“Wah! Apa yang kamu lakukan?” Saya bertanya terperanjat.
Saya baru saja masuk ke kamar putri saya saat dia sedang mengerjakan sebuah proyek sains. Biasanya saya merasa senang melihat hal seperti itu. Tapi sekarang ini, proyeknya melibatkan pasir. Sangat banyak. Dan, meski dia sudah menaruh plastik di bawah tempat kerjanya, itu tidaklah cukup. Pasir bertebaran di lantai yang baru kami renovasi.
Putri saya, yang segera merasakan ketidaksenangan saya, mulai membela dirinya. “Aku sudah gunakan plastik!” Responnya dengan marah.
Saya membalasnya lebih marah lagi, “Tapi pasirnya menyebar kemana-mana!”
“Terus aku harus melakukannya di mana lagi?” Dia berteriak.
Kenapa dia tidak mau mengakui kalau dia salah? Batin saya. Saya merasa khawatir, membayangkannya di masa depan: Seperti apa hidupnya nanti jika dia tidak bisa mengakui kesalahannya?
Kekhawatiran saya berubah menjadi kemarahan lagi, kali ini tentang bagaimana pentingnya dia mengakui kesalahan dan kami pun terus bertengkar. Dia mengatakan sesuatu yang kurang sopan pada saya dan saya meninggikan suara. Dia pun menangis.
Saya berharap hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tapi putri saya dan saya saling berseteru, yang sayangnya kami juga pernah berseteru sebelumnya. Dan bisa dibayangkan sakitnya; kami berdua pada akhirnya merasa begitu kacau.
Ini bukan sekadar pertengkaran dalam parenting. Saya sering melihat leader dan manajer jatuh pada perdebatan dengan karyawan mereka. Hal tersebut biasanya bermula karena ekspektasi yang tidak terpenuhi (“Apa yang Anda pikirkan?”) dan berakhir dengan kemarahan, kekesalan, kesedihan, dan kehilangan percaya diri bagi kedua pihak. Mungkin tidak dengan menangis. Tapi, dengan profesionalitas.
Saya cenderung selalu bertanya: Kenapa saya bereaksi begitu? Jawabannya cukup rumit, termasuk alasan saya mencintai putri saya, keinginan saya untuk mendidiknya, tingkat toleransi rendah saya pada kondisi berantakan, keinginan saya untuk memegang kendali, harapan saya akan kesuksesannya, dan lain-lain.
Tapi itu semua tidak begitu penting.
Karena mengetahui kenapa saya bertindak demikian tidak mengubah perilaku saya. Mungkin Anda berpikir itu bisa mengubah. Harusnya. Tapi tidak.
Pertanyaan yang begitu penting—pertanyaan sulit—adalah bagaimana saya berubah?
Pertama, saya perlu cara yang lebih baik dalam merespon putri saya. Untuk itu, saya datang ke istri saya, Eleanor, seorang pakar sesungguhnya. Saya bertanya padanya bagaimana seharusnya saya mengontrol hal tersebut.
“Sayang,” katanya, mencoba memperagakan diri saya saat berbicara dengan putri saya, “Ada banyak pasir di sini dan kita harus membersihkannya sebelum membuat lantai jadi rusak, apa yang bisa ayah bantu?”
Sederhana dan efektif:
- Identifikasi masalah
- Katakan apa yang harus dilakukan
- Tawarkan bantuan
Itu adalah cara terhebat untuk mengendalikan. Coba pikirkan mengenai masalah apa pun yang Anda hadapi dengan seseorang di tempat kerja. Saya tidak menyarankan Anda memulai percakapan dengan “Sayang,” tetapi sisanya bisa diterapkan.
Saya melihat seorang manajer marah kepada bawahannya (kita akan memanggilnya Fred) karena presentasi yang kurang dan tidak jelas yang dia bawakan. Manajer itu benar—presentasinya tidak jelas—tapi caranya merespon menghancurkan kepercayaan diri karyawannya dan usaha Fred selanjutnya pun jadi tidak begitu baik. Justru, manajer itu bisa mencoba mengatakan ini:
“Fred, presentasi ini menghasilkan enam poin bukan satu atau dua poin. Saya jadi bingung. Harusnya bisa lebih singkat, lebih to the point, dan lebih tampak profesional. Apakah cukup membantu kalau kita bicarakan tentang poin yang coba Anda buat?”
Tidak ada kekesalan. Tidak pula kekecewaan. Hanya transparansi dan dukungan.
Di lain waktu, saya melihat seorang CEO kesal dengan bawahan-bawahannya karena mempresentasikan rencana yang tidak sesuai dengan budget yang mereka buat. Emosinya bisa dipahami. Bahkan, pantas dilakukan. Tetapi tidak berguna. Sebuah cara alternatif bisa dilakukan dengan:
“Kawan-kawan, rencana-rencana ini tidak sesuai dengan jumlah budget yang kita setujui. Jumlah tersebut tidak bisa ditawar. Jika kalian mau, beritahu saya di bagian mana kalian merasa buntu dan kita bisa memikirkan solusinya.”
Identifikasi masalah. Katakan apa yang harus dilakukan. Tawarkan bantuan. Simple, bukan?
Tetapi—ini bagian anehnya—di situasi saya, saya tidak bisa membuat diri saya melakukannya. Ketika saya memikirkannya, saya menyadari hambatan saya.
Solusi itu tidak terasa autentik.
Saya begitu percaya untuk memimpin dan hidup dengan autentik. Dan saya marah dan khawatir dengan masa depan putri saya. Jadi merespon dengan tenang di waktu itu, akan menunjukkan tidak sesuainya antara apa yang saya rasakan dan bagaimana saya bertindak. Itulah hal yang tidak autentik.
Saat itulah saya sadar: Belajar—secara definisi—akan selalu terasa tidak autentik.
Mempraktikkan perilaku baru, muncul dengan cara baru, atau bertindak berbeda, terasa tidak autentik. Mengubah argumen yang telah dilakukan berkali-kali sebelumnya tidak akan pernah terasa autentik. Akan terasa canggung, palsu, seperti berpura-pura. Manajer hedge fund marah, CEO kesal. Tidak mengungkapkan emosi itu terasa palsu.
Tapi cara ini jauh lebih cerdas, lebih mungkin mengajari orang-orang di sekitar kita dengan penuh kasih, dan pendekatan yang lebih baik untuk membuat mereka mengubah perilaku mereka yang tidak efektif.
Jika kita ingin belajar, kita harus menoleransi perasaan tidak autentik dalam waktu cukup lama untuk mengintegrasikan cara hidup yang baru. Dalam waktu cukup lama untuk membuat cara baru terasa autentik, yang mana jika cara baru mulai dilakukan, bisa berhasil lebih cepat dari yang Anda kira.
Kemarin, putri saya mengerjakan PR larut malam dan saya sudah memintanya untuk mengerjakan di ruang makan, bukan di kamarnya karena adiknya harus tidur.
Tetapi, sebelum saya melakukannya, saya berhenti sejenak. Saya bersimpati dengan perasaan yang akan dia rasakan, diminta untuk meninggalkan kamarnya untuk adik perempuannya. Diminta untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya yang sulit di tempat yang tidak nyaman.
“Sayang,” kata saya, “Adik kamu harus tidur dan kamu harus pindah ke ruang makan. Apa ada yang bisa ayah bantu?” Identifikasi masalah, katakan apa yang harus dilakukan, dan tawarkan bantuan.
Rasanya aneh. Seolah saya terlalu perhatian. Palsu.
Tapi, berhasil.
Setelah saya membantunya pindah, dia dengan cepat kembali ke tugasnya.
Lalu, sembari saya berjalan keluar, saya dengar dia mengatakan “Ayah?” Saya menahan pintu dan menoleh melihatnya. “Terima kasih,” katanya, tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Sumber: HBR (Peter Bregman, 14 Oktober 2015)