Berinteraksilah dengan Empati, Tetapi Pimpinlah dengan Kasih Sayang

Selama hampir 2 tahun, para pemimpin didorong berperan menjadi Kepala Penasihat, membantu tim-timnya untuk pulih dari kesedihan dan kehilangan akibat pandemi, meningkatkan kesehatan mental dari karyawannya yang menurun, menjadi lebih peka dengan kekhawatiran orang dan secara terbuka membagikan kesusahannya. Pada intinya, mereka telah dibebani dengan beban emosional yang besar.

Tentu saja, empati seperti ini penting untuk menjadi pimpinan yang baik. Namun, jika terlalu banyak akan menjadi sebuah masalah dan membebani Anda. Jadi, ketika kami mengatakan hal ini pada para pimpinan bahwa sebenarnya mereka tidak harus memikul kesulitan orang yang mereka pimpin, rasanya seperti beban berat terangkat dari pundak mereka. 

Alih-alih memikul beban empati tersebut, Anda bisa belajar merasakan kelegaan dengan kasih sayang. Ini merupakan perubahan besar bagi pemimpin dalam menjalin koneksi dengan tim mereka, sebuah perubahan yang menguntungkan semua sisi. Hal ini dimulai dengan memahami perbedaan antara empati dan kasih sayang. 

Empati dan Kasih sayang: Apa bedanya?

Mari kita mulai dengan melihat beberapa definisinya. Kata ‘empati’ dan ‘kasih sayang,’ serta ‘simpati’ terkadang sering disalahartikan. Ketiganya mewakili perilaku yang positif dan altruistik, namun ketiganya tidak merujuk pada pengalaman yang sama. Penting untuk mengetahui 2 perbedaan standar dari kasih sayang: memahami apa yang orang lain rasakan, dan keinginan untuk meringankan penderitaan orang lain. Gambar di bawah ini membedakaan secara visual antara kasih sayang dengan perasaan empati, simpati, dan kasihan.

Pada bagian kiri bawah menunjukkan kita merasa kasihan. Ketika kita merasa kasihan, kita memiliki sedikit keinginan untuk bertindak dan memahami perasaan orang lain. Kita hanya merasa kasihan kepada mereka. Berpindah ke bagan atas kanan, menunjukkan kita merasa simpati. Ada sedikit peningkatan dalam keinginan untuk membantu dan pemahaman terhadap orang lain. Kita merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Naik ke satu tingkat berikutnya, kita sampai pada empati. Dengan empati, kita memiliki pemahaman lebih mendalam pada perasaan orang lain. Kita merasakan posisi orang tersebut. Kita benar-benar merasakan emosi dari orang lain dan seolah perasaan tersebut adalah perasaan kita sendiri. Meskipun ini adalah hal yang mulia untuk dilakukan, tindakan ini tidak sepenuhnya bisa membantu orang lain, kecuali bisa mengurangi rasa kesepian dalam diri mereka.  

Terakhir, di bagian kanan atas, kita memiliki pemahaman yang baik terhadap apa yang dialami orang lain dan keinginan kita untuk bertindak. Pemahaman kita tentang pengalaman orang lain menjadi lebih besar dibandingkan dengan empati karena kita merasakan kesadaran emosional dan pemahaman rasional. Kasih sayang terjadi ketika kita menjauhkan diri dari empati dan mempertanyakan diri kita apa hal yang bisa dilakukan untuk mendukung orang yang kesulitan. Sehingga, dalam hal ini, kasih sayang adalah sebuah niat versus emosi (perasaan). 

Kenapa Hal Ini Penting? 

Paul Polman, mantan CEO Unilever, mengatakan: “Jika saya memimpin dengan empati, saya tidak akan pernah bisa membuat satu keputusan pun. Kenapa? Karena dengan empati, saya mencerminkan emosi orang lain yang membuat mustahil untuk mempertimbangkan kebaikan yang lebih besar.”

Paul memang benar. Meskipun banyak manfaat yang dimiliki, empati bisa menjadi pemandu yang buruk bagi para pemimpin. 

Sering kali empati menolong kita untuk melakukan hal yang tepat, tetapi terkadang juga mendorong kita untuk melakukan hal yang salah. Penelitian oleh Paul Bloom, profesor ilmu kognitif dan psikologi di Yale University dan penulis Against Empathy, menemukan jika empati bisa memutarbalikkan penilaian kita. Dalam penelitiannya, terdapat 2 kelompok yang diminta mendengarkan rekaman dari anak laki-laki yang menjelaskan penyakit terminal yang dideritanya. Satu kelompok diminta untuk mengidentifikasi dan merasakan apa yang dirasakan anak laki-laki tersebut. Kelompok lainnya diinstruksikan untuk mendengarkan secara objektif dan tidak terlibat secara emosional. 

Setelah mendengarkan rekaman tersebut, setiap orang ditanyai apakah mereka ingin memindahkan laki-laki tersebut ke daftar perawatan prioritas yang dikelola oleh dokter medis. Dalam kelompok emosional, tiga perempat partisipan memutuskan untuk memindahkannya ke daftar tersebut bertentangan dengan pendapat dari dokter profesional, yang berpotensi menempatkan individu yang lebih sakit dalam risiko. Dalam kelompok objektif, hanya sepertiga partisipan mengatakan saran yang sama. 

Sebagai pemimpin, empati bisa mengaburkan penilaian kita, menjadi bias, dan membuat kita kurang efektif dalam membuat keputusan yang bijak. Namun, bukan berarti hal itu harus dihindari sepenuhnya. Seorang pemimpin tanpa empati sama halnya mesin tanpa busi—tak akan bisa bekerja. Empati adalah hal yang esensial untuk relasi dan kemudian kita bisa meningkatkannya untuk memimpin dengan kasih sayang.

Dan inilah tantangan terbesar untuk para pemimpin: kita cenderung terperangkap oleh empati kita, membuat kita tidak bisa beralih memimpin dengan kasih sayang.

Menghindari Jebakan Empati—dan Memimpin dengan Kasih Sayang

Mengalahkan jajahan empati adalah kemampuan penting bagi pemimpin manapun. Dalam menguasai kemampuan ini, Anda harus ingat jika menjauh dari empati tidak membuat Anda kurang manusiawi atau kurang baik hati. Justru, Anda akan lebih baik dalam memberikan dukungan kepada orang dalam masa sulit mereka. Berikut adalah 6 kunci strategis untuk menggunakan empati sebagai katalis untuk memimpin dengan penuh kasih sayang. 

Menjauh dari kondisi mental dan emosional.

Untuk menghindari jajahan empati ketika Anda bersama dengan orang yang mengalami kesusahan, cobalah untuk menjauh dari mental dan emosional. Keluarlah dari ruang emosional untuk mendapatkan perspektif yang lebih terang mengenai situasi dan orang tersebut. Dengan perspektif inilah Anda bisa membantunya. Dengan menciptakan jarak emosional, Anda bisa saja merasa menjadi orang jahat. Tetapi, ingatlah jika Anda tidak menjauh dari orang tersebut. Hanya saja, Anda menjauh dari masalah untuk membantu menyelesaikannya. 

Tanyakan apa yang mereka butuhkan. 

Ketika Anda bertanya pertanyaan sederhana “Apa yang Anda butuhkan?” Anda berinisiasi memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut dengan memberikan kesempatan untuk merefleksikan apa yang mungkin dia butuhkan. Ini akan membuat Anda lebih paham bagaimana seharusnya Anda bisa memberikan pertolongan. Dan bagi orang yang sedang kesulitan tersebut, langkah awal untuk merasakan pertolongan adalah perasaan didengar dan dilihat.   

Ingatlah kekuatan dari tindakan non-aksi. 

Para pemimpin umumnya pandai dalam menyelesaikan sesuatu. Namun, ketika berhubungan dengan kesusahan orang lain, penting untuk mengingat bahwa dalam banyak kasus, orang tidak membutuhkan solusi Anda; mereka membutuhkan telinga dan kehadiran Anda dengan penuh kepedulian. Banyak masalah yang hanya butuh didengar dan diterima. Dalam hal ini, mengambil langkah ‘non-aksi’ seringkali menjadi cara yang paling ampuh dalam membantu seseorang. 

Tuntun orang tersebut, sehingga bisa menemukan solusinya sendiri.

Kepemimpinan bukan tentang menyelesaikan masalah-masalah orang lain. Melainkan tentang menumbuhkan dan mengembangkan orang, sehingga mereka bisa memiliki kekuatan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Hindari kesempatan dari adanya pembelajaran kehidupan ini dengan tidak secara langsung menyelesaikan permasalahan mereka. Namun, tuntun dan latihlah mereka. Tunjukkan jalan bagi mereka untuk menemukan jawabannya sendiri. 

Mempraktikkan self-care.Tunjukkan kasih sayang kepada diri sendiri dengan merawat diri sendiri (self-care). Terdapat dampak positif antara mengelola emosi kita supaya bisa membantu orang lain dengan lebih baik. Ini sering kali disebut sebagai emotional labor (kemampuan mengontrol emosi sesuai dengan kebutuhan organisasional). Menyerap, merefleksikan, dan mengarahkan kembali perasaan kepada orang lain bisa melelahkan. Dikarenakan hal ini, kita sebagai pemimpin harus mempraktikkan self-care: istirahat, tidur, makan dengan baik, memupuk relasi yang bermakna, dan mempraktikkan perhatian penuh wawas diri. Kita butuh menemukan cara untuk tetap tangguh, membumi, dan selaras dengan diri kita. Ketika kita menampakkan diri di tempat kerja dengan kualitas tersebut, orang bisa bergantung pada diri kita dan menemukan ketenangan serta kenyamanan dalam kesejahteraan diri.

Sumber: Harvard Business Review (Rasmus Hougaard, Jacqueline Carter, dan Marissa Afton, 23 Desember 2021)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *