Cara Menjadi Bahagia: 11 Strategi yang Terbukti Selama 2000 Tahun

“Saya yakin jelas bagi Anda, Lucilius, bahwa tidak ada orang yang dapat menjalani kehidupan yang bahagia, atau bahkan kehidupan yang mudah, tanpa mempelajari kebijaksanaan.” — Seneca

Kami tahu apa yang Anda pikirkan. 

Apa yang para Stoic ketahui tentang menjadi bahagia?

Bukankah seorang Stoic pasrah dengan apa pun yang terjadi?

Bukankah seorang Stoic seharusnya menjadi orang yang tidak berperasaan?

Tidak, tidak, tidak. Stoicism bukan tentang melenyapkan emosi. Tetapi, tentang meminimalkan emosi negatif seperti stres, kecemasan, dan kemarahan. Ini juga bukan berarti menerima ketidakberdayaan Anda. Tetapi, berkaitan dengan mengendalikan semua dalam diri yang bisa Anda kendalikan. Sikap Anda. Keinginan Anda. Hasrat Anda. Opini Anda terhadap apa yang telah terjadi. Kebahagiaan Anda. 

Kebahagiaan, kata para Stoic, berasal dari dalam diri kita. Kebahagiaan adalah pilihan. Dan, seperti yang dikatakan seorang budak yang menjadi guru, Epictetus, “Anda bisa mengikat kaki saya, tetapi bahkan Zeus pun tidak punya kuasa untuk mematahkan kebebasan pilihan saya.”

Para Stoic adalah orang yang bahagia, mereka menulis tentang kebahagiaan, dan mereka mengajari orang lain cara menjadi bahagia. Dalam artikel ini, kami ingin menyampaikan kebijaksanaan itu kepada Anda. Kami ingin membagikan strategi para Stoic yang telah teruji oleh waktu untuk menjadi bahagia. 

Apa itu Kebahagiaan?

Kata kebahagiaan dalam bahasa Yunani adalah Eudaimonia (εὐδαιμονία). Itu adalah buah dari mempelajari filsafat. Mereka menggunakannya secara bergantian dengan istilah “kehidupan yang bermakna” dan “kehidupan yang menyenangkan.” Bagi para Stoic, seorang Sage atau filsuf sempurna itu berhubungan dengan arah, bukan tujuan. Dan hanya pada perjalanan dalam arah tersebut seorang bisa merasakan eudaimonia.

Seperti yang ditulis Donald Robertson dalam Stoicism And The Art of Happiness.

Oleh karena itu, Sage yang sempurna adalah seperti dewa, seorang manusia yang telah membuat kemajuan bahwa kebijaksanaannya dan eudaimonia sepadan dengan Zeus. Stoic yang memiliki keinginan yang sama mencoba untuk membuat progres menuju kebijaksanaan yang sempurna dengan secara teratur merenungkan mengenai Sage dan meniru pemikiran serta tindakannya. 

Para Stoic percaya jika tujuan dan kebaikan tertinggi kehidupan adalah hidup dengan bajik. Kehidupan yang bajik adalah kehidupan yang mungkin memberikan kebahagiaan dan kepuasan pribadi. Dengan mengejar kebajikan dan menjadi orang baiklah yang memungkinkan kita mengalami eudaimonia—kebahagiaan, kebermaknaan, kehidupan yang menyenangkan. 

Inilah mengapa bagi para Stoic, kebahagiaan adalah mengejar mencari kebajikan. Ketika kita bertujuan untuk hidup secara bajik, kehidupan yang bahagia akan datang.  

Apa yang Menyebabkan Ketidakbahagiaan?

“Bukan karena manusia memiliki terlalu sedikit tetapi manusia yang menginginkan lebih, itulah kemiskinan.” Seneca

Ketika  mendapatkan apa yang diinginkan, kita akan bahagia. 

Hal ini mungkin adalah dongeng paling umum dari semua dongeng manusia—selain Perjalanan Pahlawan, selain Icarus yang terbang terlalu dekat dengan matahari, selain berbagai kisah klasik yang dibagikan di berbagai kebudayaan.

Ada kalanya kita semua menceritakan dongeng seperti ini pada diri kita sendiri. Kita berpikir saat kita jadi lebih tua dan bebas dari kontrol orang tua, semuanya akan jadi lebih baik. Kita berpikir jika kita menjadi kaya, terkenal, atau punya kuasa, semua masalah kita akan menghilang. Kita berpikir jika kita bertemu orang yang tepat, kita akan berhenti merasa kesepian. 

Kita berpikir jika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, kita akan bahagia. 

Aku akan bahagia jika aku dipromosikan. Aku akan bahagia jika menjadi miliarder, ketika diet ini berhasil, ketika aku bisa mencapai daftar best seller. 

Para psikolog menyebut pemikiran seperti ini sebagai conditional happiness (kebahagiaan bersyarat). Seperti horizon, Anda bisa berjalan bermil-mil dan tidak pernah mencapainya. 

Ini adalah sebuah delusi kolektif. “Hal ini sangat mustahil,” kata Epictetus, “untuk menyatukan kebahagiaan dengan hasrat memiliki atas apa yang tidak kita miliki. Kebahagiaan memiliki semuanya, dan jika diibaratkan orang yang diberi makan dengan cukup, seharusnya tidak ada kelaparan atau kehausan.”

Suatu hari temukan hasrat tersebut di tempat yang lebih baik dan lihatlah jika hasrat itu sebenarnya adalah musuh kebahagiaan. 

Pilih hasrat itu atau kebahagiaan Anda. Seperti kata para Stoic, kedua hal itu tidak punya kesesuaian. 

Apa Kata Para Stoic Mengenai Kebahagiaan?

“Percayalah, kebahagiaan sejati adalah hal yang penting. Apa Anda kira seorang bisa dengan ekspresi senang mengabaikan kematian? Atau membuka pintu pada kemiskinan, tetap mencari kesenangan, atau bermeditasi dalam menahan penderitaan? Orang yang dengan santainya membalikkan pikiran-pikiran ini benar-benar dipenuhi dengan kebahagiaan, tetapi hampir tidak nampak ceria. Persis seperti kebahagiaan yang saya harap bisa Anda miliki, karena kebahagiaan itu tidak akan pernah padam setelah Anda mengetahui akarnya.” — Seneca

Kita melontarkan kata-kata “bahagia” dan “senang” dengan santainya.

“Aku sangat bahagia karena berita itu.” “Aku bahagia kamu di sini.” “Kehadirannya membuat bahagia.” “Aku senang jika bisa membantu.” “Ini adalah acara yang menyenangkan.”

Tetapi, tidak ada satu pun contoh itu yang benar-benar menunjukkan kebahagiaan dan kesenangan yang sebenarnya. Contoh itu lebih erat kaitannya dengan “ceria.” Keceriaan adalah tingkat dasar.

Bagi para Stoic, kebahagiaan sejati, kesenangan sejati—adalah kondisi yang mendalam. Hal ini ada dalam diri kita dan kecil kaitannya dengan senyuman atau tertawa. Jadi, ketika orang mengatakan kalau para Stoic itu muram atau depresif, mereka sepenuhnya salah paham. Siapa yang peduli jika seseorang ceria di masa-masa yang menyenangkan? Pencapaian semacam apa itu?

Apa yang diinginkan para Stoic adalah kemampuan untuk sepenuhnya puas dengan kehidupan. Bisakah Anda dengan berani menghadapi apa yang diberikan kehidupan dari satu hari ke hari lainnya? Bisakah Anda bangkit dari segala bentuk kesulitan tanpa kehilangan langkah? Bisakah Anda menjadi sumber kekuatan dan inspirasi untuk orang di sekitar Anda?

Orang-orang yang mampu melakukannya adalah orang yang benar-benar dan sangat bahagia. Mereka memiliki jenis kebahagiaan yang bermula dari tujuan, keunggulan, dan kewajiban. Kebahagian yang lebih serius—jauh lebih serius dari senyuman atau suara yang ceria. 

11 Strategi Stoic untuk Menjadi Bahagia

Fokus pada Apa yang Bisa Anda Kendalikan

“Tugas utama dalam hidup hanyalah: memahami dan memisahkan beberapa hal sehingga saya bisa mengatakan dengan jelas kepada diri sendiri jika hal-hal di luar diri saya tidak di bawah kendali saya, tetapi berkaitan dengan pilihan yang bisa saya kendalikan. Lalu di mana saya mencari sesuatu baik dan yang buruk? Bukan pada faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan, tetapi dalam diri saya, pada pilihan yang saya miliki…” —Epictetus

Gretchen Rubin adalah salah satu ahli yang berpengaruh dan mampu membangkitkan pemikiran dalam topik kebiasaan dan kebahagiaan. Dia telah menulis beberapa buku terlaris versi New York Times, yang telah terjual jutaan eksemplar, termasuk The Happiness Project dan Happier at Home. Dia juga menjadi pemandu podcast pemenang penghargaan Happier with Gretchen Rubin. Singkatnya, Gretchen Rubin telah banyak berpikir tentang apa artinya menjalani kehidupan yang bahagia.

Ketika kami mewawancarai Gretchen tepat sebelum perilisan bukunya Outer Order, Inner Calm—buku pedoman yang membantu pembaca menemukan cara untuk memberikan lebih banyak ruang bagi kebahagiaan dalam hidup mereka—kami bertanya bagaimana dia mempertahankan ketenangan batin di tengah kesibukannya dan tidak pasti seperti peluncuran buku.

“Saya berpikir mengenai tindakan, bukan hasil. Oleh karenanya, saya tetap fokus pada hal yang (sedikit banyak) bisa saya kendalikan. Jadi, saya tidak berpikir mengenai “membuat buku saya sukses” tetapi, “menulis buku terbaik semampu saya.”

Gretchen menggambarkan salah satu prinsip utama Stoicism. Epictetus terkenal dengan apa yang disebutnya dikotomi kontrol. Pada dasarnya, kita bisa mengendalikan beberapa hal dan tidak bisa mengendalikan yang lain—dan kita harus fokus pada apa yang bisa kita kendalikan. Para Stoics tahu bahwa dalam kesibukan hidup, seperti dalam peluncuran buku, memusatkan perhatian pada hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan bukanlah resep untuk kebahagiaan atau kesuksesan, tetapi itu adalah resep penderitaan dan keputusasaan yang hebat.

Ini adalah aturan yang baik untuk kita semua—fokuslah pada hal-hal yang dapat Anda kendalikan. Berikan upaya terbaik Anda pada tugas-tugas yang ada di depan Anda hari ini. Fokus pada diri dan tidak terpengaruh pada hasil. Jangan khawatir tentang apa yang mungkin terjadi nanti. Fokus pada apa pengaruhnya terhadap kebahagiaan Anda.

Berbuat Baik, Memberikan Kesenangan

“Karakter yang baik adalah satu-satunya jaminan kebahagiaan abadi dan tanpa beban.” — Seneca

Eleanor Roosevelt mengatakan bahwa cara paling pasti menuju kebahagiaan adalah dengan mencarinya untuk orang lain. Yang dia maksud adalah berbuat baik, memberikan pelayanan. Begitulah cara dia menemukan kebahagiaan meskipun kehilangan ayahnya secara tragis, masa kecil yang menyakitkan. Begitulah cara dia melewati pernikahannya yang bermasalah dan perselingkuhan suaminya. Begitulah cara dia bertahan dalam depresi dan perang dan banyak lagi. Dia melakukannya dengan baik. Dia membuat dirinya berguna. Dia mencari kebahagiaan untuk orang lain.

Seneca mengatakan bahwa setiap orang yang kita temui memberi kita kesempatan untuk kebaikan. Karena itu, mereka juga memberi kita kesempatan untuk menemukan kebahagiaan. Marcus Aurelius berkata, buah dari kehidupan ini adalah bekerja untuk kebaikan bersama. 

Jadi, jika Anda ingin merasa lebih baik hari ini, jika Anda ingin menemukan titik terang di tempat gelap dalam ketidakpastian dan ketakutan ini, solusinya sederhana: Berbuat baik. Bantu orang lain. Melayani. Pikirkan lebih sedikit tentang masalah Anda dan cobalah untuk membantu orang lain dengan masalah mereka. Anda akan terkejut dengan kebahagiaan yang diberikan oleh hal tersebut … kepada Anda dan mereka.

Jurnal

Menurut filsuf Blaise Pascal, akar dari sebagian besar aktivitas manusia adalah keinginan untuk melepaskan diri dari kebosanan dan kesadaran diri. Kita membuat rencana dengan detail, katanya, untuk menghindari waktu yang kosong. Ini memang benar, bahkan bagi orang-orang yang Anda pikir memiliki semua alasan untuk bahagia dan puas.

“Seorang raja dikelilingi oleh banyak orang,” tulis Pascal, “supaya bisa mengalihkan dan menghentikan raja memikirkan dirinya sendiri, karena, meskipun dia adalah seorang raja, dia menjadi tidak bahagia ketika dia memikirkan dirinya sendiri.”

Ini adalah bentuk observasi yang dilakukan Marcus Aurelius dan membuatnya tercerahkan. Pikirkanlah: Marcus Aurelius dikelilingi oleh para pelayan dan penjilat, orang-orang yang menginginkan bantuan dan orang-orang yang takut padanya. Dia memiliki kekayaan yang tidak terbatas tetapi tanggung jawab yang tidak ada habisnya. Dan apa yang dia lakukan dengan hal ini? Apakah dia mengalihkan dirinya secara terus menerus dari semua berkat sekaligus kutukan itu?

Tidak. Sebaliknya, dia memastikan meluangkan waktunya untuk duduk diam sendirian dengan jurnalnya. Dia menganalisa pikirannya sendiri secara rutin. Dia memikirkan mengenai dirinya sendiri–tidak secara egois, tetapi dengan maksud mengenali kegagalannya sendiri. Dia mempertanyakan dirinya sendiri. Dia mempertanyakan dunia di sekitarnya. Dia menolak terdistraksi. Dia menolak untuk menyerah pada gangguan.

Orang-orang mungkin mengira dia agak muram. Mereka bertanya-tanya mengapa dia tidak menikmati semua kekayaan dan kekuasaan seperti para pendahulunya. Apa yang mereka lewatkan, apa yang begitu mudah untuk dilewatkan di masa ini dalam kehidupan kita yang diberkati adalah bahwa jalan sejati menuju kebahagiaan bukanlah karena faktor eksternal. Tetapi, kebahagiaan ditemukan dari dalam. Kebahagiaan ditemukan dalam keheningan. Dalam ketenangan. Dengan diri sendiri dan jurnal.

Jalan-jalan

“Kita harus berjalan-jalan di luar ruangan, sehingga pikiran dapat terjaga dan disegarkan oleh udara terbuka dan pernapasan dalam.” — Seneca

Seneca bukan satu-satunya yang berbicara mengenai pentingnya berjalan kaki sebagai cara untuk melegakan pikiran dan tubuh. Memang, para filsuf telah menggunakan ‘jalan-jalan’ untuk berpikir dan memperoleh perspektif—di pagi hari, di sore hari, saat matahari terbenam—selama berabad-abad. Filsuf Yunani terkenal, Aristoteles, misalnya, memberikan ceramah sambil berjalan di sekitar sekolahnya di Athena dan murid-muridnya mengikutinya. Nietzsche juga diketahui berjalan hingga delapan jam sehari dengan buku catatan dan pensil di tangan.

Berjalan tidak hanya memberi Anda kesempatan untuk menyehatkan pikiran dan tubuh Anda. Berjalan juga mampu:

Mengurangi stres dan kecemasan. Seperti aktivitas fisik lainnya, berjalan membantu melepaskan endorfin yang dapat meminimalkan hormon stres dan memerangi depresi ringan. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan dalam Journal of Neuroscience, para peneliti menemukan bahwa aktivitas fisik seperti berjalan mampu mereorganisasi otak sehingga dapat mengatasi stres dan kecemasan dengan lebih baik.

Sebuah penelitian di New Mexico Highlands University telah menemukan bahwa dorongan dari langkah kaki kita dapat meningkatkan suplai darah ke otak.

Para peneliti di Stanford telah menemukan bahwa pejalan kaki berkinerja lebih baik pada tes yang mengukur “pemikiran divergen kreatif” saat dan setelah mereka berjalan.

Dan sebuah studi selama 20 tahun menemukan bahwa berjalan lima mil seminggu melindungi otak pasien yang menderita Alzheimer.

Saat Anda stres atau merasa kelelahan di kantor, berjalan-jalanlah di tempat parkir. Ketika Anda merasa sesak di rumah, berjalan-jalanlah di sekeliling lingkungan Anda. Jadikan jalan-jalan sebagai hal pertama yang dilakukan di pagi hari. Berjalan-jalan saat istirahat makan siang. Berjalan-jalan setelah makan malam. Lihat apa dampaknya untuk kebahagiaan Anda.

Lakukan Lebih Sedikit

Inilah resep sederhana untuk kebahagiaan. Resep ini berasal dari Marcus Aurelius yang diketahui adalah orang yang sibuk dengan begitu banyak kewajiban dan tanggung jawab yang tidak boleh dilupakan.

“Jika Anda mencari ketenangan,” katanya, “berbuatlah lebih sedikit.”

Dan kemudian dia mengikuti catatan itu untuk dirinya sendiri dengan beberapa klarifikasi. Bukan berarti tidak melakukan apa pun, tetapi lebih sedikit. Lakukan hanya hal yang penting. “Yang memberikan kepuasan ganda,” tulisnya “lebih baik melakukan lebih sedikit.”

Ikuti saran ini sekarang dan setiap hari. Begitu banyak dari apa yang kita pikir harus kita lakukan, begitu banyak dari apa yang akhirnya kita lakukan, ternyata justru tidak penting. Kita melakukannya karena kebiasaan. Kita melakukannya karena rasa bersalah. Kita melakukannya karena kemalasan atau kita melakukannya karena ambisi serakah. Dan kemudian kita bertanya-tanya mengapa kinerja kita menurun. Kita bertanya-tanya mengapa hati kita tidak benar-benar ada kita letakkan di dalam sana. 

Tentu saja tidak. Kita tahu jauh di lubuk hati tidak ada gunanya.

Tetapi, jika kita dapat melakukan lebih sedikit hal yang tidak terlalu penting, kita akan mampu melakukan hal-hal penting dengan lebih baik. Kita juga merasakan ketenangan yang dimaksud Marcus. Sebuah kepuasan ganda.

Luangkan Waktu Untuk Bersyukur

AJ Jacobs dikenal dengan gaya jurnalisme imersinya yang unik. Dia hidup benar-benar berdasarkan Alkitab. Dia pergi keluar dan bertemu dengan setiap kerabat yang belum dia kenal yang ada di silsilah keluarganya. Dalam bukunya, Thanks A Thousand, ia pergi melakukan pencarian untuk berterima kasih secara pribadi kepada setiap orang yang telah membantu membuat secangkir kopi paginya—petani, wanita yang melakukan pengendalian hama untuk gudang tempat kopi disimpan, pria yang mendesain penutup kopi (coffee lid), barista, dan lain-lainnya. 

Perjalanan terakhir ini adalah yang paling sedikit membutuhkan upaya fisik tetapi paling transformatif. Dalam wawancara kami dengan AJ untuk DailyStoic.com, dia menjelaskan betapa indahnya melakukan latihan secara paksa dalam rasa syukur ini:

Salah satu perubahan besar yang dirasakan berkaitan dengan pemikiran Stoic mengenai mementingkan diri sendiri untuk kebajikan. Pemikiran mengenai jika bertindak buruk,  maka ini akan membuat Anda merasa buruk. Bahwa siapa yang berbuat buruk, dia menganiaya dirinya sendiri. Tetapi ketika Anda bertindak dengan bajik, Anda mendapatkan sedikit kebahagiaan.

…Saya ingat saya menelepon wanita yang melakukan pengendalian hama untuk gudang tempat kopi saya disimpan. Dan saya berkata, “Saya tahu ini kedengarannya aneh, tetapi saya ingin berterima kasih kepada Anda karena telah menjauhkan serangga dari kopi saya.” Dan dia berkata, “Kedengarannya aneh, tapi terima kasih. Anda membuat saya senang.”

Dan sebaliknya, hal ini juga membuat saya senang. Dengan memaksa diri saya untuk bersikap dengan rasa syukur, saya menjadi tidak terlalu kesal. Idealnya, rasa syukur harus menjadi jalan dua arah. Rasa syukur harus memberi kedua belah pihak sedikit dopamin.

Epictetus menggunakan kata eucharistos untuk menjelaskan rasa syukur yang berarti “melihat” apa yang sebenarnya terjadi setiap waktu. Dia berkata, “Sangat mudah untuk memuji takdir atas apa pun yang mungkin terjadi jika Anda memiliki dua hal: sudut pandang utuh mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam setiap kejadian, dan rasa syukur.” Bagian dari apa yang membuat perjalanan AJ begitu berarti baginya dan semua orang yang terlibat adalah mereka benar-benar bertemu untuk pertama kalinya. Dia benar-benar ‘melihat’—dan ketika dia ‘melihat,’ dia mengucapkan terima kasih.

Ini adalah cara yang baik untuk kita coba dalam hidup kita. Luangkan waktu hari ini untuk berhenti, mengambil jeda, dan melihat dengan sudut pandang utuh—seperti ada lebih dari seribu orang yang terlibat dalam menghasilkan secangkir kopi pagi Anda. Ada banyak hal yang kita anggap remeh. Di setiap momen, ada kesempatan tak terbatas untuk mengucapkan terima kasih. Lakukanlah itu semua!

Terhubung dengan Orang Lain

“Sama seperti tidak memiliki kaki, tidakkah Anda menyadari bahwa dalam keterasingan, Anda tidak akan menjadi manusia? Karena apa sebenarnya manusia itu? Mereka adalah bagian dari komunitas.” — Epictetus

“Alam semesta menciptakan makhluk yang rasional untuk satu sama lain,” tulis Marcus Aurelius, “dengan tujuan saling menguntungkan untuk manfaat yang sebenarnya dan bukan untuk merugikan.”

Di lain sisi ia menulis, “Manusia diciptakan untuk satu sama lain. Ajari mereka atau bersabarlah terhadap mereka.”

Kemudian, “Sering-seringlah merenungkan keterkaitan dan ketergantungan timbal balik dari semua hal di alam semesta. Karena dalam arti tertentu, semua hal saling terjalin bersama dan karena itu memiliki kedekatan satu sama lain—karena satu hal mengikuti yang lain sesuai dengan dorongan pergerakannya, dorongan simpatinya, dan kesatuan semua substansi.

Meskipun Stoicism adalah filosofi yang menekankan kemandirian dan kekuatan, kejujuran moral dan hal yang berkaitan dengan batin, penting bagi kita untuk tidak salah memahaminya sebagai pembenaran untuk isolasi atau kesepian. Kita bukan pulau, kita adalah hewan sosial. Kita membutuhkan komunitas, kita membutuhkan teman, kita membutuhkan koneksi, baik Anda introvert atau ekstrovert:

Dalam lima penelitian yang berbeda, para peneliti mempunyai partisipan introvert yang “berlaku secara ekstrovert.” Mereka menemukan adanya estimasi yang terlalu tinggi dari efek negatif dan kesadaran diri yang terkait dengan perilaku ekstravert, serta terlalu meremehkan dorongan mood dan kebahagiaan setelah interaksi ekstravert.

Sebuah studi menarik yang diterbitkan dalam Journal of Experimental Psychology oleh tim psikolog perilaku mengonfirmasi hipotesis mereka bahwa memulai percakapan dengan orang asing memiliki efek positif pada suasana hati dan kesejahteraan si inisiator. Apa yang tidak mereka duga adalah orang yang memulai percakapan itu sama-sama terpengaruh secara positif. “Preferensi yang keliru untuk menyendiri ini sebagian berasal dari meremehkan minat orang lain dalam berhubungan, yang pada gilirannya membuat orang tidak mempelajari konsekuensi aktual dari interaksi sosial. Kesenangan akan koneksi tampaknya menular,” para peneliti menyimpulkan.

