Judgment (penilaian)—kemampuan untuk menggabungkan kualitas personal dengan pengetahuan dan pengalaman yang relevan dalam membentuk opini dan membuat keputusan—adalah “inti dari leadership yang patut diteladani,” menurut Noel Tichy dan Warren Bennis (penulis buku Judgment: How Winning Leaders Make Great Calls). Judgment memungkinkan pengambilan keputusan yang jelas tanpa adanya data yang relevan atau arahan yang jelas.
Sebuah keputusan harus dibuat. Fakta-fakta telah dikumpulkan dan argumen yang mendukung maupun menentang pilihan yang ada telah dijabarkan. Tetapi, tidak ada bukti jelas yang mendukung satu pilihan tertentu. Semua orang pun menoleh ke CEO. Mereka mencari sebuah judgment yang baik—sebuah interpretasi akan bukti yang mengarah pada pilihan tepat.
Judgment (penilaian)—kemampuan untuk menggabungkan kualitas personal dengan pengetahuan dan pengalaman yang relevan dalam membentuk opini dan membuat keputusan—adalah “inti dari leadership yang patut diteladani,” menurut Noel Tichy dan Warren Bennis (penulis buku Judgment: How Winning Leaders Make Great Calls). Judgment memungkinkan pengambilan keputusan yang jelas tanpa adanya data yang relevan atau arahan yang jelas. Pada dasarnya, kita semua memiliki kapasitas membentuk pandangan dan menafsirkan bukti. Namun tentunya, yang kita butuhkan adalah judgment yang baik.
Orang-orang telah menuliskan banyak pendapat dalam memahami elemen dari judgment yang baik. Beberapa ahli mendefinisikannya sebagai sebuah insting atau “firasat” yang menggabungkan pengalaman mendalam dan keterampilan analitis dalam tingkat bawah sadar untuk menghasilkan sebuah wawasan atau untuk mengenali pola yang diabaikan oleh orang lain. Dalam tingkat tinggi, definisi ini masuk akal secara intuitif, namun sulit untuk beralih dari memahami apa itu judgment ke arah bagaimana memperoleh atau mengenalinya.
Dalam upaya untuk memenuhi tantangan tersebut, saya telah berdiskusi dengan para CEO di berbagai perusahaan, dari beberapa perusahaan terbesar dunia hingga perusahaan rintisan (start-ups). Saya juga mendekati para leader seperti mitra senior di firma hukum dan akuntansi, jenderal, dokter, ilmuan, pendeta, dan diplomat. Saya meminta mereka untuk membagikan pengamatan mereka tentang judgment mereka sendiri dan orang lain sehingga saya mampu mengidentifikasi keterampilan dan perilaku yang secara kolektif menciptakan kondisi sebagai wawasan baru dan memungkinkan pembuat keputusan untuk membedakan pola yang terlewatkan oleh orang lain. Saya juga telah membaca literatur yang relevan terkait leadership dan psikologi.
Saya telah menemukan jika leader dengan judgment yang baik cenderung seorang pendengar dan pembaca yang baik pula—mereka mampu mendengar apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh orang lain sehingga mampu melihat pola yang tidak dilihat oleh orang lain. Mereka memiliki pengalaman dan relasi yang luas yang memungkinkan untuk mengenali perbandingan atau analogi yang dilewatkan orang lain—dan jika mereka tidak mengetahui sesuatu, mereka akan mengetahui siapa orang yang bisa diandalkan untuk berpatokan pada judgment atau penilaiannya. Mereka mampu mengenali emosi dan bias mereka sendiri dan tidak melibatkannya dalam pertimbangan keputusan. Mereka mahir dalam memperluas berbagai pilihan yang sedang dipertimbangkan. Pada akhirnya, mereka tetap rendah hati dengan mempertimbangkan implementasi suatu keputusan saat membuat keputusan tersebut.
Tindakan-tindakan yang bisa diterapkan oleh para leader, keterampilan yang bisa dikembangkan, dan hubungan yang dapat mereka bangun bisa membantu judgment yang mereka buat. Dalam artikel ini, saya akan menjabarkan enam komponen dasar dari judgment yang baik—diantaranya pembelajaran, kepercayaan, pengalaman, objektivitas, opsi, dan penyampaian—dan saya juga memberikan saran bagaimana meningkatkan komponen tersebut.
Pembelajaran: Dengarkan Secara Atentif, Baca Secara Kritis
Judgment yang baik mengharuskan Anda untuk mengubah pengetahuan menjadi pemahaman. Hal ini terdengar gampang, tetapi justru lebih sulit dalam hal pendekatan Anda menuju pembelajaran tersebut. Banyak leaders terlalu cepat menyimpulkan judgment yang buruk karena mereka tidak secara sadar mencerna informasi yang mereka terima atau tidak begitu kritis terhadap apa yang mereka dengar atau baca.
Sayangnya, kenyataannya beberapa dari kita benar-benar menyerap informasi yang kita terima. Kita menyaring informasi yang tidak ingin kita dengar dan kecenderungan ini tidak serta merta membaik seiring berjalannya usia. (Misalnya, penelitian menunjukkan jika anak-anak menyadari hal-hal yang tidak disadari orang dewasa). Alhasil, leaders kehilangan banyak informasi yang tersedia—sebuah kelemahan yang rentan pada orang-orang dengan kinerja terbaik karena terlalu percaya diri sering kali membawa kesuksesan.
Terdapat pengecualian, tentunya. Saya pertama kali bertemu John Buchanan di awal karier empat dekade saat dia menjadi CFO di BP, ketua Smith & Nephew, wakil ketua Vodafone, dan direktur di AstraZeneca, Alliance Boots, dan BHP Billiton. Hal yang langsung mengejutkan saya sepanjang perkenalan kami adalah dia memberikan atensi yang sama bagi saya dan orang lain. Banyak orang yang telah memiliki rangkaian pencapaian justru berhenti mendengarkan orang lain demi kesenangannya.
Leaders dengan judgment yang baik cenderung menjadi pendengar dan pembaca yang baik pula.
Buchanan lebih dari sekadar pendengar yang baik—dia mahir dalam mendapatkan informasi yang orang lain bisa jadi tidak mendapatkannya secara cuma-cuma. Dia merancang pertanyaan-pertanyaannya untuk memantik respon yang menarik. Dia mengatakan hal tersebut kepada saya saat memutuskan apakah akan menerima jabatan direktur, misalnya, dia akan menanyakan pertanyaan seperti, “Di mana Anda akan meletakkan perusahaan ini di spektrum putih abu-abu?” “Awalnya ini kedengaran seperti sebuah karya klasik manajemen yang cerdas, tetapi sebenarnya tidak ada artinya,” katanya. “Tetapi, ini sudah cukup terbuka untuk menarik respon pada subjek yang lebih luas dan menghasilkan respon yang bermakna.”
Kelebihan informasi, terutama dalam bentuk tulisan, menjadi permasalahan lain. Tidak mengejutkan jika para CEO yang mendapatkan banyak permintaan akan waktu dan atensi mereka, merasa kesulitan dengan volume email dan dokumen pengarahan yang mereka terima. Sebagai seorang direktur di perusahaan besar yang terdaftar, saya juga akan menerima jutaan kata yang perlu dibaca menuju meeting skala besar. Dihadapkan dengan tumpukan informasi sebanyak itu, kita tergoda untuk membaca sekilas (skimming) dan hanya mengingat materi yang sesuai dengan keyakinan kita. Itu sebabnya para leader yang cerdas menuntut kualitas daripada kuantitas dalam hal apa yang mereka dapatkan. Tiga ratus halaman untuk meeting besar berikutnya? Di Amazon dan Bank of England justru hanya memberikan maksimal enam halaman untuk poin-poin dalam agenda meeting.
Banyaknya tumpukan beban informasi juga bukan satu-satunya tantangan saat harus membaca. Tantangan lainnya yang harus dihadapi adalah membayangkan tulisan tersebut berbicara. Ketika kita mendengarkan orang berbicara, kita mencari (secara sadar atau tidak sadar) petunjuk nonverbal tentang kualitas dari apa yang kita dengar. Saat membaca, kita tidak mendapatkan konteks itu; dan di era di mana istilah “fake news” begitu umum, para pengambil keputusan perlu memberikan perhatian ekstra pada kualitas informasi yang mereka lihat dan dengar, terutama materi yang disaring oleh rekan kerja atau diperoleh melalui mesin pencari dan media sosial. Apakah Anda benar-benar berhati-hati dalam menilai dan menyaring sebagaimana mestinya dengan mengetahui seberapa bervariasi kualitasnya? Jika Anda yakin tidak pernah secara tidak sadar dalam menyaring informasi, pikirkan ulang apakah Anda memilih surat kabar yang sesuai dengan pemikiran Anda sebelumnya.
Orang dengan judgment yang baik akan skeptis terhadap informasi yang tidak masuk akal. Kita mungkin tidak bisa menikmati kehidupan hari ini jika bukan karena seorang letnan kolonel Soviet bernama Stanislav Petrov. Baru terungkap setelah jatuhnya komunisme bahwa suatu hari pada tahun 1983, sebagai petugas jaga di pusat pelacakan rudal Uni Soviet, Petrov diberi tahu bahwa satelit Soviet telah mendeteksi serangan rudal AS di Uni Soviet. Dia memperkirakan jika kemungkinan keterbacaannya 100% sangat tinggi dan dia tidak melaporkan informasi itu ke tingkat atas, seperti instruksinya. Sebaliknya ia melaporkan itu sebagai kerusakan sistem. “Saya memiliki semua data [untuk menunjukkan serangan rudal sedang berlangsung],” katanya kepada BBC Rusia pada 2013. “Jika saya mengirim rangkaian laporan komando, tidak ada yang akan mengatakan sepatah kata pun untuk menentangnya.” Ternyata satelit itu salah mengira dan itu hanya sinar matahari yang dipantulkan dari awan sebagai mesin rudal.
Untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran: Jadilah pendengar aktif, termasuk menangkap apa yang tidak dikatakan dan menafsirkan bahasa tubuh, itu adalah keterampilan yang berharga untuk dilatih, dan ada banyak saran mengenai hal tersebut. Berhati-hatilah dalam memfilter informasi Anda sendiri dan pembelaan diri atau agresi yang dapat mencegah argumen alternatif. Jika Anda bosan dan tidak sabar saat mendengarkan, ajukan pertanyaan dan teliti kesimpulan Anda. Jika Anda kewalahan dengan materi pengarahan tertulis, fokuslah pada bagian yang membahas pertanyaan dan masalah daripada informasi rangkuman presentasi yang akan Anda dengar saat meeting. (Biasanya, memang terlalu banyak informasi yang diisi dengan salinan presentasi sebelumnya.) Cari celah atau perbedaan dalam apa yang dikatakan atau ditulis. Pikirkan baik-baik tentang dari mana asal data yang mendasari suatu informasi dan kemungkinan minat orang yang memberikan informasi tersebut. Jika Anda bisa, dapatkan masukan dan data dari orang-orang di lebih dari satu sisi argumen—terutama orang yang biasanya tidak Anda setujui. Terakhir, pastikan tolak ukur dan representatif untuk data yang Anda andalkan sudah bagus, lihat adanya perbedaan pada metrik dan cobalah untuk memahaminya.
Kepercayaan: Carilah Keberagaman, Bukan Validasi
Leadership seharusnya bukan menjadi upaya tunggal. Para leaders dapat memanfaatkan keterampilan dan pengalaman orang lain serta pengalaman mereka sendiri ketika mereka akan membuat suatu keputusan. Siapa saja penasihat tersebut dan seberapa besar kepercayaan yang diberikan leader kepada mereka sangat penting untuk kualitas judgment dari leader tersebut.
Sayangnya, banyak CEO dan pengusaha hanya mempekerjakan orang-orang yang setuju dan memvalidasi mereka. Elizabeth Holmes dan Sunny Balwani, eksekutif dari perusahaan rintisan Theranos yang namanya tercoreng menganggap siapa pun yang mengajukan permasalahan atau keberatan sebagai orang yang sinis dan penentang. “Karyawan yang bertahan dalam melakukannya biasanya dipinggirkan atau dipecat, sementara penjilat dipromosikan,” menurut Financial Times. Wu Xiaohui, pendiri dan leader terkemuka Grup Asuransi Anbang China yang baru-baru ini dipenjara selama 18 tahun, telah membangun kerajaan internasional yang beragam, membeli aset utama termasuk hotel Waldorf Astoria di New York. Dia juga mengelilingi dirinya dengan “orang-orang yang tidak mengesankan yang hanya akan mengikuti perintahnya dan tidak membantah,” kata seorang karyawan kepada FT.
Doris Kearns Goodwin, seorang sejarawan, dalam bukunya Team of Rivals, menuliskan jika Abraham Lincoln membentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan dia hormati tetapi para ahli tersebut tidak selalu setuju satu sama lain. McKinsey telah lama memasukkan kewajiban (bukan saran) untuk berbeda pendapat sebagai bagian utama dari caranya berbisnis. Prinsip Leadership Amazon menetapkan bahwa para leaders harus “mencari perspektif yang beragam dan bekerja untuk menyangkal keyakinan mereka.”
Jack Ma dari Alibaba berpikir dengan cara yang sama. Menyadari ketidaktahuannya sendiri tentang teknologi (dia berusia 33 tahun ketika mendapatkan komputer pertamanya), Ma mempekerjakan John Wu dari Yahoo sebagai chief technology officer (CTO), dengan berkomentar, “Untuk perusahaan kelas satu kami membutuhkan teknologi kelas satu. Ketika John datang, saya bisa tidur nyenyak.” Ma bukan satu-satunya entrepreneur besar yang telah mencari penasihat dengan kualitas dan pengalaman organisasi dan pribadi yang baik untuk mengisi kekurangan dalam dirinya. Mark Zuckerberg dari Facebook mempekerjakan Sheryl Sandberg untuk alasan yang sama. Natalie Massenet, pendiri fashion retailer online Net-a-Porter, mempekerjakan Mark Sebba yang jauh lebih tua sebagai “kepala eksekutif Net-a-Porter yang bersahaja yang menertibkan perusahaan rintisan ecommerce dengan cara seperti Robert De Niro di film The Intern,” menurut Times of London. Saudara laki-laki saya, Michael, memberi tahu saya bahwa salah satu alasan perusahaan optiknya, GrandOptical, menjadi yang terbesar di Prancis adalah karena ia bermitra dengan Daniel Abittan, yang keunggulan operasionalnya melengkapi visi kewirausahaan dan keterampilan strategis Michael.
Untuk meningkatkan kemampuan kepercayaan ini: Carilah penasihat tepercaya: orang-orang yang akan memberi tahu Anda apa yang harus Anda ketahui daripada apa yang ingin Anda dengar. Saat Anda merekrut orang-orang yang sarannya akan Anda andalkan, jangan menganggap hasil sebagai cerminan dari judgment mereka yang baik. Jadikan judgment sebagai faktor eksplisit dalam keputusan penilaian dan promosi karyawan. Usha Prashar, yang mengepalai badan yang membuat penunjukan yudisial paling senior di Inggris, menunjukkan perlunya menyelidiki bagaimana seorang kandidat melakukan sesuatu, bukan hanya apa yang telah dia lakukan. Dominic Barton dari McKinsey memberi tahu saya jika dia mencari informasi yang tidak dikatakan: Apakah orang-orang masih gagal menyebutkan kesulitan atau kemunduran atau kegagalan “nyata” dalam karier mereka hingga saat ini? Seorang CEO mengatakan dia bertanya kepada orang-orang tentang situasi di mana mereka tidak memiliki informasi yang cukup atau saran yang bertentangan. Jangan terkecoh dengan penilaian bahwa seorang kandidat “berbeda”. Seseorang yang tidak setuju dengan Anda dapat memberikan tantangan yang Anda butuhkan.
Pengalaman: Jadikan Pengalaman itu Relevan tapi Tidak Sempit
Di luar data dan bukti yang berkaitan dengan keputusan, para leader mengikutsertakan pengalaman mereka saat membuat judgment. Pengalaman memberikan konteks dan membantu kita mengidentifikasi solusi potensial dan mengantisipasi permasalahan. Jika mereka sebelumnya telah menghadapi sesuatu seperti permasalahan saat ini, para leader dapat menentukan di bagian mana mereka memfokuskan energi dan sumber daya mereka.
Mohamed Alabbar, ketua Emaar Properties Dubai dan salah satu pengusaha paling sukses di Timur Tengah memberi saya sebuah contoh. Krisis properti besar pertamanya di Singapura pada tahun 1991 telah mengajarinya untuk selalu siap terhadap permasalahan yang datang—dan dalam bidang real estat, hanya mereka yang belajar dari over gearing dalam krisis pertama mereka yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Sejak itu Alabbar telah menavigasi siklus ekonomi Dubai yang sering kali dramatis dan saat ini memiliki portofolio termasuk Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia, dan Dubai Mall, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di dunia.
Tetapi, harus diperhatikan jika dasar pengalaman yang dimiliki itu sempit, familiaritas itu bisa berbahaya. Jika perusahaan saya berencana memasuki pasar India, saya mungkin tidak akan memercayai judgment seseorang yang meluncurkan produknya hanya di Amerika Serikat saja. Saya mungkin tidak terlalu khawatir tentang seseorang yang juga telah meluncurkan produk baru di, katakanlah, China dan Afrika Selatan, karena orang seperti itu cenderung tidak mengabaikan sinyal-sinyal penting.
Selain itu, para leaders dengan pengalaman yang mendalam dalam bidang atau area tertentu mungkin jatuh ke dalam perangkap, membuat judgment karena kebiasaan, kepuasan diri, atau terlalu percaya diri. Biasanya diperlukan krisis eksternal untuk mengungkap kegagalan ini, seperti halnya kurangnya sekoci dalam kecelakaan Titanic menjadi simbol abadi sebuah kegagalan dan krisis keuangan 2008 yang menjadi ujian tersendiri bagi para pebisnis. Hal yang serupa terjadi saat ini adalah para leaders yang meremehkan perkembangan isu lingkungan yang akan menjadi pusat perhatian dan membutuhkan tanggapan yang nyata.
Untuk meningkatkan kemampuan pengalaman ini: Pertama, nilai seberapa baik Anda memanfaatkan pengalaman Anda sendiri untuk membuat keputusan. Mulailah menilainya saat diminta melakukan judgment penting Anda untuk mengidentifikasi apa yang berjalan dengan baik dan sebaliknya, termasuk apakah Anda menggunakan pengalaman yang tepat dan apakah analogi yang Anda buat sudah sesuai. Catat yang salah dan yang benar. Hal ini memang sulit, dan bisa saja mengulang kesalahan yang sama, itulah sebabnya mengapa Anda perlu membagikan kesimpulan Anda dengan coach atau kolega, yang mungkin memiliki pandangan berbeda dari pengalaman yang sama. Usahakan juga untuk merekrut teman yang cerdas yang bisa menjadi kritikus yang netral.
Para leaders dengan pengalaman mendalam di bidang atau area tertentu bisa jadi jatuh dalam perangkap kebiasaan.
Apalagi jika Anda seorang leader muda, bekerjalah untuk memperluas pengalaman Anda. Cobalah untuk mendapatkan penempatan di luar negeri atau di jabatan utama perusahaan seperti keuangan, penjualan, dan manufaktur. Ikutkan diri Anda di tim akuisisi untuk kesepakatan besar. Dan sebagai CEO, dukungan paling penting yang dapat Anda berikan kepada manajer berpotensi tinggi adalah eksposur yang lebih bervariasi, jadi terlibatlah dalam perencanaan karier. Itu tidak hanya akan membantu manajer muda; itu akan membantu perusahaan dan sangat mungkin juga akan membantu Anda, karena itu akan memperluas pengalaman yang dapat Anda manfaatkan.
Objektivitas: Identifikasi, Lalu Pertanyakan Bias
Saat Anda memproses informasi dan memanfaatkan keragaman pengetahuan Anda sendiri dan orang lain, penting bagi Anda untuk memahami dan mengatasi bias Anda sendiri. Meskipun berpegang teguh pada tujuan dan values adalah kualitas leadership yang luar biasa yang dapat menginspirasi para pengikut untuk upaya yang lebih besar, itu juga dapat memengaruhi cara Anda memproses informasi, belajar dari pengalaman, dan memilih penasihat.
Oleh karena itu, kemampuan terkait objektivitas, baik secara intelektual maupun emosional, merupakan komponen penting dari judgment yang baik. Tapi ini termasuk keterampilan yang sulit untuk dikuasai. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian di bidang ekonomi perilaku, psikologi, dan pengambilan keputusan dalam beberapa tahun terakhir, bias kognitif seperti anchoring, konfirmasi, dan penghindaran risiko atau penerimaan risiko yang berlebihan adalah bentuk dari pervasive influence dalam pilihan yang dibuat oleh orang-orang.
Utilitas RWE Jerman memberikan contoh. Dalam sebuah wawancara tahun 2017, chief financial officer-nya mengungkapkan bahwa perusahaan telah menginvestasikan $10 miliar untuk membangun fasilitas pembangkit listrik konvensional selama periode lima tahun, yang sebagian besar harus dihapuskan. RWE melakukan postmortem untuk memahami mengapa investasi dalam teknologi tenaga konvensional dipilih pada saat industri energi beralih ke energi terbarukan. Ini menunjukkan jika pihak pengambil keputusan menunjukkan status quo dan bias konfirmasi dalam mengevaluasi konteks investasi. Disamping itu, juga ditemukan sejumlah kasus di mana bias hierarkis telah dimainkan: Bawahan yang meragukan judgement bos mereka tetap diam daripada tidak setuju dengan bos mereka. Pada akhirnya, kata CFO, RWE telah mengalami “dosis yang baik dari bias berorientasi tindakan seperti terlalu percaya diri dan optimisme yang berlebihan.”
Justru karena kemampuan mereka untuk melawan bias kognitif dan mempertahankan objektivitas dalam pengambilan keputusan, kita sering melihat CFO dan pengacara naik ke jabatan CEO, terutama ketika sebuah perusahaan berada dalam masa krisis dan pekerjaan orang-orang berada di bawah ancaman. Kualitas ini dipuji secara luas setelah Dana Moneter Internasional memilih Christine Lagarde sebagai direkturnya menyusul kepergian dramatis pendahulunya pada 2011, Dominique Strauss-Kahn, setelah skandal mengerikan. Meskipun Lagarde bukan seorang ekonom—suatu hal yang tidak biasa terjadi bagi seorang kepala IMF—Lagarde justru telah menunjukkan kemampuannya sebagai menteri keuangan Prancis meskipun sedikit pengalaman politik. Dan, tidak diragukan lagi, mengingat dia menjadi mitra di sebuah firma hukum internasional besar membantunya untuk melakukan pendekatan negosiasi dengan objektivitas—kemampuan penting pada saat sistem keuangan global berada di bawah tekanan berat.
Untuk meningkatkan kemampuan objektivitas ini: Pahami, klarifikasi, dan terima sudut pandang yang berbeda. Dorong orang untuk terlibat dalam permainan peran dan simulasi, yang memaksa mereka untuk mempertimbangkan kepentingan selain kepentingan mereka sendiri dan dapat memberikan ruang yang aman untuk perbedaan pendapat. Jika karyawan didorong untuk memainkan peran sebagai pesaing, misalnya, mereka dapat bereksperimen dengan ide yang mungkin enggan mereka usulkan kepada bos.
Program pengembangan leadership adalah forum yang bagus untuk menantang asumsi dengan memaparkan orang kepada rekan kerja dari budaya dan geografi yang berbeda, yang datang ke diskusi dengan pandangan yang berbeda.
Terakhir, orang-orang dengan judgment yang baik memastikan bahwa mereka memiliki proses yang membuat mereka sadar akan bias. Setelah mengetahui berapa banyak value yang telah dihancurkan, RWE menetapkan praktik baru: Keputusan besar sekarang mengharuskan adanya bias dulu dan, bila perlu, adanya pendapat yang bertentangan. Akui bahwa kesalahan akan terjadi—dan ragukan penilaian siapa pun yang menganggapnya tidak akan terjadi.
Opsi: Pertanyakan Kumpulan Solusi yang Ditawarkan
Dalam mengambil keputusan, seorang leader sering kali diharapkan untuk memilih di antara setidaknya dua pilihan, yang dirumuskan dan disajikan oleh para pendukungnya. Tetapi, para leader yang cerdas tidak menerima jika hanya pilihan itu saja yang disediakan. Selama krisis keuangan 2008-2009, Presiden Obama menekan Menteri Keuangan Timothy Geithner untuk menjelaskan mengapa dia tidak mempertimbangkan untuk menasionalisasi bank. Geithner menjelaskan, “Kami mengalami diskusi yang sulit. Apakah Anda yakin ini akan berhasil? Bisakah Anda meyakinkan saya? Mengapa Anda percaya diri? Apa pilihan kita? Saya mengatakan kepadanya bahwa penilaian saya pada saat itu adalah bahwa kita tidak memiliki pilihan selain memainkan hal yang telah kita lakukan.”
Obama melakukan apa yang harus dilakukan oleh semua leader yang baik ketika diberi tahu “Kita tidak punya pilihan lain” atau “Kita punya dua opsi dan satunya sangat buruk” atau “Kita memiliki tiga opsi tetapi hanya satu yang dapat diterima.” Pilihan lain hampir selalu ada, seperti tidak melakukan apa-apa, menunda keputusan sampai lebih banyak informasi tersedia, atau melakukan uji coba terbatas waktu atau implementasi percontohan. Tim Breedon, mantan CEO perusahaan jasa keuangan Inggris, Legal & General, menggambarkannya kepada saya sebagai “tidak terkotak-kotak akan bagaimana informasi disajikan.”
Jika dipikir-pikir, banyak judgment buruk yang mau tak mau diberikan hanya karena pilihan penting—dan risiko konsekuensi yang tidak diinginkan—bahkan tidak pernah dipertimbangkan. Ini terjadi karena berbagai alasan, termasuk penghindaran risiko di pihak orang yang memberikan jawaban potensial. Itulah mengapa mengeksplorasi set solusi secara menyeluruh adalah kunci dari penilaian seorang leader. Bukan tugas CEO untuk memikirkan semua opsi. Tetapi dia dapat memastikan bahwa tim manajemen memberikan berbagai kemungkinan, menangkal ketakutan dan bias yang menyebabkan tim mengedit sendiri. Ketika semua opsi dapat diperdebatkan, penilaiannya lebih mungkin benar.
Untuk meningkatkan kemampuan ini: Paksa diri untuk melakukan klarifikasi tentang informasi yang disajikan secara kurang baik, dan tantang orang-orang Anda jika menurut Anda ada fakta penting yang luput. Pertanyakan bobot mereka terhadap variabel yang menjadi dasar argumen mereka. Jika waktu tampaknya menjadi pertimbangan utama, katakan jika itu sah-sah saja. Pertimbangkan risiko yang terkait dengan solusi baru seperti stres dan terlalu percaya diri, dan cari peluang untuk mengurangi risiko itu melalui uji coba. Gunakan pemodelan, triangulasi, dan peluang yang diberikan oleh kecerdasan buatan. Pikirkan secara bijak siapa yang bisa membantu Anda menjawab pertanyaan seperti “Menurut Anda, siapa yang memiliki penilaian yang baik?” dan cari tahu seperti apa pandangan orang terkait keputusan akhir Anda. Terkadang ada pula yang memberikan solusi secara cuma-cuma. Apa konsekuensi pribadi bagi mereka (dan bagi Anda) jika solusi mereka berhasil atau gagal? Konsultasikan dengan orang yang Anda percaya. Jika tidak ada satu pun, atau waktu yang cukup, coba bayangkan apa yang akan dilakukan seseorang yang Anda percayai. Perjelas tentang aturan dan masalah etika, karena mereka akan membantu Anda menyaring pilihan Anda. Terakhir, jangan takut untuk mempertimbangkan opsi radikal. Mendiskusikannya dapat membuat Anda dan orang lain menyadari beberapa hal yang kurang radikal tetapi layak dipertimbangkan dan dapat mendorong orang lain untuk angkat bicara.
Penyampaian: Faktor Kelayakan Eksekusi
Anda dapat membuat semua pilihan strategis yang tepat tetapi tetap kalah jika Anda tidak melakukan judgment tentang bagaimana dan oleh siapa pilihan itu akan dieksekusi. Pada tahun 1880 diplomat dan pengusaha Prancis Ferdinand de Lesseps membujuk investor untuk mendukung penggalian kanal di Panama untuk menghubungkan Samudra Atlantik dan Pasifik. Karena de Lesseps baru saja menyelesaikan Terusan Suez, para investor dan politisi gagal memahami bahwa membangun terusan melalui pasir tidak membuat Anda memenuhi syarat untuk membangunnya melalui hutan dan tidak memberikan pengawasan yang layak pada rencananya. Pendekatannya terbukti sangat tidak cocok, dan diserahkan kepada pemerintah AS untuk menyelesaikan kanal dengan mengambil pendekatan yang sangat berbeda.
Saat meninjau proyek, leader yang cerdas berpikir dengan hati-hati tentang risiko implementasi dan mendesak klarifikasi dari pendukung proyek. Ini sama pentingnya untuk keputusan kecil maupun untuk keputusan besar.
Seorang leader dengan penilaian yang baik mampu mengantisipasi risiko dan mampu menentukan siapa yang paling baik mengelola risiko. Mereka mungkin bukan orang yang mencetuskan gagasan itu—terutama jika si pengusul terikat pada visi tertentu, seperti halnya de Lesseps. Secara umum, bakat, kreativitas, dan imajinasi tidak selalu disertai dengan kemampuan untuk menyampaikan—itulah sebabnya perusahaan teknologi kecil sering kesulitan untuk memanfaatkan inspirasi mereka dan dibeli oleh perusahaan raksasa yang kurang inventif tetapi terorganisir dengan lebih baik.
Untuk meningkatkan kemampuan penyampaian ini: Dalam menilai sebuah proposal, pastikan bahwa pengalaman orang-orang yang merekomendasikan investasi sangat sesuai dengan konteksnya. Jika mereka menunjuk pada pekerjaan mereka sebelumnya, mintalah mereka untuk menjelaskan mengapa pekerjaan itu relevan dengan situasi saat ini. Minta advokat untuk mempertanyakan asumsi mereka dengan terlibat dalam diskusi “premortem”, di mana peserta mencoba untuk memunculkan apa yang mungkin menyebabkan proposal gagal. RWE sekarang menjadikannya sebagai bagian dari proses evaluasi proyeknya.
KESIMPULANLeaders membutuhkan banyak kualitas, tetapi yang mendasari semua itu adalah judgment yang baik. Mereka yang berambisi tapi tidak punya judgment akan kehabisan uang. Mereka yang memiliki karisma tetapi tidak memiliki judgment akan membawa pengikut mereka ke arah yang salah. Mereka yang memiliki hasrat, tetapi tidak memiliki judgment akan membawa diri ke jalan yang salah. Mereka yang memiliki dorongan, tetapi tidak memiliki judgment akan bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan hal-hal yang salah. Keberuntungan belaka dan faktor-faktor di luar kendali Anda dapat menentukan kesuksesan akhir Anda, tetapi judgment yang baik akan menguntungkan Anda.
Sumber: HBR (Sir Andrew Likierman, dari the Magazine (Januari–Februari 2020)