“Kita lebih banyak menderita karena imajinasi daripada karena realitas.” — Seneca
Abad ke 21 telah disebut-sebut sebagai “Masa Kecemasan,” “Stres Amerika Serikat,” “Dunia Kecemasan.” Penyebabnya adalah apa yang kita alami—pandemi, terorisme, gejolak politik dan ekonomi, dan kecemasan eksistensial—adalah hal yang unik, belum pernah terjadi sebelumnya, dan belum dipetakan. Anda mendengar dan melihat semua kalimat ini di mana pun (tajuk utama berita, tweets, email, dan pesan teks): “dunia belum pernah melihat hal seperti ini…” “semoga Anda baik-baik saja selama masa yang belum pernah terjadi sebelumnya ini…” “para leaders menghadapi tantangan yang tak terelakkan… dan tidak ada pedoman untuk ini.”
Namun, kami punya kabar gembira. Tak ada satu pun dari masalah tersebut tergolong baru. Dan ada satu pedoman—satu pedoman yang telah dicoba dan diuji sejak abad 3 SM: Stoicism.
Zeno menggunakan pedoman itu setelah kapalnya karam dan kehilangan segalanya. Marcus Aurelius menggunakan pedoman itu selama memimpin kekaisaran yang dirusak oleh perang, kelaparan, dan penularan penyakit mematikan, yang dikenal dengan Wabah Antonine. Seneca menggunakan pedoman itu untuk melawan dua orang buangan dan dua bencana alam. Epictetus menggunakan pedoman itu untuk bertahan selama 30 tahun sebagai budak. George Washington menggunakan pedoman itu selama hari-hari tersuramnya saat Revolusi Amerika. Jame Stockdale menggunakannya untuk bertahan hidup selama 7 tahun penyiksaan dan kesepian yang tak terbayangkan saat menjadi tahanan akibat perang. Toussaint Louverture menggunakan pedoman itu dan bangkit melawan tentara Napoleon untuk memimpin Revolusi Haiti.
Apa itu Kecemasan (Anxiety)?
“Apa yang saya sarankan untuk Anda lakukan adalah, jangan merasa sedih sebelum masalah datang… beberapa hal menyiksa kita lebih dari seharusnya; beberapa hal menyiksa kita sebelum seharusnya; dan beberapa hal menyiksa kita ketika hal itu tidak seharusnya melakukannya. Kita punya kebiasaan melebih-lebihkan, berimajinasi, atau mengantisipasi kesedihan.”
— Seneca
Kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai sebuah perasaan, pengalaman, atau kondisi khawatir, tegang, dan gelisah.
65 juta orang di AS mengalami beberapa tipe stres atau kecemasan. Generalized Anxiety Disorder (GAD) atau Gangguan Kecemasan Umum adalah salah satu jenis yang paling sering dilaporkan. Kita sadar jika kita merasa cemas, tetapi kita tidak bisa memahami alasannya secara tepat .
Salah satu efek dari pandemi adalah, tiba-tiba, kita tidak melakukan hal yang di masa lalu kita katakan pada diri sendiri sebagai penyebab dari kecemasan. Kita tidak panik melewati bagian keamanan untuk mengejar penerbangan. Kita tidak kesulitan melewati lalu lintas untuk sampai ke suatu tempat tepat waktu. Kita tidak berurusan dengan orang-orang di toko kelontong atau kedai kopi atau kereta bawah tanah. Sebelum pandemi, jika ada seseorang mengatakan jika Anda tak akan lagi merasakan semua hal itu, Anda yakin jika kecemasan Anda akan mereda. Namun, kebanyakannya justru tidak.
Karena kecemasan tidak ada hubungannya sama sekali dengan semua itu…
Apa Penyebab Kecemasan (Anxiety)?
“Yang membuat orang kesal bukanlah hal-hal itu sendiri, tetapi penilaian mereka tentang hal-hal tersebut..” — Epictetus
Tak ada yang lebih buruk dari perasaan yang terpendam dalam hati Anda. Itu bukan sakit fisik; tetapi juga bukan sakit mental. Anda sebenarnya bisa merasakan apa pun yang bersemayam di sana, di hati Anda, mengikat diri Anda.
Hentikan. Ambil napas. Apa sumber dari hal ini sebenarnya? Tak ada satu orang atau satu hal pun yang secara fisik mengikat hati Anda. Itu hanyalah diri Anda. Anda yang melakukannya.
Para Stoic juga membahas mengenai hal ini. “Hari ini saya melarikan diri dari kecemasan,” Marcus Aurelius menulis ini dalam buku Meditations. “Atau tidak, saya membuangnya, karena itu ada dalam diri saya, dalam persepsi saya sendiri, bukan dari luar.” Dia menulis ini persis saat terjadi sebuah wabah.
Kita mengatakan pada diri sendiri jika kita tertekan, cemas, dan khawatir karena tekanan dari atasan kita atau karena deadline yang membayangi kita atau karena semua tempat yang harus kita datangi atau orang yang harus kita temui. Dan saat semua hal mulai mereda, Anda menyadari, “Oh tidak, itu semua karena diriku sendiri. Akulah variabel umumnya.”
Kecemasan berasal dari dalam. Kita yang menciptakan kecemasan kita. Artinya, seperti yang Marcus katakan, kita bisa membuangnya. Kita bisa melepaskannya. Kita bisa menyembuhkan diri dari kecemasan kita…
9 Ramuan Stoic untuk Kecemasan
Tidak diragukan lagi bahwa kehidupan Marcus Aurelius dipenuhi dengan hal-hal yang perlu dicemaskan.
Wabah. Perang. Bencana Alam. Krisis keuangan. Rekan-rekan yang frustasi. Rasa ketidakamanan dalam diri sendiri. Kecemasan eksistensial. Masalah kesehatan. Kemudian, kehilangan lima anak, hidup Marcus dipenuhi dengan tekanan dan kecemasan.
Dan jika tidak—jika semuanya berjalan dengan mudah—kita mungkin tidak akan membicarakan Marcus di sini dua ribu tahun kemudian. Sejarawan Cassius Dio memuji Marcus karena dia dengan tenang mampu bertahan:
“[Marcus Aurelius] tidak mendapatkan keberuntungan yang layak dia dapatkan, karena dia tidak kuat secara fisik dan terlibat dalam banyak masalah di hampir seluruh pemerintahannya. Tetapi bagi saya, saya lebih mengaguminya karena alasan bahwa di tengah kesulitan yang tidak biasa dan luar biasa itu, dia mampu menyelamatkan dirinya dan mempertahankan kekaisaran. ”
Jadi bagaimana dia mengatasinya? Bagaimana dia menghadapi semua tekanan dan kecemasan ini?
Dia mengandalkan pelatihan Stoic-nya. Dia menggunakan apa yang dia pelajari dari kehidupan dan karya-karya para Stoics yang hidup sebelum dirinya: Zeno, Epictetus, Musonius Rufus, dan Seneca. Dia menggunakan ramuan-ramuan Stoic ini untuk kecemasan …
Beri Nama Monster Anda
“Selalu definisikan apa pun yang kita rasakan untuk menelusuri garis besarnya—agar kita bisa melihat apa itu: substansinya. Lepaskan tabir. Secara keseluruhan. Tidak dibuat-buat. Dan sebutlah perasaan itu dengan namanya—perasaan itu serta komponennya, yang menunjukkan asal mulanya.” —Marcus Aurelius
Marcus berbicara tentang bagaimana tekanan dan kecemasannya adalah persepsi yang dia miliki. Mereka adalah monster ciptaannya sendiri. Dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk menembus persepsi itu dan “melihat apa adanya.” Ketika dia kewalahan karena dia merasa “sibuk dengan urusan yang paling berat”, Marcus akan melihat jubah ungu kerajaannya dan mengatakan ini hanyalah wol domba yang diwarnai dengan darah kerang. Ketika dia stres tentang uang, dia akan berpikir tentang apa yang sebenarnya mampu diberikan oleh uang. Makan malam seafood yang enak? Itu hanyalah ikan mati. Minuman anggur antik kelas atas yang mewah? Itu hanyalah jus anggur. Dia menyebutnya membuka tabir si legenda, merobek topeng monster itu.
Kecemasan memang sangat kuat dan ambigu. Kecemasan bisa sangat mendalam sehingga membuat kita tidak bisa bergerak. Keraguan, ketidakpastian, ketakutan, kekhawatiran, tekanan, kegugupan—mereka berputar-putar di dalam diri kita dan kita tidak tahu harus berbuat apa, kita tidak tahu persis dari mana asalnya, kita tidak tahu kapan atau apakah itu akan pergi.
Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menamainya.
Matthew D. Lieberman, profesor psikologi UCLA dan pendiri ilmu saraf kognitif sosial, menggunakan studi fMRI untuk menunjukkan bahwa tindakan sederhana seperti menamai emosi mampu menenangkan pusat emosional otak. Ketika subjek penelitian diperlihatkan gambar dan diminta untuk memberi label pada emosi yang kuat, mereka menunjukkan penurunan aktivitas di wilayah otak yang memicu respons emosional, dan aktivitas yang lebih besar di wilayah otak yang terkait dengan kewaspadaan dan kontrol kognitif. Seperti yang dijelaskan Lieberman:
Dengan cara yang sama, Anda menginjak rem saat mengemudi ketika Anda melihat lampu kuning, ketika Anda menguraikan perasaan dengan kata-kata, Anda tampaknya mengerem respons emosional Anda. Ini adalah kebijaksanaan kuno. Menempatkan perasaan kita ke dalam kata-kata membantu kita sembuh lebih baik. Jika seorang teman sedih dan kita bisa membuat mereka membicarakan kesedihannya, itu mungkin akan membuat mereka merasa lebih baik.
Memang benar itu adalah kebijaksanaan kuno. Kalimat Seneca berbunyi, “kita lebih banyak menderita karena imajinasi daripada karena realitas.” Marcus berkata untuk membuka semua tabir dan “menyingkirkan si legenda yang melingkupinya.” Jika diberi kebebasan memerintah, pikiran dan emosi negatif akan berperilaku seperti binatang buas yang tidak terkurung yang siap menyerang Anda. Mereka akan membangkitkan ketakutan Anda, menggetarkan emosi Anda, dan merusak hari-hari Anda. Stres, kecemasan, dan kemarahan akan menjadi kronis dan melemahkan ketika bersemayam lama hingga bernanah.
Perasaan itu terasa seperti musuh yang tak terkalahkan. Kecuali jika Anda memanggil kekuatan untuk meletakkannya dengan menuliskannya. Jinakkan mereka dengan menamai mereka. Dan tutup pintu kandang di belakang mereka.
Fokus Pada Saat Ini
“Jangan biarkan refleksi Anda di seluruh sapuan kehidupan menghancurkan Anda. Jangan mengisi pikiran Anda dengan semua hal buruk yang mungkin masih terjadi. Tetap fokus pada situasi saat ini.” —Marcus Aurelius
Kita semua merasa tertantang. Untuk berbuat lebih banyak. Untuk pergi ke lebih banyak tempat. Untuk membuat lebih banyak kemajuan. Kita dirundung oleh kekhawatiran terus-menerus bahwa kita berada di tempat yang salah, melakukan hal yang salah—atau lebih tepatnya, ada tempat lain, tempat yang lebih baik, yang seharusnya kita miliki.
Itu adalah perasaan yang muncul tidak hanya dalam kecemasan, tetapi dalam rasa bersalah, iri hati, ketakutan, rasa tidak aman. Atau pada dasarnya, kesengsaraan. Kebalikan dari merasa puas, bahagia atau bersyukur. Merasa hidup di masa kini.
Marcus Aurelius tahu akan hal ini. Menurut Anda mengapa dia menyebutkan “saat ini” dan “masa kini” lebih dari dua puluh kali dalam Meditations? Berkali-kali dia mengatakan, jangan khawatir tentang masa lalu, jangan khawatir tentang masa depan, rangkul apa yang ada di depan Anda saat ini. Hiduplah di saat ini, katanya. Jangan di tempat lain. Hiduplah di saat ini, dan hidup di saat ini dengan baik.
Ini adalah pengingat yang sepertinya kita butuhkan terus-menerus. Kegelisahan kita, pada tingkat yang hampir bersifat budaya, membuat kita kehilangan nikmat dan keindahan momen yang ada di hadapan kita. Alih-alih melakukan apa yang kita lakukan sekarang dengan perhatian penuh, kita membiarkan sedikit bagian fokus kita dicuri oleh gadget di saku kita. Dan kemudian kita bertanya-tanya mengapa waktu cepat berlalu, mengapa kita harus kembali untuk membersihkan kesalahan, atau mengapa kita tidak pernah merasa cukup baik.
Hentikan.
Lakukan apa yang Anda lakukan—apakah itu mencuci piring, duduk di tengah kemacetan, atau menulis tesis Anda. Hadirlah di mana Anda berada—baik itu bersama anak-anak Anda, atau dalam transisi karier atau di kantor dokter. Di situlah Anda seharusnya berada. Saat ini—tidak ada yang lain. Hanya ini. Di sini, masa ini adalah semua yang ada.
Hiduplah di sana, hiduplah di sana dengan baik.
Uji Impresi atau Kesan Anda
“Pertama, jangan biarkan kekuatan impresi menyingkirkan diri Anda. Katakan pada impresi itu, ‘tunggu sebentar dan biarkan aku melihat siapa kamu dan dari mana kamu berasal—biarkan aku menguji kamu’. . .” — Epictetus
Setiap menit setiap hari, pikiran muncul di kepala Anda. Tentang apa yang terjadi. Tentang orang lain. Tentang diri Anda. Tentang apa yang Anda lihat. Tentang apa yang Anda rasakan.
Apa yang harus Anda lakukan dengan semua pikiran itu? Nah, menurut premis inti Stoicism, satu hal yang tidak boleh Anda lakukan adalah segera menindaklanjutinya. Epictetus menjelaskan untuk berhenti dan menguji setiap impresi yang muncul. Atau, seperti yang dikatakan Dr. Stixraud di podcast Daily Stoic, pada setiap pemikiran, kita harus disiplin untuk bertanya: “Apakah ini benar?”
Epictetus menyebut ini sebagai menguji impresi Anda.
Salah satu keajaiban pikiran Anda adalah kecepatannya dalam memahami dan mengategorikan berbagai hal. Kita terus-menerus membuat keputusan sepersekian detik. Subjektivitas ini bisa sangat menyesatkan, bisa membelokkan realitas itu sendiri. Itulah mengapa kita harus memperlambat, menguji setiap impresi, memastikan bahwa semua yang kita pikirkan dan rasakan adalah benar.
Karena sebagian besar tidak! Kita sebenarnya tidak kesal, kita hanya lapar. Kita tidak dirugikan, kelihatannya saja seolah kita telah dirugikan. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, itu hanya kecemasan kita yang berbicara. Situasi seperti ini tidaklah “buruk”, karena dengan mudah kita dapat melihat apa yang “baik” yang ada di dalamnya. Atau mungkin—seperti yang sering terjadi—kita tidak perlu memikirkan apa pun, kita bisa mematikan pikiran tentang ini dan itu sepenuhnya.
Nilai Keinginan Anda
“Ketika saya melihat orang yang cemas, saya bertanya pada diri sendiri, apa yang mereka inginkan? Karena jika seseorang tidak menginginkan sesuatu di luar kendali mereka sendiri, mengapa mereka dilanda kecemasan?” —Epictetus
Ayah yang cemas, khawatir tentang anak-anaknya. Apa yang dia inginkan? Dunia yang selalu aman.
Seorang pengelana yang penuh semangat—apa yang dia inginkan? Agar cuaca tidak hujan dan lalu lintas tidak macet sehingga dia bisa melakukan penerbangan.
Investor yang gugup? Apa yang dia inginkan? Pasar akan berbalik dan investasi akan terbayar.
Semua skenario ini memiliki kesamaan yang sama. Seperti yang dikatakan Epictetus, itu semua menginginkan sesuatu di luar kendali kita. Marah besar, bersemangat, mondar-mandir dengan gugup—saat-saat yang intens, menyakitkan, dan mencemaskan ini menunjukkan kita waktu di mana kita menjadi sia-sia dan diperbudak. Menatap jam, pada detak jarum jam, pada jalur pembayaran berikutnya, ke langit—seolah-olah kita semua adalah penganut aliran sesat yang percaya bahwa dewa takdir hanya akan memberikan apa yang kita inginkan jika kita mengorbankan ketenangan pikiran kita.
Sekarang, ketika Anda merasa cemas, tanyakan pada diri sendiri: Mengapa bagian dalam dari diri saya diikat menjadi simpul? Apakah di sini saya yang memegang kendali atau kecemasan saya? Dan yang paling penting: Apakah kecemasan saya bermanfaat bagi saya?
Lakukan Lebih Sedikit
“Kita akan mendapat manfaat dari ajaran Democritus yang bermanfaat yang menunjukkan kepada kita bahwa ketenangan terletak pada tidak berjanji untuk melakukan tugas, baik di depan umum atau pribadi, yang jumlahnya banyak atau lebih besar dari sumber daya kita.” —Seneca
Berikut adalah resep sederhana untuk menyembuhkan kecemasan yang berasal dari Marcus Aurelius:
“Jika Anda mencari ketenangan,” katanya, “lakukanlah lebih sedikit.”
Dan kemudian dia mengikuti catatan itu untuk dirinya sendiri dengan beberapa penjelasan. Tidak apa-apa, melakukan sedikit. Lakukan hanya hal yang penting. “Yang membawa kepuasan ganda,” tulisnya “dengan melakukan lebih sedikit, lebih baik.”
Ikuti saran ini hari ini dan setiap hari. Begitu banyak dari apa yang kita pikir harus kita lakukan, begitu banyak dari apa yang akhirnya kita lakukan tidak penting. Kita melakukannya karena kebiasaan. Kita melakukannya karena rasa bersalah. Kita melakukannya karena kemalasan atau kita melakukannya karena ambisi serakah. Dan kemudian kita bertanya-tanya mengapa kita begitu cemas. Atau mengapa kita mengalami kesulitan dalam kinerja kita. Atau mengapa hati kita tidak benar-benar ada di dalamnya.
Tentu saja tidak. Kita tahu jauh di lubuk hati jika itu tidak ada gunanya.
Tetapi jika kita dapat melakukan lebih sedikit hal-hal yang tidak terlalu penting, kita akan dapat melakukan hal-hal yang penting dengan lebih baik. Kita juga merasakan ketenangan seperti yang dikatakan Marcus. Sebuah kepuasan ganda.
Praktikkan Visualisasi Negatif
“Apa yang tidak terlihat, efeknya yang lebih menghancurkan, dan hal yang tidak terduga menambah beban kehancuran itu. Ini adalah alasan untuk memastikan bahwa tidak ada yang mengejutkan kita. Kita harus memproyeksikan pikiran kita di depan kita di setiap kesempatan dan memikirkan setiap kemungkinan yang mungkin terjadi, bukan hanya rangkaian peristiwa yang biasa…” —Seneca
Sekitar tahun 64 M, teman Seneca, Lucilius, mengirimkan surat. Lucilius gugup tentang gugatan yang sedang berlangsung. Kita tidak yakin apa gugatan itu berakhir, tetapi kita tahu bahwa itu adalah kasus serius dan bahwa Lucilius telah membuat dirinya cemas tentang hasilnya dan telah menulis surat kepada Seneca untuk meminta nasihat.
Saran Seneca? Mengapa Anda meminjam ketidakbahagiaan? Mengapa Anda sengsara sekarang hanya karena Anda mungkin akan menderita di masa depan? Pada dasarnya, Seneca mengatakan kepada Lucilius bahwa “apa yang akan terjadi akan terjadi, jadi berhentilah cemas.” Ini mungkin terdengar seperti hal yang aneh untuk didengar dari Seneca, pencipta latihan premeditatio malorum yang sering kita bicarakan di email Daily Stoic. Masih terdengar aneh mengingat bahwa dalam surat yang sama, Seneca memberi tahu Lucilius, “Mari kita pikirkan segala sesuatu yang bisa terjadi sebagai sesuatu yang akan terjadi.”
Bagaimana cara kerjanya? Bukankah itu nasihat yang kontradiktif?
Tidak.
Inti dari premeditatio malorum—visualisasi negatif—bukan untuk membuat Anda khawatir. Tetapi untuk menghilangkan kekhawatiran! Dengan menyadari semua kemungkinan yang ada di depan kita, dan sekarang kita dapat melanjutkan persiapan kita. Siapa yang punya waktu untuk kecemasan? Kita harus membentengi diri kita sendiri untuk apa yang mungkin terjadi. Mengapa membuang-buang waktu untuk memilih satu hasil daripada yang lain? Kita siap untuk semua hal secara setara. Tetapi bagaimana jika skenario terburuk terjadi? Oke, itu tidak akan menyenangkan, jadi mari kita nikmati saat ini selagi masih bisa.
Premeditatio malorum, entah Anda membawanya di saku Anda dalam bentuk medali dari kami atau Anda hanya melewatinya sebelum memulai sebuah proyek atau perjalanan atau penerbangan jarak jauh, adalah bentuk kebebasan. Salah satu bentuk pemberdayaan. Cara untuk membantu Anda memenuhi masa depan dengan memanfaatkan apa yang ada di depan Anda saat ini.
Gunakanlah itu.
Manfaatkan Momen Tak Bergerak
“Untuk mengabaikan dan menghilangkan semua gangguan dan distraksi, serta mencapai kesunyian seutuhnya. Sangatlah mudah sekali.” —Marcus Aurelius
Marcus Aurelius memimpin seluruh kekaisaran. Dia membaca buku, menulis, mengesahkan hukum, mendengarkan kasus, memimpin pasukan. Dia adalah orang yang sibuk. Dia, seperti kita, ditarik ke berbagai arah. Dia memiliki kecemasan, kekhawatiran, harapan, dan mimpi.
Namun dia sering membicarakan dengan apik mengenai meluangkan saat-saat tenang dan damai.
“Jika Anda dapat menghilangkan kesan yang melekat pada pikiran,” katanya, “bebas dari masa depan dan masa lalu—dapat menjadikan diri Anda, seperti yang dikatakan Empedocles, ‘sebuah bola yang bersukacita dalam keheningan yang seutuhnya.’
Pernahkah Anda mengalami momen seperti itu? Jika Anda pernah, Anda tahu betapa istimewanya momen itu. Anda tahu wawasan seperti apa yang dapat Anda akses, seberapa banyak kebahagiaan yang merayap masuk, dan seberapa banyak kecemasan yang merayap keluar. Marcus menulis bahwa mengambil momen keheningan ini memungkinkan kita untuk “berkonsentrasi untuk menjalani apa yang bisa dijalani (saat ini).” Baru kemudian, dia berkata, “Anda dapat menghabiskan waktu yang tersisa dengan tenang. Dan dalam kebaikan. Dan berdamai dengan jiwa di dalam diri Anda.”
Anda pantas mendapatkan momen seperti itu. Saat-saat di mana Anda menyaksikan salju turun. Saat-saat di mana Anda duduk dengan tenang dengan sebuah buku. Saat-saat di mana Anda melihat ke luar jendela kereta, bukan pada panggilan konferensi, tidak memeriksa email, tidak bertanya-tanya berapa lama Anda sampai tiba di kota, tetapi momen untuk melihat diri sendiri, untuk memikirkan hidup Anda dan apa yang ingin Anda lakukan dengan itu. Momen bersama orang tersayang. Saat-saat di mana Anda bersyukur, merasa terhubung, bahagia, kreatif—melakukan apa pun yang Anda lakukan dengan sebaik-baiknya.
Apa kesamaan dari momen-momen ini? Momen itu semua bebas dari kecemasan. Pikiran jernih, bersukacita dalam keheningan yang sempurna, seperti yang dikatakan Marcus. Anda bebas dari masa depan dan masa lalu, sepenuhnya hidup dan fokus di masa kini.
Manfaatkan saat-saat itu. Anda layak mendapatkannya.
Lepaskan Semuanya Kecuali Ini
Kita semua menginginkan kepercayaan diri yang tenang yang berasal dari jalan yang benar, seperti yang dijelaskan Seneca, dan tidak cemas atau terganggu oleh semua hal yang mengenai diri kita.
Nah, bagaimana Anda mendapatkannya?
Sederhana saja, tulis Marcus Aurelius. Berhentilah peduli apa yang orang lain pikirkan. Berhentilah peduli dengan apa yang mereka lakukan. Berhenti peduli apa yang mereka katakan.
Yang penting, tulisnya, adalah apa yang Anda lakukan. Segala sesuatu yang lain berada di luar perhatian Anda. Anda bisa melepaskan semuanya. Anda dapat mengabaikannya sepenuhnya.
Kita menemukan ketenangan ketika kita berhenti stres tentang hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan, yang pengaruhnya tidak dapat kita kendalikan. Kita menemukan ketenangan ketika kita mempersempit fokus kita, ketika kita melihat ke dalam, ketika kita melihat ke cermin. Saat kita masih memiliki nafsu yang tak terkendali di kepala, hati, dan tubuh kita.
Keheningan, yang kami katakan di atas, adalah kunci menuju kehidupan yang lebih baik. Berita buruknya adalah hanya ada satu cara untuk mendapatkannya. Kabar baiknya, caranya mudah. Anda hanya harus berhenti. Berhentilah peduli dengan apa yang orang pikirkan atau katakan atau lakukan. Mulailah peduli secara mendalam tentang apa yang Anda lakukan.
Hentikan… dan mulailah sekarang.
Berpikir Secara Berbeda Tentang Uang
“Pencipta alam semesta, yang memberi kita hukum kehidupan, menyarankan kita hidup dengan baik, tetapi tidak dalam kemewahan. Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kesejahteraan kita ada di hadapan kita, sedangkan apa yang dibutuhkan kemewahan dikumpulkan oleh banyak kesengsaraan dan kecemasan. Mari kita gunakan karunia alam ini dan menghitungnya di antara hal-hal terbesar.” — Seneca
Bahkan di masanya sendiri, Seneca dikritik karena mengkhotbahkan kebajikan Stoic sambil mengumpulkan salah satu kekayaan terbesar di Roma. Seneca begitu kaya sehingga beberapa sejarawan berspekulasi bahwa pinjaman besar yang dia berikan kepada penduduk yang sekarang menjadi wilayah Inggris menyebabkan apa yang menjadi pemberontakan brutal yang mengerikan di sana. Julukan ejekan para pengkritiknya untuknya adalah “Stoic Kaya Raya.”
Tanggapan Seneca terhadap kritik ini cukup sederhana: dia mungkin memiliki kekayaan, tetapi dia tidak membutuhkannya. Dia tidak bergantung pada kekayaan atau kecanduan pada kekayaan. Selain itu, terlepas dari rekening banknya yang besar, dia tidak dianggap sebagai sesuatu yang dekat dengan pemboros dan pemburu kesenangan paling mewah di Roma.
Entah rasionalisasinya benar atau tidak (atau apakah dia sedikit munafik), dia adalah panutan yang layak untuk menyetir masyarakat kita yang materialistis dan didorong oleh kekayaan, dan kecemasan yang datang ketika uang tampak begitu besar dalam hidup kita.
Para Stoics memiliki pendekatan pragmatis alih-alih moralistik terhadap kekayaan. Marcus Aurelius pernah mengatakan kepada Senat bahwa dia tidak menganggap dirinya memiliki kekayaan. Kekayaan itu milik rakyat, katanya, bahkan rumah yang saya tinggali bukan milik saya.
Ada ketenangan yang datang ketika kita berhenti berpikir terlalu tinggi tentang uang. Ketika kita berhenti berpikir uang sangat langka. Tidak. Uang itu sangat umum. Sebagian besar orang yang memilikinya tidak mengesankan, sebagian besar kekayaan besar, pada kenyataannya, justru berkebalikan dari besar.
Hidup menjadi jauh lebih baik ketika kita melepaskan diri dari rantai kemewahan. Kecemasan hilang ketika kita tidak perlu membuat keputusan yang memaksa kita untuk terus bekerja dan bekerja dan bekerja dan untuk mendapatkan lebih banyak uang untuk membayar hal-hal yang tidak kita butuhkan.
Ingat: manusia bisa bahagia dengan sangat sedikit.
10 Kutipan Stoic Terbaik tentang Kecemasan
“Manusia tidak terlalu khawatir dengan masalah nyata, melainkan kecemasan yang dibayangkannya tentang masalah nyata.” — Epictetus
“Hari ini saya berhasil melarikan diri dari kecemasan. Atau tidak, saya membuangnya, karena itu ada di dalam diri saya, dalam persepsi saya sendiri, bukan di luar.” —Marcus Aurelius
“Semua yang dibutuhkan untuk kesejahteraan kita ada di depan kita, sedangkan apa yang dibutuhkan kemewahan dikumpulkan oleh banyak kesengsaraan dan kecemasan. Mari kita gunakan karunia alam ini dan menghitungnya di antara hal-hal terbesar.” — Seneca
“Tugas utama dalam hidup hanyalah ini: mengidentifikasi dan memisahkan hal-hal sehingga saya bisa mengatakan secara jelas pada diri saya mana faktor eksternal yang tidak berada di bawah kendali saya, dan mana yang berhubungan dengan pilihan yang bisa saya kendalikan. ” — Epictetus
“Sungguh merasa cemas tentang masa depan dan sengsara sebelum kesengsaraan terjadi bisa menghancurkan jiwa, diliputi oleh kecemasan bahwa hal-hal yang diinginkannya akan tetap menjadi miliknya sampai akhir. Karena jiwa seperti itu tidak akan pernah tenang—dengan merindukan hal-hal yang akan datang, ia akan kehilangan kemampuan untuk menikmati hal-hal yang ada sekarang.” — Seneca
“Ketika saya melihat orang yang cemas, saya bertanya pada diri sendiri, apa yang mereka inginkan? Karena jika seseorang tidak menginginkan sesuatu di luar kendali mereka sendiri, mengapa mereka dilanda kecemasan?” — Epictetus
“Yang membuat orang kesal bukanlah hal-hal itu sendiri, tetapi penilaian mereka tentang hal-hal tersebut.” — Epictetus
“Langkah pertama: Jangan cemas. Alam mengatur semuanya. Dan tak lama lagi Anda tidak akan menjadi siapa-siapa—seperti Hadrian, seperti Augustus. Langkah kedua: Berkonsentrasilah pada apa yang harus Anda lakukan. Perbaiki pandangan Anda pada hal tersebut. Ingatkan diri Anda bahwa tugas Anda adalah menjadi manusia yang baik; ingatkan diri Anda apa yang dituntut alam dari manusia. Maka lakukanlah.” —Marcus Aurelius
“Anda memiliki kekuatan atas pikiran Anda bukan peristiwa di luar Anda, sadari ini dan Anda akan menemukan kekuatan.” —Marcus Aurelius
“Jangan biarkan imajinasi Anda dihancurkan oleh kehidupan secara keseluruhan… Tetap berpegang pada situasi yang ada, dan tanyakan, ‘Mengapa perasaan ini begitu tak tertahankan? Mengapa saya tidak bisa menahannya?’ Anda akan malu untuk menjawabnya.” —Marcus Aurelius
Sumber: dailystoic