Tentu saja, kita adalah makhluk sosial. Naluri kita mendambakan koneksi. Kurangnya koneksi adalah racun bagi kebahagiaan dan kesejahteraan kita seperti halnya rokok atau alkohol. Hal itu meracuni pikiran kita, meracuni hubungan kita, meracuni masyarakat kita. Keluarlah dari gelembung Anda dan terlibatlah, jalin, dan terhubung dengan orang lain. Pasti, suasana hati yang baik akan muncul dalam diri Anda.

Latihan Berat

Ya, selain jalan-jalan, sebaiknya luangkan waktu untuk olahraga berat.

Dua dekade sebelum kebangkitan Stoicism saat ini, penulis filosofis dan musisi, Sharon Lebell, menerjemahkan Epictetus dalam The Art of Living: The Classical Manual on Virtue, Happiness, and Effectiveness. Lebell menyajikan hampir seratus pelajaran berdasarkan buku pegangan Epictetus. Seperti yang kita bicarakan di atas, Epictetus mengatakan tugas utama kita dalam hidup adalah membedakan apa yang ada di dalam kendali kita dan apa yang tidak, kemudian memfokuskan energi kita untuk membuat pilihan yang tepat terkait dengan apa yang harus kita putuskan.

Proses itu bisa tampak sangat sulit—sesuatu yang mengharuskan kita duduk, menggunakan pemikiran kita, mencermati, dan mengarahkan perhatian mata dan pikiran kita secara penuh. Ketika kami memiliki kesempatan berbicara dengan Sharon beberapa waktu lalu, salah satu hal yang kami tanyakan padanya adalah apakah dia memiliki latihan atau strategi hebat untuk membantu tugas utama yang sering dibicarakan Epictetus. Menariknya, sarannya sebenarnya adalah melakukan sesuatu yang bersifat fisik.

“Saya keluar dari pikiran dan masuk ke tubuh saya. Saya suka Stoicism karena menghargai ilmu, akal, dan pikiran yang cerdas. Tapi saya pikir pikiran kita sering kali jadi bijaksana ketika kita bisa menenangkannya untuk memungkinkan jawaban baru yang tidak dicari. Saya percaya jawaban yang muncul selama atau hasil dari latihan yoga harian saya. Yoga membantu saya melepaskan semua hal yang saya pikir sudah saya ketahui dan dengan mudah mengakses imajinasi dan intuisi. Yoga membantu saya untuk mendengarkan, menerima, dan memungkinkan wawasan tingkat tinggi masuk dalam pikiran. Bukan berarti saya mengagung-agungkan yoga semata. Menurut saya, semua olahraga sehari-hari yang bisa membantu seseorang menarik diri dari kebisingan kehidupan sehari-hari sehingga suara kebijaksanaan dapat didengar adalah hal yang berharga. Hal ini akan berlaku secara berbeda bagi tiap orang.”

Dari Historia Augusta, kita tahu jika Marcus “menyukai tinju, gulat, lari, berburu burung, bermain bola dengan sangat terampil, dan berburu dengan pandai.” Epictetus juga sering berbicara mengenai tinju dan gulat, dan pentingnya membangun tubuh yang kuat. Filsuf zaman dulu dikenal karena senang berjalan seperti halnya membaca, menulis, atau bahkan berbicara. Aristoteles, misalnya, melakukan kuliahnya sambil berjalan di sekitar sekolahnya di Athena sembari murid-muridnya mengikutinya. Nietzsche diketahui berjalan hingga delapan jam sehari. Charles Darwin berjalan tiga kali 45 menit per hari.

Mereka semua tahu manfaat keluar dari kepala mereka dan masuk ke tubuh mereka. Berjalan, gulat, tinju, berenang, berlari, yoga—semua ini adalah cara untuk beralih ke isi kepala yang lebih bahagia. Jadi hari ini dan setiap hari, Anda harus memastikan Anda juga melakukannya.

Tertawa

“Orang yang tertawa memiliki sukacita. Jiwa itu sendiri harus bahagia dan percaya diri, bahagia di setiap keadaan.” — Seneca

Apakah Anda tahu ungkapan ini, “sekarat karena tertawa?” Seperti halnya, “Aku tertawa terbahak-bahak sampai hampir mati” dan “Ya ampun, rasanya mau mati. Ini terlalu lucu!”

Tahukah Anda bahwa hal itu benar-benar terjadi pada salah satu Stoic?? Diogenes Laertius mencatat cerita bahwa Chrysippus—salah satu pemikir Stoic terpenting dalam sejarah, yang menggantikan gurunya Cleanthes (yang menggantikan Zeno) sebagai kepala sekolah Stoic di Athena sekitar 230 SM—meninggal pada usia 73 selama Olimpiade ke-143 ketika dia melihat seekor keledai memakan buah ara dan berteriak: “Sekarang berikan keledai itu minuman anggur murni untuk membasuh buah ara!” Diogenes melanjutkan, “Dan kemudian dia tertawa terbahak-bahak sampai dia mati.”

Malang sekali! Terlepas dari reputasi mereka sebagai orang yang serius dan tanpa emosi, orang Stoic memiliki selera humor yang baik. “Setiap kali saya ingin menikmati lelucon badut,” tulis Seneca. “Tidak perlu bersusah payah, saya bisa tertawa dengan mudah.”

Orang Stoic tidak tahu ilmunya tetapi mereka memiliki intuisi bahwa apa yang mereka katakan tentang tawa itu benar: itu memang obat terbaik (dan termurah):

Nampak jelas jika tertawa mengurangi stres, tetapi apa alasannya? Tertawa dan humor memicu pusat emosi dan menyenangkan otak melalui pelepasan endorfin. Perasaan euforia yang Anda dapatkan setelah jangka panjang yang hebat—itu dari pelepasan endorfin. Respon kimia otak sama persis saat Anda tertawa.

Pengalaman yang membuat stres dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dari situasi paling sederhana seperti masalah mobil, menurunnya sistem kekebalan tubuh yang meningkatkan risiko penyakit menular dan penyakit jantung. Tertawa yang baik dapat membantu mencegah stres menumpuk dan dengan demikian mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, melindungi Anda dari penyakit.

Putar salah satu film lucu favorit Anda yang sudah lama tidak Anda tonton. Atau tonton serial yang telah diceritakan orang-orang kepada Anda. Atau tonton komedi spesial itu di Netflix. Atau cari  di YouTube cuplikan dari beberapa stand up komedian hebat seperti Jerry Seinfeld, Steve Martin, Sarah Silverman, Dave Chappelle, atau Robin Williams.

Luangkan waktu untuk tertawa—hari ini dan setiap hari.

Lepaskan kekhawatiran, kecemasan, dan penyesalan

Epictetus menceritakan kisah seorang filsuf Stoic bernama Agripinus, yang, pada masa pemerintahan Nero, dikirimkan kabar buruk pada suatu pagi jika dia harus diasingkan. Segera. Apa tanggapan Agrippinus? “Baiklah, kita akan makan siang di Ariccia.”

Artinya: Kita mungkin juga harus melakukannya. Tidak ada gunanya meratapi atau menangisi hal itu. “Hei, apakah ada orang lain yang lapar?”

Begitulah cara seorang Stoic merespons—mereka mengabaikan beban emosional bahkan dari berita terburuk. Seperti yang baru saja kita bicarakan di atas, mereka mampu menemukan humor di setiap situasi (“Semua hal menyebabkan tawa atau tangis,” kata Seneca). Mereka fokus pada apa yang dapat mereka kendalikan dan mereka melepaskan segala sesuatu di luar kendalinya.

Ketika kami mewawancarai Neil Pasricha—penulis buku terlaris seperti The Book of Awesome dan The Happiness Equation, dia berbicara tentang bagaimana dia memulai setiap hari dengan menuliskan satu hal yang akan dia lepaskan. Misalnya, kami mewawancarainya pada hari saat bukunya You Are Awesome dirilis, jadi pagi itu dia menulis, “Saya akan melepaskan … rasa khawatir jika buku saya akan masuk daftar buku terlaris.” Dia menjelaskan mengapa dia melakukan ini,

Penelitian yang diterbitkan di majalah Science oleh ahli saraf Stefanie Brassen dan rekan-rekannya mendukung bagaimana penyembuhan dapat menyibak kekhawatiran atau kecemasan kecil. Studi mereka, berjudul “Don’t Look Back in Anger!: Responsiveness to Missed Chances in Successful and Nonsuccessful Aging,” menunjukkan bahwa meminimalkan penyesalan seiring bertambahnya usia menciptakan kepuasan dan kebahagiaan yang lebih besar. Penelitian juga menunjukkan bahwa menyimpan penyesalan menyebabkan kita mengambil tindakan yang lebih agresif dan berisiko di masa depan. Jadi orang yang paling sehat dan paling bahagia menyadari penyesalan yang mereka simpan dan kemudian memilih untuk melepaskannya.

Sadarilah: Anda Memiliki Semua yang Anda Butuhkan

Anda akan melihat bahwa semua strategi di atas tidak memerlukan banyak usaha.

Kita berpikir jika kita membutuhkan banyak hal untuk menjadi bahagia. Kita membutuhkan tumpukan uang. Kita membutuhkan kuasa. Kita membutuhkan ketenaran. Kita harus membuat seseorang menikah dengan kita. Kita harus, kita harus, kita harus—ada begitu banyak hal yang kita butuhkan. Atau begitulah menurut kita.

Tentu saja, jauh di lubuk hati kita tahu itu tidak benar. Kita telah melihat orang lain mendapatkan hal-hal ini dan dapat mengatakan itu bukanlah obat mujarab. Kita telah merasakan hal-hal ini sendiri. Dan apa yang kita temukan? Ups, ternyata tidak sebaik yang dikatakan orang-orang. “Kita membutuhkan hal yang sedikit untuk membuat hidup bahagia,” tulis Marcus Aurelius, “semuanya ada dalam diri Anda dalam cara berpikir Anda.” Seneca juga menyarankan bahwa masalahnya bukanlah seberapa sedikit yang kita miliki, tetapi bahwa kita terus-menerus menginginkan lebih.

Yang harus Anda sadari hari ini adalah Anda sudah memiliki semua yang Anda butuhkan untuk bahagia. Anda sudah kaya. Anda sudah memiliki kuasa yang luar biasa—kekuatan untuk menentukan kebutuhan dan keinginan Anda sendiri, kemampuan untuk mengatakan cukup. Kata ajaib itu: cukup. Hidup bahagia tidak akan pernah ditentukan oleh hal-hal eksternal. Tidak ada jumlah yang cukup untuk orang yang memiliki terlalu sedikit, kata Stoic. Sedangkan orang yang bisa bersyukur, yang bisa mengarahkan pikirannya dengan baik—ke arah kebaikan dalam hidup ini—akan bahagia dalam situasi apapun.

Hanya itu yang Anda butuhkan untuk hidup bahagia. Rebutlah… jika itu yang Anda inginkan.

Apa Kutipan Terbaik dari Para Stoic Tentang Kebahagiaan?

“Setiap orang mendapat satu kehidupan. Kehidupan Anda hampir selesai, dan alih-alih memperlakukan diri Anda sendiri dengan respek, Anda justru telah mempercayakan kebahagiaan Anda sendiri kepada jiwa orang lain.” —Marcus Aurelius

“Kehendak orang lain seperti halnya napas dan tubuh mereka memiliki kebebasan yang sama seperti halnya kehendak yang saya miliki. Kita mungkin hidup demi satu sama lain, tetapi kehendak kita mengatur diri kita sendiri. Kalau tidak, kerusakan yang mereka lakukan akan membahayakan saya. Dan itu bukanlah yang diinginkan Tuhan—agar kebahagiaan saya digantungkan pada kebahagiaan orang lain.” —Marcus Aurelius

“Orang Stoic juga dapat membawa barang-barangnya tanpa gangguan melalui kota-kota yang telah dibakar menjadi abu; karena ia mandiri. Itulah batas-batas yang dia tetapkan untuk kebahagiaannya sendiri.” — Seneca

“Saya yakin jelas bagi Anda, Lucilius, bahwa tidak ada orang yang dapat menjalani kehidupan yang bahagia, atau bahkan kehidupan yang mudah, tanpa mempelajari kebijaksanaan.” — Seneca

“Kita telah mencapai suatu titik jika kita tahu apa yang membuat kita bahagia dan saat kita tidak menempatkan kebahagiaan kita dalam kendali eksternal.” — Seneca

“Lakukan satu hal yang dapat membuat Anda benar-benar bahagia: singkirkan dan injak-injak semua hal yang berkilau di luar dan yang disodorkan kepada Anda [oleh berbagai kelompok yang mengaku mengajarkan bagaimana kebahagiaan harus diperoleh] oleh orang lain atau yang bisa Anda peroleh dari orang lain; lihatlah kebaikan yang sebenarnya, dan bergembiralah hanya karena apa yang berasal dari diri Anda sendiri.”

“Hal-hal yang sebenarnya kita butuhkan itu gratis, atau murah; secara alamiah kita hanya membutuhkan roti dan air. Tidak ada yang miskin menurut standar ini; ketika seorang manusia telah membatasi hasratnya dalam batas-batas ini, dia bahkan bisa menantang kebahagiaan dari Jupiter.”

“Buatlah diri Anda bahagia melalui usaha Anda sendiri; Anda dapat melakukan ini, jika suatu saat Anda bisa memahami bahwa apa pun yang bercampur dengan kebajikan adalah baik, dan bahwa apa pun yang bergabung dengan keburukan adalah buruk.” — Seneca

“Jika ada sesuatu yang dapat membuat hidup bahagia, maka itu adalah kehendak manusia itu sendiri; karena itu tidak bisa dibelokkan menjadi suatu bentuk kejahatan. Kalau begitu, di mana letak kesalahannya dalam hal itu, sementara semua orang mendambakan kehidupan yang bahagia? Yaitu mereka salah dalam menganggap sarana untuk menghasilkan kebahagiaan, dan ketika mencari kebahagiaan, mereka justru benar-benar melarikan diri dari kebahagiaan itu.” — Seneca

Sumber: dailystoic

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *