebut, tetapi saya tidak terpilih. Saya akan mencoba mengatasi perasaan ini.” Manajer itu pun dengan sungguh mengenali perasaannya, seminggu kemudian dia pun mendukung proyek tersebut secara penuh. 

Self-knowledge (pengetahuan diri) seperti itu sering muncul dalam proses rekrutmen. Tanyakan pada seorang kandidat untuk menggambarkan dirinya saat terbawa emosi dan melakukan sesuatu yang dia sesali nantinya. Kandidat yang punya self-awareness akan jujur dalam mengakui kegagalan—dan akan sering menceritakan kisah mereka dengan senyuman. Salah satu ciri dari self-awareness adalah rasa humor untuk mencela diri sendiri. 

Self-awareness juga bisa diidentifikasi saat tinjauan kinerja. Orang yang self-aware mengakui dan nyaman membicarakan mengenai kekurangan dan kekuatannya, dan mereka sering menunjukkan rasa haus akan kritik yang konstruktif. Sebaliknya, orang dengan self-awareness rendah menerjemahkan pesan untuk memperbaiki diri sebagai ancaman atau tanda kegagalan. 

Orang yang punya self-awareness juga bisa dikenali dari kepercayaan diri mereka.  Mereka memiliki pemahaman kuat akan kemampuan mereka dan cenderung tidak membuat diri mereka gagal, contohnya, terlalu memaksimalkan tugas. Mereka juga tahu kapan harus meminta tolong. Dan risiko yang mereka dapatkan dari pekerjaan juga mereka perhitungkan. Mereka tidak akan meminta tugas yang mereka sadar jika tidak bisa menanganinya sendiri. Mereka akan bermain dengan kekuatannya. 

Mari lihat contoh tindakan seorang karyawan tingkat menengah yang diundang untuk bergabung pada meeting strategi dengan para eksekutif terbaik perusahaan. Meski dia adalah orang yang paling junior di ruangan, dia tidak duduk diam, mendengarkan dalam keheningan atau ketakutan. Dia tahu dia memiliki pemikiran dengan logika yang jelas dan keterampilan untuk mempresentasikan gagasan secara persuasif, dan dia menawarkan saran yang meyakinkan untuk strategi perusahaan. Di waktu yang sama, self-awareness yang dia miliki juga menghentikannya memasuki bidang yang dia sadari dia lemah di sana. 

Terlepas dari value seseorang yang memiliki self-awareness, penelitian saya menunjukkan jika eksekutif senior tidak memberikan apresiasi yang semestinya kepada orang yang memiliki self-awareness ketika mereka mencari leaders yang potensial. Banyak eksekutif salah mengartikan keterusterangan mengenai perasaan sebagai “kelemahan” dan gagal memberikan respek kepada karyawan yang secara terbuka mengakui kelemahan mereka. Orang seperti itu terlalu terburu-buru disisihkan untuk memimpin orang lain karena “tidak cukup tangguh.”

Namun, nyatanya yang terjadi adalah kebalikannya. Awalnya, secara umum orang mengagumi dan respek dengan keterusterangan. Selanjutnya, leaders secara terus menerus dituntut untuk membuat penilaian yang membutuhkan penilaian jujur terhadap kemampuan dirinya dan orang lain. Apakah kita punya keahlian manajemen untuk menaklukkan kompetitor? Bisakah kita meluncurkan produk baru dalam 6 bulan? Orang yang menilai dirinya secara jujur—yakni orang dengan self-awareness—cocok untuk melakukannya bagi perusahaan yang mereka jalankan. 

Self-Regulation

Impuls biologis menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg emosi kita. Kita tidak bisa mengabaikannya—tetapi kita bisa melakukan banyak hal untuk mengelolanya. Self-regulation, yang mana seperti percakapan batin yang berkelanjutan, adalah komponen dari kecerdasan emosional yang membebaskan kita dari penjara perasaan kita sendiri. Tiap orang terikat dalam percakapan seperti itu merasakan mood yang buruk dan https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan emosional seperti halnya orang lain, tetapi mereka menemukan cara untuk mengendalikan dan bahkan menghubungkannya dengan cara yang menguntungkan. 

Bayangkan seorang eksekutif yang baru saja menyaksikan tim karyawannya mempresentasikan analisa yang gagal kepada jajaran direktur perusahaannya. Dalam kekesalannya, eksekutif bisa saja terpicu untuk menggebrak meja dengan marah atau menendang kursi. Dia bisa melompat dan berteriak pada timnya. Atau mungkin dia tetap diam dengan murung, memelototi setiap orang sebelum meninggalkan ruangan. 

Namun, jika dia memiliki self-regulation, dia akan memiliki pendekatan lain. Dia akan memilih kata-katanya secara hati-hati, mengakui kinerja buruk tim tanpa terburu-buru memberikan penilaian. Dia akan merenung sejenak untuk melihat alasan kegagalannya. Apakah karena kurangnya usaha mereka? Apakah ada faktor yang meringankan? Apa kontribusinya dalam kegagalan tersebut? Setelah mempertimbangkan pertanyaan tersebut, dia akan memanggil timnya bersamaan, menjelaskan konsekuensi dari kejadian tersebut, dan menunjukkan perasaannya terhadap hal tersebut. Kemudian, dia akan memberikan analisis permasalahan dan solusi yang dipertimbangkan dengan baik. 

Mengapa self-regulation begitu penting bagi leaders? Pertama-tama, orang yang berada dalam kendali perasaan dan impuls, yang mana merupakan orang yang logis, mampu menciptakan lingkungan kepercayaan dan keadilan. Dalam lingkungan seperti itu, politik dan pertikaian berkurang tajam dan productivity meningkat. Orang-orang yang berbakat akan berbondong-bondong mendatangi perusahaan dan tidak tergiur untuk meninggalkannya. Dan self-regulation memiliki efek yang menurun ke bawah. Tak ada seorang pun yang ingin dikenal sebagai pemarah ketika atasan mereka dikenal dengan pendekatannya yang tenang. Lebih sedikit mood yang buruk di tingkat atas perusahaan berarti lebih sedikit suasana hati buruk di seluruh perusahaan. 

Kedua, self-regulation adalah hal yang penting untuk alasan yang kompetitif. Semua orang tahu jika bisnis sekarang ini dipenuhi dengan ambiguitas dan perubahan. Perusahaan bergabung dan terpecah secara jamak. Teknologi mengubah pekerjaan dengan kecepatan yang memusingkan. Orang yang menguasai emosinya bisa berjalan dengan perubahan. Ketika suatu program baru diumumkan, mereka tidak panik, justru mereka mampu menahan penghakiman, mencari informasi, dan mendengarkan eksekutif saat mereka menjelaskan program baru itu. Saat inisiatif bergerak maju, orang-orang itu pun mampu bergerak bersamanya. 

Bahkan terkadang mereka memimpin jalan. Misalnya dalam suatu kasus seorang manajer di perusahaan manufaktur besar. Seperti rekan-rekannya, dia telah menggunakan program software tertentu selama 5 tahun. Program itu menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg bagaimana dia mengumpulkan dan melaporkan data dan bagaimana dia memikirkan mengenai strategi perusahaan. Suatu hari, eksekutif senior mengumumkan jika program baru akan diinstal dan akan mengubah secara besar-besaran bagaimana informasi dikumpulkan dan dinilai dalam perusahaan. Meskipun banyak orang di perusahaan komplain secara tidak menyenangkan mengenai betapa mengganggunya perubahan tersebut, manajer tersebut merenungkan alasan hadirnya program baru dan yakin akan potensinya untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Dia dengan semangat menghadiri sesi pelatihan—beberapa rekannya menolak—dan dia pada akhirnya dipromosikan untuk menjalankan beberapa divisi, terutama karena dia menggunakan teknologi baru dengan sangat efektif. 

Saya ingin menekankan pentingnya self-regulation pada leadership dengan lebih lanjut untuk meningkatkan integritas yang bukan hanya sebagai keuntungan pribadi, tetapi juga untuk kekuatan perusahaan. Banyak hal-hal buruk yang terjadi di perusahaan menjadi fungsi dari perilaku impulsif. Orang jarang merencanakan untuk melebihkan profit, membayar rekening pengeluaran, terjun ke kasir, atau menyalahgunakan kekuasaan untuk tujuan yang egois. Sebaliknya, sebuah peluang muncul dengan sendirinya dan orang dengan kontrol impuls rendah hanya mengatakan ya. 

Berikutnya, mari lihat contoh perilaku dari eksekutif senior di perusahaan makanan besar. Eksekutif itu sangat jujur dalam negosiasinya dengan distributor lokal. Dia akan secara rutin menjelaskan struktur pembiayaan secara detail, sehingga memberikan pemahaman yang realistik pada distributor itu mengenai pricing perusahaan. Pendekatan ini berarti eksekutif tidak selalu bisa melakukan tawar menawar yang sulit. Sekarang ini, terkadang dia memiliki https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan untuk meningkatkan profit dengan menahan informasi mengenai biaya perusahaan. Namun, dia menantang https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan tersebut—dia melihat jika itu lebih masuk akal dalam jangka waktu lama untuk melawannya. Self-regulation pada emosinya terbayar dengan hubungan erat dan langgeng dengan distributor yang menguntungkan perusahaan lebih dari keuntungan finansial jangka pendek apa pun. 

Oleh karenanya, ciri-ciri self-regulation emotional mudah untuk dilihat: kecenderungan untuk refleksi dan kontemplasi; kenyamanan dengan ambiguitas dan perubahan; dan integritas—kemampuan untuk mengatakan tidak pada https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan impulsif.

Sepertinya halnya self-awareness, self-regulation tidak mendapatkan haknya. Seseorang yang bisa menguasai emosinya terkadang terlihat dingin—respon mereka disebut sebagai kurang bersemangat. Orang dengan temperamen berapi-api sering kali disebut sebagai leaders klasik—ledakan mereka disebut sebagai ciri karisma dan kekuasaan. Tetapi, ketika orang tersebut bisa mencapai puncak, tingkat impulsif mereka sering kali bertentangan dengan diri mereka. Dalam penelitian saya, emosi negatif tak pernah muncul sebagai https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan leadership yang baik. 

Motivasi

Jika ada satu sifat yang dimiliki oleh hampir semua leaders efektif, maka itu adalah motivasi. Mereka terhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg untuk mencapai hal yang melampaui ekspektasi mereka sendiri dan orang lain. Kata kuncinya di sini adalah ‘mencapai’. Banyak orang yang termotivasi oleh faktor eksternal, seperti gaji besar atau status yang diperoleh karena memiliki jabatan yang mengesankan atau menjadi bagian dari perusahaan bergengsi. Sebaliknya, mereka yang memiliki potensi leadership, termotivasi oleh keinginan yang tertanam kuat untuk mencapai pencapaian.

Jika Anda mencari leaders, bagaimana Anda bisa mengidentifikasi orang-orang yang termotivasi oleh https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan untuk mencapai dan bukan oleh reward eksternal? Ciri pertama adalah passion untuk pekerjaan itu sendiri—orang-orang seperti itu mencari tantangan kreatif, suka belajar, dan sangat bangga terhadap pekerjaan yang berhasil dikerjakan dengan baik. Mereka juga menunjukkan energi besar saat melakukan sesuatu dengan lebih baik. Orang dengan energi seperti itu sering kali tampak gelisah dengan status quo. Mereka teguh pendirian saat menghadapi pertanyaan tentang mengapa sesuatu dilakukan dengan satu cara daripada yang lain; mereka bersemangat untuk mengeksplorasi pendekatan baru untuk pekerjaan mereka.

Seorang manajer perusahaan kosmetik, misalnya, sempat kesal karena harus menunggu dua minggu untuk mendapatkan hasil penjualan dari orang-orang di lapangan. Dia akhirnya melacak sistem telepon otomatis yang akan berbunyi bip setiap pekerja penjualannya pada jam 5 sore setiap hari. Sebuah pesan otomatis kemudian menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg mereka untuk memasukkan nomor mereka—berapa banyak panggilan dan penjualan yang mereka lakukan hari itu. Sistem mempersingkat waktu pemberian feedback pada hasil penjualan dari minggu ke jam.

Cerita tersebut menggambarkan dua sifat umum lainnya dari orang-orang yang terhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg untuk mencapai. Mereka terus-menerus meningkatkan standar kinerja, dan mereka suka mempertahankan rekor. Mementingkan standar kinerja terlebih dahulu. Selama tinjauan kinerja, orang-orang dengan motivasi tingkat tinggi mungkin meminta untuk “diregangkan” oleh atasan mereka. Tentu saja, seorang karyawan yang menggabungkan self-awareness dengan motivasi internal akan mengenali batasannya—tetapi dia tidak akan puas dengan tujuan yang tampaknya terlalu mudah untuk digapai.

Dan tentu saja orang-orang yang terhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg untuk berbuat lebih baik juga menginginkan cara untuk mengamati kemajuan mereka sendiri, tim mereka, dan perusahaan mereka. Sedangkan orang-orang dengan motivasi berprestasi rendah sering tidak jelas mengenai hasil, mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi sering menjaga skor dengan melacak tindakan keras seperti profitabilitas atau pangsa pasar. Saya mengenal seorang manajer keuangan yang memulai dan mengakhiri harinya di internet, mengukur kinerja dana sahamnya berdasarkan empat tolok ukur yang ditetapkan industri.

Menariknya, orang-orang dengan motivasi tinggi tetap optimis bahkan ketika angka menunjukkan berlawanan. Dalam kasus seperti itu, self-regulation digabungkan dengan motivasi bisa berhasil untuk mengatasi frustasi dan depresi yang datang setelah kemunduran atau kegagalan. Ambil contoh kasus manajer portofolio lain di sebuah perusahaan investasi besar. Setelah beberapa tahun yang sukses, dananya anjlok selama tiga kuartal berturut-turut, menyebabkan tiga klien institusional besar mengalihkan bisnis mereka ke tempat lain.

Beberapa eksekutif akan menyalahkan penurunan tersebut karena keadaan di luar kendali mereka; orang lain mungkin melihat kemunduran itu sebagai bukti kegagalan pribadi. Namun, manajer portofolio ini melihat peluang untuk membuktikan bahwa dia bisa memimpin sebuah perubahan. Dua tahun kemudian, ketika dia dipromosikan ke tingkat yang sangat senior di perusahaan, dia menggambarkan pengalaman itu sebagai “hal terbaik yang pernah terjadi pada saya; Saya belajar banyak.”

Para eksekutif yang mencoba mengenali motivasi dari karyawan berprestasi tingkat tinggi dapat mencari satu bukti terakhir: komitmen terhadap perusahaan. Ketika orang menyukai pekerjaan mereka karena pekerjaan itu sendiri, seringnya mereka akan berkomitmen pada perusahaan yang memungkinkan pekerjaan tersebut. Karyawan yang berkomitmen, cenderung bertahan dengan perusahaan bahkan ketika mereka dikejar oleh head hunter yang melambaikan uang.

Tidaklah sulit untuk memahami bagaimana dan mengapa motivasi untuk mencapai sesuatu diterjemahkan menjadi leadership yang kuat. Jika Anda mematok standar kinerja yang tinggi untuk diri Anda, Anda akan melakukan hal sama untuk perusahaan ketika Anda ada di jabatan yang memunginkan untuk melakukannya. Demikian pula, https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan untuk melampaui tujuan dan keinginan untuk menjaga rekor bisa menular. Leaders dengan sifat-sifat tersebut sering kali bisa membangun tim manajer di sekitar mereka dengan sifat yang sama. Dan tentunya, optimisme dan komitmen perusahaan adalah hal fundamental untuk leadership—bayangkan saja jika menjalankan perusahaan tanpa hal-hal tersebut. 

Empati

Dari semua dimensi kecerdasan emosional, empati adalah yang paling mudah dikenali. Kita semua merasakan empati dari seorang guru dan teman yang sensitif; kita semua pernah dikejutkan akan tidak adanya empati pada diri seorang coach atau atasan. Namun, berkaitan dengan bisnis, kita jarang mendengar orang memuji, apalagi memberikan reward, untuk empati. Kata itu sangat tidak mencerminkan bisnis, tidak sesuai dengan kenyataan di tengah pasar yang sulit. 

Namun empati bukan berarti semacam “Aku baik-baik saja, kau juga baik-saja.” Bagi seorang leader, empati bukan berarti mengadopsi emosi orang lain sebagai miliknya dan mencoba menyenangkan semua orang. Itu akan jadi mimpi buruk dan membuat tindakan terasa tidak mungkin. Justru, empati berarti memperhatikan dengan cermat perasaan karyawan—bersamaan dengan faktor lainnya—dalam proses pengambilan keputusan cerdas.  

Contoh dari tindakan empati, bayangkan apa yang terjadi ketika dua perusahaan pialang raksasa bergabung, menciptakan pekerjaan yang berlebihan di semua divisi mereka. Seorang manajer divisi memanggil orang-orangnya bersamaan dan memberikan pernyataan menyedihkan mengenai jumlah orang yang akan dipecat dalam waktu dekat. Manajer dari divisi lain memberikan pertanyaan yang lain. Dia terus terang mengenai kegelisahan dan kebingungannya, dan dia berjanji untuk memberi update kepada tiap orang dan memperlakukan semua secara adil. 

Perbedaan di antara kedua manajer itu adalah empati. Manajer pertama terlalu khawatir mengenai nasibnya sendiri tanpa menghiraukan perasaan kecemasan yang dialami rekan-rekannya. Manajer kedua secara intuitif tahu apa yang dirasakan orang-orangnya, dan dia mengakui kekhawatiran mereka dengan kata-katanya. Apakah mengejutkan jika manajer pertama nantinya akan melihat divisinya tenggelam karena banyak orang yang mengalami penurunan moral, bahkan yang paling berbakat pun memilih meninggalkan perusahaan? Sebaliknya, manajer kedua terus menjadi leader yang kuat, orang-orang terbaiknya pun tetap tinggal dan divisinya tetap produktif seperti biasa. 

Empati sangatlah penting di masa kini sebagai komponen leadership setidaknya karena 3 alasan: meningkatnya penggunaan tim dalam pekerjaan; laju globalisasi yang cepat; dan meningkatnya kebutuhan untuk mempertahankan karyawan. 

Misalkan saja tantangan dalam memimpin sebuah tim. Seperti yang bisa dibuktikan oleh sebagian dari orang yang pernah tergabung dalam tim, tim adalah kuali emosi yang meluap-luap. Mereka dituntut untuk mencapai suatu titik temu—yang cukup sulit bagi dua orang dan akan lebih sulit saat jumlah orangnya bertambah. Bahkan dalam kelompok dengan sedikitnya 4 atau 5 anggota, aliansi terbentuk dan muncullah agenda yang bentrok. Tim leader harus mampu merasakan dan memahami sudut pandang semua orang dalam tim tersebut. 

Itulah hal yang tepatnya mampu dilakukan oleh seorang manajer pemasaran di perusahaan teknologi informasi besar ketika dia ditunjuk untuk memimpin tim yang bermasalah. Tim itu dalam kekacauan, dipenuhi dengan pekerjaan dan deadline yang terlewat. Terjadi ketegangan tinggi di antara para anggota. Mengutak-atik prosedur tidak cukup untuk menyatukan tim kembali dan menjadikannya bagian efektif dari perusahaan. 

Jadi, manajer tersebut mengambil beberapa langkah. Dalam serangkaian sesi diskusi satu lawan satu, dia meluangkan waktu untuk mendengarkan semua orang di tim—apa yang membuat mereka kesal, bagaimana mereka menilai rekan mereka, dan apakah mereka merasa diabaikan. Dan kemudian dia mengarahkan tim dengan cara menyatukan mereka: Dia menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg orang-orang untuk bicara lebih terbuka mengenai kekesalan mereka, dan dia membantu orang-orang untuk menyampaikan keluhan yang membangun selama meeting. Singkatnya, empatinya memungkinkan dia untuk memahami susunan emosional timnya. Hasilnya tidak hanya  meningkatkan kerja sama di antara para anggota tim, tetapi juga meningkatkan bisnis karena tim dimintai bantuan oleh lebih banyak klien internal. 

Globalisasi adalah alasan lain meningkatkan pentingnya empati bagi leader bisnis. Diskusi lintas budaya dapat dengan mudah menimbulkan kesalahpahaman. Empati adalah penawarnya. Orang yang memiliki empati terbiasa dengan kehalusan bahasa tubuh; mereka bisa mendengar pesan di balik kata-kata yang diucapkan. Di luar itu, mereka memiliki pemahaman yang mendalam mengenai keberadaan dan pentingnya perbedaan budaya dan etnis. 

Mari lihat contoh kasus dari konsultan Amerika yang timnya baru saja mengajukan proyek ke klien Jepang yang potensial. Dalam berurusan dengan orang Amerika, tim terbiasa dibombardir dengan berbagai pertanyaan setelah pengajuan tersebut, namun kali ini mereka disambut dengan keheningan panjang. Anggota tim lainnya, yang menganggap diam sebagai ketidaksetujuan, bersiap untuk pergi. Leader konsultan memberikan aba-aba supaya mereka berhenti. Meski dia tidak begitu familiar dengan budaya Jepang, dia membaca wajah klien dan postur dan tidak merasakan penolakan tetapi ketertarikan—bahkan pertimbangan yang mendalam. Dia memang benar: Saat klien akhirnya bicara, itulah saat dia mengiyakan pekerjaan tersebut.

Terakhir, empati memainkan peran utama dalam mempertahankan karyawan, terutama pada informasi ekonomi di masa kini. Leader harus selalu  mengembangkan empati dan mempertahankan karyawan terbaik, tetapi sekarang ini, taruhannya lebih tinggi. Ketika karyawan terbaik meninggalkan perusahaan, mereka turut membawa pergi pengetahuan perusahaan. 

Di situlah peran dari coaching dan mentoring. Telah dibuktikan berkali-kali jika coaching dan mentoring berimbas tidak hanya pada kinerja yang semakin baik, tetapi juga peningkatan kepuasan kerja dan penurunan turnover karyawan. Namun, apa yang membuat coaching dan mentoring bekerja dengan baik adalah esensi dari relasi tersebut. Coach dan mentor hebat mampu memasuki pemikiran orang yang mereka bantu. Mereka tahu bagaimana cara memberikan feedback yang efektif. Mereka tahu kapan harus menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg kinerja lebih baik dan kapan harus menahannya. Dalam memotivasi anak didik mereka, mereka menunjukkan empati. 

Mungkin ini terdengar seperti pengulangan, tetapi biarkan saya mengingatkan lagi jika empati tidak mendapatkan banyak respek di dunia bisnis. Orang-orang bertanya bagaimana para leaders bisa membuat keputusan sulit jika mereka “berperasaan” pada semua orang yang akan terpengaruh. Tetapi, leaders dengan empati melakukan hal lebih dari sekadar bersimpati dengan orang-orang di sekitar mereka: Mereka menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan perusahaan mereka dengan cara yang cerdik namun penting. 

Keterampilan Sosial

Tiga komponen pertama dari kecerdasan emosional adalah keterampilan manajemen diri. Dua komponen terakhir, empati dan keterampilan sosial, menyangkut kemampuan seseorang dalam mengelola hubungan dengan orang lain. Sebagai komponen dari kecerdasan emosional, keterampilan sosial tidak sesederhana kedengarannya. Bukan hanya menyangkut mengenai keramahan, meski orang dengan tingkat keterampilan sosial yang tinggi jarang yang bersikap kejam. Keterampilan sosial, lebih tepatnya, adalah keramahan dengan tujuan untuk menggerakkan orang ke arah yang dikehendaki, baik itu mengenai kesepakatan strategi pemasaran baru atau antusiasme terhadap produk baru.

Orang-orang yang terampil secara sosial cenderung memiliki lingkaran kenalan yang luas, dan mereka memiliki kemampuan untuk menemukan kesamaan dengan orang-orang dari berbagai jenis—kemampuan untuk membangun hubungan baik. Itu tidak berarti mereka bersosialisasi terus-menerus; tetapi, berarti mereka bekerja sesuai dengan asumsi bahwa tidak ada hal penting yang diselesaikan sendiri. Orang-orang seperti itu memiliki network ketika saatnya untuk bertindak.

Keterampilan sosial merupakan puncak dari dimensi kecerdasan emosional lainnya. Orang-orang cenderung sangat efektif dalam mengelola hubungan ketika mereka dapat memahami dan mengendalikan emosi mereka sendiri dan dapat berempati dengan perasaan orang lain. Bahkan motivasi berkontribusi pada keterampilan sosial. Ingatlah bahwa orang yang terhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg untuk berprestasi cenderung optimis, bahkan dalam menghadapi kemunduran atau kegagalan. Ketika orang-orang merasa optimis, “cahaya” mereka terpancar pada percakapan dan pertemuan sosial. Mereka populer untuk alasan yang bagus.

Karena merupakan hasil dari dimensi lain dari kecerdasan emosional, keterampilan sosial dapat dikenali di tempat kerja dengan banyak cara yang sekarang ini terdengar familiar. Orang yang terampil secara sosial, misalnya, mahir dalam mengatur tim—itulah empati mereka di tempat kerja. Demikian juga, mereka adalah pembujuk yang ahli—perwujudan dari gabungan antara self-awareness, self-regulation, dan empati. Dengan keterampilan-keterampilan tersebut, pembujuk yang baik tahu kapan harus membuat permohonan emosional, misalnya, dan kapan memberikan permohonan berdasarkan fakta untuk bekerja lebih baik. Dan motivasi, ketika terlihat di depan umum, membuat orang-orang seperti itu menjadi kolaborator yang sangat baik; semangat mereka untuk bekerja menyebar ke orang lain, dan mereka terhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg untuk menemukan solusi.

Tetapi, terkadang keterampilan sosial tampak dengan cara yang tidak dimiliki oleh komponen kecerdasan emosional lainnya. Misalnya, orang-orang yang terampil secara sosial mungkin kadang-kadang terlihat tidak bekerja saat bekerja. Mereka terlihat hanya bercanda—mengobrol di lorong dengan rekan kerja atau bercanda dengan orang-orang yang bahkan tidak terkait dengan pekerjaan “nyata” mereka. Namun, orang-orang yang terampil secara sosial tidak berpikir jika membatasi ruang lingkup hubungan mereka secara sewenang-wenang itu masuk akal. Mereka membangun ikatan secara luas karena mereka tahu bahwa di masa yang berubah-ubah ini, suatu hari mereka mungkin membutuhkan bantuan dari orang-orang yang baru mereka kenal hari ini.

Sebagai contoh, ada kasus seorang eksekutif di departemen strategi sebuah pabrik komputer global. Pada 1993, dia yakin bahwa masa depan perusahaan terletak pada internet. Selama tahun berikutnya, ia menemukan semangat yang sama dan menggunakan keterampilan sosialnya untuk menyatukan komunitas virtual yang melintasi level, divisi, dan negara. Dia kemudian menggunakan tim de facto tersebut untuk memasang situs web perusahaan, menjadi bagian yang pertama di antara perusahaan besar. Dan, atas inisiatifnya sendiri, tanpa anggaran atau status formal, dia mendaftarkan perusahaan tersebut untuk berpartisipasi dalam konvensi industri internet tahunan. Memanggil sekutunya dan membujuk berbagai divisi untuk menyumbangkan dana, ia merekrut lebih dari 50 orang dari selusin unit yang berbeda untuk mewakili perusahaan di konvensi.

Manajemen memperhatikan: Dalam satu tahun konferensi, tim eksekutif membentuk dasar untuk divisi internet pertama perusahaan, dan dia secara resmi ditugaskan untuk itu. Untuk sampai ke titik tersebut, eksekutif telah mengabaikan batasan konvensional, menempa dan memelihara hubungan dengan orang-orang di setiap bagian perusahaan.

Apakah keterampilan sosial dianggap sebagai kemampuan leadership utama di sebagian besar perusahaan? Jawabannya adalah ya, apalagi jika dibandingkan dengan komponen kecerdasan emosional lainnya. Orang-orang tampaknya tahu secara intuitif bahwa para leaders perlu mengelola hubungan secara efektif; tidak ada leader yang bisa bekerja tanpa orang-orangnya. Bagaimanapun, tugas leader adalah menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain, dan keterampilan sosial memungkinkan hal itu. Seorang leader yang tidak bisa mengungkapkan empatinya mungkin juga tidak memilikinya sama sekali. Dan motivasi seorang leader akan sia-sia jika dia tidak dapat mengkomunikasikan semangatnya kepada perusahaan. Keterampilan sosial memungkinkan para leaders untuk menempatkan kecerdasan emosional mereka untuk bekerja.

Akan jadi hal bodoh jika kita menyatakan bahwa IQ dan kemampuan teknis bukanlah unsur penting dalam leadership yang kuat. Tapi resepnya tidak akan lengkap tanpa kecerdasan emosional. Pernah ada anggapan bahwa komponen kecerdasan emosional “baik untuk dimiliki” dalam diri para leader bisnis. Tapi sekarang kita tahu bahwa, demi kinerja, komponen-komponen di atas adalah komposisi yang “harus dimiliki oleh para leaders.”

Untungnya, kecerdasan emosional bisa dipelajari. Prosesnya tidaklah mudah. Butuh waktu, dan yang terpenting adalah komitmen. Namun, manfaat yang didapat dengan memiliki kecerdasan emosional yang dikembangkan dengan baik, entah itu untuk individual dan perusahaan, membuatnya sepadan dengan usaha yang telah dilakukan.

Sumber: HBR (Daniel Goleman, dari the Magazine (Januari 2004)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *