“Berapa lama lagi Anda akan menunggu sebelum diri Anda menuntut hal terbaik dari diri Anda sendiri?” — Epictetus
Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh target yang kita tetapkan sendiri, baik target personal maupun profesional? Jika kita berharap untuk mencapai target kita, kita membutuhkan disiplin supaya kita bertanggung jawab. Kita membutuhkan pengendalian diri untuk tetap fokus hanya pada hal-hal yang berada dalam kendali kita. Dan kita membutuhkan daya tahan untuk bertahan melalui kesulitan.
Seperti yang diketahui, Stoicism adalah filosofi yang didasarkan pada disiplin diri, pengendalian diri, dan daya tahan.
Chrysippus, salah seorang Stoic misalnya, dilatih sebagai pelari jarak jauh. Setiap hari, seperti yang diceritakan Diogenes Laertes dalam Lives of Eminent Philosophers, Chrysippus akan menetapkan target, mencoba untuk mencapai target itu, lalu ketika dia melakukannya, dia akan menetapkan target baru yang lebih cepat. Karena itulah yang dilakukan pelari, atlet, dan Stoic: mereka berusaha menjadi lebih baik setiap hari, menetapkan tujuan, dan tidak berhenti sampai tujuan itu tercapai.
Kami membuat panduan ini untuk membantu Anda melakukan hal itu—untuk membantu Anda menetapkan dan mencapai target Anda. Panduan ini berakar pada kebijaksanaan Stoic yang telah teruji oleh waktu. Ini adalah artikel yang panjang yang harus disimpan dan ditinjau kembali. Jika Anda suka, Anda bisa membacanya sekali duduk, silakan klik tautan di bawah untuk menavigasi ke bagian tertentu:
Apa itu Goal Setting (Penetapan Target)?
“Jika Anda tidak memiliki target yang konsisten dalam hidup, Anda tidak dapat menjalaninya dengan cara yang konsisten.” —Marcus Aurelius
Epictetus mengatakan jika penetapan target itu sederhana:
“Pertama, katakan pada diri Anda apa yang Anda inginkan, kemudian lakukan apa yang harus Anda lakukan.”
Mari simak Marcus Aurelius sebagai contohnya.
Di usia mudanya, Marcus, yang mempelajari ajaran dari Epictetus, diadopsi oleh kaisar Hadrian dan dipersiapkan menjadi kaisar Roma. Sebuah peristiwa yang benar-benar jarang terjadi dalam sejarah manusia pun terjadi: Marcus Aurelius tidak mengikuti jejak semua raja dan malah menjadi orang yang lebih baik dengan kekuasaan yang sangat besar yang disodorkan padanya. Dari jurnal pribadinya, yang sekarang dikenal sebagai Meditations, kita tahu bahwa itu adalah sebuah keputusan. Seperti yang diinstruksikan Epictetus, pertama-tama dia berkata pada dirinya sendiri akan jadi apa dia.
Marcus melihat adanya “kejahatan, kelicikan, dan kemunafikan yang dihasilkan oleh kekuasaan”, serta “kekejaman yang aneh yang sering ditunjukkan oleh orang-orang dari ‘keluarga baik’”, dan kemudian dia menetapkan tujuannya: dia akan menjadi pengecualian dari aturan itu. “Berhati-hatilah supaya tidak menjadi diktator seperti Caesarified,” tulisnya, “Itu bisa terjadi. Oleh karena itu, jadilah sederhana, baik, tulus, serius, bersahaja, bersahabat dengan keadilan, takut akan Tuhan, baik hati, penuh kasih sayang, kuat dalam mengerjakan pekerjaan Anda. Berusaha keras untuk tetap menjadi pria yang sama seperti yang diinginkan oleh filosofi.”
Seneca berkata, “Jika seseorang tidak tahu ke pelabuhan mana dia berlayar, tidak ada angin yang menurutnya menguntungkan.” Marcus Aurelius menetapkan tujuannya untuk jadi manusia yang dia inginkan. Dan kemudian dia bekerja secara sadar dan penuh tujuan, seperti yang kita lihat dalam Meditations, untuk mencapai tujuan itu, untuk melakukan apa yang harus dia lakukan untuk menjadi seperti yang dia katakan.
Jadi bagi para Stoic, tujuan itu semacam polestar. Tujuan adalah pelabuhan panggilan. Bukan tujuan yang medorong kita, tetapi yang menarik kita. Tujuan adalah bagian pertama dari formula sederhana Epictetus untuk kehidupan yang baik. Menetapkan tujuan sama halnya kita mengatakan, ‘inilah yang akan saya lakukan.’ Yang membawa kita langsung ke bagian kedua. Setelah Anda menetapkan tujuan Anda, setelah Anda mengatakan akan menjadi apa, penetapan tujuan/goal setting berarti mencari tahu apa yang harus Anda lakukan.
Tetapkan Target Layaknya Seorang Pelukis
“Tak ada seorang pun yang bisa menentukan detail (dari sesuatu) kecuali dia sendiri sudah menentukan tujuan utamanya sebelumnya.” —Seneca
Dari Seneca, kita mendapatkan saran untuk menetapkan target selayaknya seorang pelukis. Target seperti rupa yang ingin dilukis oleh pelukis. Lukisan itu adalah apa yang kita tuju. Lukisan adalah hal yang dikatakan Seneca “tujuan utama” seperti di kutipan di atas.
Lalu, ada satu hal yang tidak kalah penting dari tujuan: rencana sang pelukis. Bagaimana pelukis itu akan mencapai tujuan utama itu? Setelah kita membuat tujuan, seperti yang dikatakan oleh Seneca, kita harus “menentukan detail.” Jika tujuannya adalah tentang memutuskan target apa yang kita tuju, maka rencananya adalah memutuskan apa yang kita butuhkan untuk mencapai target itu. Cat warna apa? Kuas apa? Tingkat keterampilan seperti apa?
Analogi Seneca menjadi cara terbaik untuk memikirkan perbedaan inti antara hasil dan tindakan yang dijabarkan para Stoic. Mereka percaya untuk melepaskan diri dari hasil dan berfokus pada proses. Bagi seorang pelukis, dia seharusnya tidak berfokus pada rupa yang ia ingin hasilkan, tetapi pada goresan atau sapuan kuas berikutnya. Alih-alih berfokus pada sesuatu yang jauh di masa depan, Anda harus fokus pada apa yang bisa Anda lakukan saat ini, sekarang ini. Misalnya saja….
Alih-alih berfokus pada target menjadi seorang penulis, Anda harus berfokus pada 1 jam kerja keras di hari ini.
Alih-alih berfokus pada target menjadi pemenang suatu kompetisi, Anda harus berfokus untuk melakukan praktik terbaik tahun ini.
Alih-alih berfokus pada target berlari marathon, Anda harus fokus berlari dan makan di hari ini.
Target itu memang luar biasa yang membuat kita melakukan hal yang penuh tujuan. Ketika kita tahu kita benar-benar menetapkan untuk mengerjakan sesuatu, ketika kita tahu target apa yang kita tuju, kita memiliki visi yang jelas. Kita jadi tahu apa yang kita lakukan hari ini. Target, kemudian akan memberitahu kita tindakan tertentu yang harus kita fokuskan. Target membantu kita menentukan rencana, detail yang harus kita buat untuk mencapai hasil tertentu.
Dari formula Epictetus yang dijelaskan di atas, target membantu kita menentukan apa yang harus kita lakukan untuk menjadi siapa atau melakukan apa yang telah kita tentukan atau lakukan. Kemudian, dari analogi Seneca, Anda bisa memiliki ide dan rencana cemerlang untuk sebuah lukisan, tetapi pada saat tertentu, kita harus mulai melukisnya.
Dengan pemahaman mengenai bagaimana pemikiran para Stoic mengenai penetapan target, sekarang mari lihat pada strategi terbaik untuk menetapkan target atau tujuan.
I. Pentingnya Penetapan Target/Tujuan
“Biarkan semua upaya Anda diarahkan ke sesuatu, biarkan tujuan itu tetap terlihat. Tindakan bukanlah hal yang mengganggu manusia, tetapi pemahaman yang salah akan beberapa hal yang membuat manusia marah.” — Seneca
Mudah bagi kita terbawa kesibukan dan keluar dari jalur. Email masuk dan Anda jadi terdistraksi. Suasana hati dan tindakan banyak orang bisa menggoda dan memengaruhi kita—kita semua dipengaruhi oleh tempo waktu kita.
Jadi, kuncinya, jika Anda ingin menjadi terbaik dan melakukan terbaik, Anda harus memiliki Bintang Utara—sesuatu yang konstan dan bisa Anda andalkan di dunia yang berubah-ubah ini. Sasaran yang menarik Anda kembali ke jalur ketika peristiwa kehidupan atau arus kelambanan secara perlahan salah mengarahkan Anda.
Namun, Anda mungkin berpikir, “Apa pentingnya penetapan target?” Atau mungkin Anda bertanya, “Apakah penetapan tujuan sebenarnya efektif?”
Itu adalah pertanyaan yang wajar. Jadi, mari lihat tiga argumen dari para Stoic mengapa penetapan tujuan itu penting dilakukan….
[1] Goals Give You Clarity and Focus
Hukum 29 dari 48 Hukum Kekuasaan adalah: Rencanakan Semua Jalan Sampai Akhir. Robert Greene menulis, “Dengan merencanakan sesuatu sampai akhir, Anda tidak akan terbebani oleh keadaan dan Anda akan tahu kapan harus berhenti. Dengan tenang, arahkan keberuntungan dan tentukan masa depan dengan berpikir jauh ke depan.” Kebiasaan kedua dalam 7 Kebiasaan Orang yang Sangat Efektif adalah: mulailah dengan memikirkan tujuan akhir.
Memikirkan tujuan akhir tidak akan menjamin Anda bisa mencapainya—tak ada satu pun Stoic yang mengindahkan asumsi tersebut—tetapi tidak memikirkan tujuan akhir akan menjamin Anda tidak mencapai apa-apa. Bagi para Stoic, oiêsis (konsepsi yang salah) tidak hanya berimbas dengan mengganggu jiwa seseorang, tetapi juga kehidupan yang kacau dan disfungsional. Ketika usaha Anda tidak diarahkan pada suatu penyebab atau tujuan, bagaimana bisa Anda tahu apa yang harus Anda lakukan hari demi hari? Bagaimana bisa Anda tahu kapan harus berkata tidak dan kapan harus berkata iya pada hal tertentu? Bagaimana bisa Anda tahu kapan Anda merasa cukup, kapan Anda telah mencapai target, kapan Anda keluar jalur, tanpa pernah mendefinisikan apa saja tujuan Anda?
Jawabannya tentu Anda tidak bisa. Anda akan terdorong pada kegagalan—atau lebih buruknya, pada kegilaan karena kehilangan arah.
[2] Target Membantu Anda Menilai Baik dan Buruk
Manusia memiliki pendapat yang kuat akan hal baik dan buruk, positif atau negatif dalam kehidupan. Tetapi, jika Anda menanyai mereka apa yang sedang mereka upayakan, apa sebenarnya strategi terbesar dalam kehidupan mereka, kebanyakan justru tidak bisa menjawab.
Ini adalah kontradiksi. Jika Anda tidak tahu apa yang ingin Anda capai atau apa yang penting bagi Anda—di hari ini dan di kehidupan sepenuhnya—Anda tidak akan tahu apakah suatu kejadian itu benar-benar baik atau buruk. Tanpa penggaris, kata Seneca, Anda tidak bisa mengubah yang bengkok menjadi lurus.
Tanpa target yang jelas, tanpa titik atau tujuan yang ingin dituju, semua pikiran Anda pada kabar baik, kabar buruk, keuntungan dan kerugian, hanyalah spekulasi yang tidak penting.
Anda harus mengetahui apa yang ingin Anda coba lakukan hari ini—dan setiap hari. Anda harus tahu pelabuhan mana yang Anda tuju. Jika tidak, Anda hanya akan terbawa angin. Anda hanya bereaksi. Anda tidak akan pernah berakhir di tempat yang Anda inginkan.
[3] Target Membantu Anda Mengalahkan Prokrastinasi
Prokrastinasi menjadi bahan bakar ketidakpastian dan kekacauan bagi diri kita. Kekacauan karena tidak memiliki rencana. Bukan berarti rencana adalah hal terbaik, tetapi manusia tanpa rencana—layaknya barisan prajurit infanteri tanpa leader yang kuat—sehingga cenderung kebingungan dan tidak bisa mengambil tindakan.
Pelatih pemenang The Super Bowl, Bill Walsh, terbiasa menghindari risiko dengan merencanakan permulaan permainannya. “Jika kalian ingin tidur malam sebelum permainan,” katanya saat mendawuhi mengenai perencanaan permainan, “pastikan kalian merencanakan 25 permainan malam sebelumnya. Kalian bisa berjalan dan memulai permainan tanpa merasa stres.” Anda juga bisa mengabaikan beberapa poin awal atau kejutan dari lawan Anda. Ini bisa jadi tidak relevan bagi Anda karena Anda sudah memiliki rencana yang harus diikuti.
Beberapa pemikir terhebat di dunia—filsuf, seniman, penulis, pelukis, ilmuwan, komposer, pengusaha—juga telah mengatasi kekacauan hidup dengan menetapkan target.
Prokrastinator menyukai kebingungan dan kerumitan. Ia menyukai pertanyaan seperti, Apa yang akan saya lakukan? Apa yang harus saya pakai? Jam berapa saya harus bangun? Apa yang harus saya makan? Apa yang harus saya lakukan pertama kali? Apa yang harus saya lakukan setelah itu? Pekerjaan seperti apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya bersusah payah mengatasi masalah ini atau haruskah saya buru-buru memadamkan api itu?
Itulah yang disebut Seneca sebagai hidup tanpa rancangan. Dan itulah yang akan disebut para Stoic sebagai siksaan. Ketika Anda tidak menentapkan target apa pun, ketika Anda hanya mengikuti arus, ketika Anda memutuskan dengan cepat apa yang akan Anda lakukan atau tidak—kelelahan dalam pengambilan keputusan ini akan menguapkan motivasi. Di sisi lain, memiliki tujuan akan mengurangi kebingungan dan kerumitan dan kelelahan dalam pengambilan keputusan. Kita jadi tahu apa yang harus kita lakukan. Prokrastinasi akan terbatasi—berdasarkan rencana dan kejelasan tujuan yang Anda buat.
II. Cara Menetapkan Target Layaknya Stoic
Dari para Stoic, kita memiliki tiga strategi yang bisa kita aplikasikan untuk penetapan target. Mari cari tahu lebih dalam lewat penjelasan berikut.
[1] Tetapkan Target yang Dapat Anda Kendalikan
“Jangan pernah memikirkan hal-hal yang tidak bisa Anda kendalikan.” —Marcus Aurelius
Satu-satunya praktik terpenting dalam filosofi Stoic adalah membedakan apa yang bisa kita ubah dan apa yang tidak bisa kita ubah. Apa yang kita pengaruhi dan apa yang tidak. Epictetus, seorang budak yang berubah menjadi guru filsafat menggambarkan ini sebagai “tugas utama dalam hidup” kita. Katanya, hal ini dilakukan “untuk mengidentifikasi dan memisahkan beberapa hal sehingga saya dapat mengatakan dengan jelas kepada diri saya sendiri mana yang tidak berada di bawah kendali saya, dan yang berkaitan dengan pilihan yang benar-benar saya kendalikan.” Atau, dalam bahasa Epictetus, apa yang menjadi hak kita dan apa yang tidak menjadi hak kita (ta eph’hemin, ta ouk eph’hemin).
Jadi, orang Stoic akan mengatakan, aturan nomor satu dalam penetapan target adalah menetapkan tujuan terserah Anda, tetapi yang berada dalam kendali Anda.
Mari pahami contoh ini. Buku debut Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving A Fck terkenal secara global dan telah terjual lebih dari 8 juta salinan. Tepat sebelum buku keduanya dirilis, Everything Is A Fcked: Book About Hope, kami menanyai Mark bagaimana ia menyikapi kesuksesan besar dari The Subtle Art:
Ketika saya duduk menulis buku ini, rasanya benar-benar sulit… Ini akan terdengar klise, tetapi pada akhirnya yang “menyelamatkan” saya dan membuat saya tetap waras adalah mengingat alasan saya menulis: Saya menulis untuk memilah ide dan masalah yang mengganggu saya dan mencoba melakukannya untuk mengajar dan membantu orang lain… Jadi, itulah titik awalnya. Saya mulai belajar untuk mendapatkan kembali harapan untuk diri saya sendiri yaitu memusatkan perhatian pada satu tujuan: menulis buku yang lebih baik. Dan saya yakin saya bisa melakukannya. Sejak membuat komitmen itu, itu membebaskan. Saya tidak merasa cemas dengan peluncuran buku ini. Mungkin saja buku ini akan meledak. Mungkin saja akan laris manis. Fans mungkin menyukainya. Mereka mungkin membencinya. Tapi saya benar-benar percaya ini adalah buku yang lebih baik: lebih cerdik, lebih dalam, lebih dewasa, ditulis lebih baik daripada The Subtle Art. Jadi, terlepas dari hasil secara duniawi, saya akan selalu bangga karenanya. Dan pada akhirnya, itulah yang penting.
Ini paradoks yang aneh. Orang-orang yang paling sukses dalam hidup, yang berprestasi paling banyak, yang mendominasi profesinya, justru tidak terlalu peduli dengan kemenangan. Tentu saja mereka tidak begitu banyak membicarakannya.
Bagaimana bisa?
Itu karena mereka mengejar sesuatu yang lebih tinggi dari itu. Mereka mengejar apa yang pernah dikatakan Posidonius kepada jenderal besar Romawi, Pompey (seperti yang diceritakan dalam Lives of the Stoics). Tujuan mereka adalah untuk “menjadi yang terbaik”. Bukan yang terbaik, tapi terbaik. Mereka mengejar penguasaan—penguasaan diri. Mereka ingin memaksimalkan potensi mereka.
Marcus Aurelius tidak mengukur prestasinya sebagai kaisar melawan para penakluk besar di masa lalu—walaupun tentu saja, dia bermaksud untuk memenangkan perang yang terpaksa dia lawan. Sebaliknya, tujuannya lebih tinggi. Dia ingin menjadi baik. Menjadi bermutu. Untuk menguasai dirinya sendiri. Untuk hidup sesuai dengan “pria yang coba dibuat oleh filosofi.”
Menang itu seperti menjadi kaya. Memang menyenangkan, tapi itu bukan sesuatu yang bisa Anda kendalikan, hari demi hari. Apa yang ada dalam kendali Anda adalah bagaimana Anda membawa diri, berusaha maksimal, mengikuti pelatihan, berpegang teguh pada prinsip Anda, mengejar panggilan diri Anda. Jika Anda menafsirkannya sebagai sukses di lapangan, itu juga bagus, begitu juga jika Anda menafsirkannya sebagai pengakuan karier, itu juga luar biasa.
[2] Jangan Menetapkan Target Terlalu Banyak
“Tanyakan pada diri Anda tiap waktu, ‘Apa ini perlu?’” — Marcus Aurelius
Sama seperti zaman kita, zaman kuno dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki tujuan ambisius dan kesulitan memprioritaskannya. Seneca mengatakan itu adalah salah satu keseimbangan tersulit dalam hidup.
Kita tidak ingin menjadi orang yang tidak pernah bisa duduk diam. “Kecintaan terhadap kesibukan bukanlah sebuah hal yang produktif, itu hanyalah kegelisahan pikiran yang diburu.” Tapi kita juga tidak ingin menjadi orang yang selalu duduk diam. “Ketenangan sejati tidak terdiri dari mengutuk semua gerakan sebagai gangguan belaka,” tulisnya, “diam semacam itu adalah kelambanan.”
Pekerjaan filsuf, kata Seneca, adalah menemukan keseimbangan sempurna dari kedua kecenderungan itu. Ini tentang bekerja dan bersantai, bukan bekerja dan menghindari pekerjaan.
Ketika Matthew McConaughey hadir di podcast Daily Stoic beberapa waktu lalu, dia menceritakan kisah bagaimana dia menemukan keseimbangan untuk dirinya sendiri. Beberapa tahun yang lalu, McConaughey menyadari bahwa dia bekerja terlalu banyak—dia memiliki perusahaan produksi, label musik, yayasan, karier acting, dan keluarga. Masalahnya bukan karena dia tidak bisa mengelola semuanya. Dia bisa. Masalahnya adalah, katanya, “Saya mendapat nilai B dalam lima hal. Saya ingin mendapat nilai A dalam tiga hal.” Jadi dia menelepon pengacaranya dan menutup perusahaan produksi dan label musik. Itu bukanlah keputusan yang mudah untuk dibuat, dan dia harus dengan hati-hati melepas bisnis agar tetap adil kepada orang-orang yang telah bekerja keras untuknya, tetapi itu adalah panggilan terbaik untuk keluarganya. Pekerjaan luar biasa yang telah dia lakukan sebagai aktor sejak itu—dan sekarang bukunya yang laris jutaan eksemplar, Greenlights—adalah bukti akan hal itu.
Seperti yang dikatakan Marcus Aurelius, ketika Anda menghilangkan yang tidak penting, Anda mendapatkan keuntungan ganda dengan melakukan hal-hal penting dengan lebih baik. Itulah sebabnya kita semua perlu melakukan latihan berikut secara teratur:
- Buat daftar semua hal yang ingin Anda kerjakan.
- Kurangi menjadi beberapa saja.
- Berkomitmenlah untuk mendapat A dalam beberapa hal saja, bukan B dan C dalam banyak hal.
- Putuskan komitmen dari apa yang seharusnya tidak pernah Anda lakukan sejak awal.
- Dedikasikan diri Anda pada hal yang benar-benar penting.
Kelima langkah itu adalah jalan menuju keseimbangan dan kesuksesan sejati.
[3] Pastikan itu Benar-Benar Jadi Target Anda
“Berhenti membiarkan diri Anda terbawa ke segala arah. Tapi pastikan Anda waspada terhadap berbagai jenis kebingungan lainnya. Orang yang bekerja sepanjang hidup mereka tetapi tidak memiliki tujuan untuk mengarahkan setiap pikiran dan dorongan hati hanya membuang-buang waktu mereka—bahkan ketika mereka sedang bekerja keras.” —Marcus Aurelius
Mendengar orang Stoic berbicara tentang ketidakpedulian terhadap pengakuan atau penghargaan eksternal bisa menipu.
Marcus mengatakan bahwa ketenaran tidak ada artinya. Seneca berbicara tentang bagaimana kesuksesan atau kekayaan berada di luar kendali kita dan karenanya tidak dihargai. Tidak menginginkan apa yang diinginkan orang lain, kata mereka, jangan terjebak dalam persaingan yang tidak berarti.
Jadi, apakah ini berarti para Stoic tidak mencoba? Apakah orang Stoic pasrah pada apa pun yang terjadi pada mereka dalam hidup, tidak memedulikan apa pun, tidak tertarik untuk maju atau berkembang?
Tidak, tentu saja tidak. Para Stoic sangat ambisius—hanya saja mereka berfokus pada internal daripada eksternal.
Sentimen serupa diungkapkan dengan baik oleh pengusaha Sam Altman, yang telah membantu ribuan perusahaan rintisan selama bertahun-tahun dengan pekerjaannya di Y Combinator, ketika dia diwawancarai oleh Tyler Cowen:
“Saya pikir satu hal yang sangat penting untuk diperjuangkan adalah terdorong secara internal, didorong untuk bersaing dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Jika Anda bersaing dengan orang lain, Anda berakhir dalam jebakan mimetik ini, dan Anda memainkan turnamen ini, dan jika Anda menang, Anda kalah. Tetapi jika Anda bersaing dengan diri sendiri, dan semua yang Anda coba lakukan adalah untuk kepuasan diri sendiri dan juga untuk dampak yang Anda berikan pada dunia dan tugas yang Anda rasakan untuk melakukan itu—jadilah versi terbaik Anda. Tidak ada batasan seberapa jauh yang bisa mendorong seseorang untuk berprestasi. Dan saya pikir itu adalah sesuatu yang Anda lihat, meskipun sepertinya para atlet bersaing satu sama lain, ketika Anda berbicara dengan atlet di bidangnya yang benar-benar hebat, itu adalah waktu mereka sendiri yang akan mereka lawan.
Kata teman dan mentor Altman, Peter Thiel, persaingan itu hanya untuk pecundang.
Ketika Anda mencoba untuk mengalahkan orang lain, Anda membuat diri Anda gagal. Tetapi melawan diri sendiri—mencoba meningkatkan diri sendiri—itu adalah kompetisi yang dapat Anda kendalikan. Itu salah satu hal yang bisa Anda menangkan.
III. Cara Supaya Benar-Benar Mencapai Target Anda
[1] Realistis
“Kita harus menjalani latihan musim dingin yang keras dan tidak terburu-buru melakukan hal-hal yang belum kita persiapkan.” — Epictetus
Semua orang ingin mencapai target mereka, tetapi sangat sedikit yang mau melakukan persiapan dan upaya yang diperlukan. Oleh karena itu, Anda perlu memulai dengan bertanya pada diri sendiri apakah ini yang benar-benar Anda inginkan, dan apakah motivasi Anda cukup kuat untuk membawa Anda ke tempat yang Anda inginkan.
Misalkan Anda ingin menang di Olimpiade, kata Epictetus,
“Itu bisa saja, tapi pastikan sepenuhnya Anda tahu apa yang Anda hadapi. Apa yang dimaksud dengan keinginan seperti itu? Apa yang harus terjadi terlebih dahulu? Lalu apa? Apa yang akan dibutuhkan dari diri Anda? Dan hal lain apa lagi yang dibutuhkan? Apakah seluruh tindakan ini benar-benar bermanfaat bagi Anda? Jika memang iya, lanjutkan. Jika Anda ingin menang di Pertandingan Olimpiade, untuk mempersiapkan diri Anda dengan baik, Anda harus mengikuti aturan ketat hingga batas daya tahan Anda. Anda harus tunduk pada peraturan yang ketat, mengikuti diet yang sesuai, berolahraga secara teratur baik dalam cuaca panas maupun dingin, dan berhenti minum alkohol. Anda harus mengikuti petunjuk pelatih Anda seolah-olah dia adalah dokter Anda.”
Sebelum Anda melakukan hal lainnya, Anda harus berpikir mengenai hal ini. Ingatlah pesan dari Coach Taylor: “Pandangan yang jelas. Hati yang penuh. Tidak bisa kalah.”
Dimulai dengan pandangan yang jelas supaya Anda bisa melihat jalan dengan jelas.
Confragosa in fastigium dignitatis via est. “Ini adalah jalan yang terjal, tetapi akan membawa pada derajat kemuliaan,” tulis Seneca.
Apakah Anda siap menempuh jalan tersebut?
[2] Spesifik
“Jiwa manusia kerap merendahkan dirinya sendiri… ketika ia membiarkan tindakan dan dorongan berjalan tanpa tujuan, acak dan tidak terhubung: bahkan hal-hal terkecil pun harus diarahkan ke suatu tujuan.” —Marcus Aurelius
Seneca menulis tentang bagaimana keunggulan manusia—terlepas dari usaha kerasnya—sering kali dikekang hanya karena ketiadaan tujuan kita. “Rencana kita gagal karena tidak memiliki tujuan,” katanya. “Ketika seseorang tidak tahu pelabuhan apa yang dia buat, tidak ada angin yang menjadi angin yang tepat.”
Tidak cukup jika Anda hanya ingin bugar di tahun ini, atau ingin jadi lebih sehat. Tidak cukup jika Anda hanya ingin lari lebih banyak atau renang lebih banyak atau bersepeda lebih banyak di tahun ini. Tidak cukup jika hanya Anda ingin jadi lebih kuat di ruang angkat besi.
Tidak, kita butuh yang sesuatu yang konkrit…
Di Atomic Habits, James Clear merujuk pada studi dari British Journal of Health Psychology di tahun 2001. Para peneliti secara acak membagi subjek penelitian (yang semuanya memiliki tujuan samar supaya bisa berolahraga lebih banyak) ke dalam salah satu dari tiga kelompok. Kelompok kontrol diminta untuk mencatat kapan saja mereka berolahraga. Kelompok “motivasi” diminta melakukan hal sama, tetapi juga diberikan penjelasan mengenai manfaat dari olahraga. Kelompok ketiga mendapatkan penjelasan yang sama, tetapi mereka juga diminta untuk lebih spesifik dalam target yang mereka ingin capai dan memantapkan kapan dan di mana mereka akan berolahraga. Untuk memulai, anggota dari kelompok ketiga melengkapi kalimat ini: “Selama minggu depan, saya akan melakukan olahraga berat setidaknya 20 menit pada [HARI] pukul [WAKTU] di [TEMPAT].”
Menariknya, hasil di kalangan para anggota dari kelompok pertama dan kedua hampir sama yaitu 35-38% orang secara konsisten berolahraga setidaknya sekali seminggu. Tetapi, untuk kelompok ketiga, 91% orang berolahraga sekali tiap minggu. Peneliti mencatat bahwa niat implementasi lebih penting ketimbang motivasi.
Tentukanlah sejauh dan sebanyak apa waktu yang Anda gunakan untuk bekerja. Tulis berapa jumlah pasti dari berat bench press yang ingin Anda kuasai. Tentukan jumlah pasti dari sesi pelatihan MMA yang ingin Anda tuju, serta berapa jumlah pound dan inchi secara pasti yang ingin Anda kurangi. Kemudian, lakukan niat implementasi—tulis kapan dan di mana Anda akan melakukan olahraga berikutnya.
Tentukan pelabuhan yang ingin Anda tuju. Lalu, petakan bagaimana Anda berniat untuk ke sana….
[3] Melangkah Setapak demi Setapak
“Kesejahteraan dicapai sedikit demi sedikit, dan bagaimanapun juga itu bukanlah suatu yang dianggap kecil.” —Zeno
Anda memiliki pelabuhan yang Anda tuju, sesuatu yang sulit yang ingin Anda capai. Entah itu memulai bisnis atau menurunkan berat badan, menyelesaikan proyek kreatif atau membangun gudang, tugas besar ada dihadapan Anda. Memikirkan tentang hal besar itu saja sudah melelahkan. Pikiran untuk menyelesaikannya, Anda tidak yakin bisa memahaminya. Cahaya di ujung terowongan tidak terlihat.
Lalu, apa yang harus Anda lakukan?
Lakukan apa yang dilakukan oleh penulis hebat (dan produktif) Rich Cohen. Di podcast Daily Stoic, Rich menjelaskan bagaimana dia bisa menjadi produktif secara konsisten pada level setinggi itu (9 buku diterbitkan sejauh ini, kebanyakan jadi yang terlaris). Dia mengatakan dia menyelesaikan proyek besar seperti dia melakukan perjalanan darat lintas negara. “Cara supaya Anda menangani perjalanan jauh adalah dengan mengatur sendiri jumlah jam minimum per hari, tidak peduli bagaimana perasaan Anda.”
Intinya adalah “tidak banyak” juga bisa berarti ‘tambah’ jika Anda sering melakukannya. Itulah yang dimaksud Marcus ketika dia berkata, “Jangan biarkan imajinasimu dihancurkan oleh kehidupan secara keseluruhan.” Yang harus Anda lakukan, katanya, adalah “bertahanlah pada situasi yang ada.” Dia juga berbicara tentang menyusun kehidupan lewat tindakan demi tindakan—tidak ada seorang pun, katanya, yang dapat menghentikan Anda dari itu.
Tapi, metafora mengenai jalan ini memang bagus. Karena keunggulan adalah sebuah jalan. Ada jalan untuk menjadi penulis atau pengusaha sukses. Untuk mendapatkan promosi atau penghargaan tertentu. Jalan untuk menyelesaikan tugas ini atau proyek itu. Dan bagaimana Anda menempuh jalan apa pun? Dengan langkah demi langkah. Sejumlah mil atau jam per hari.
Supaya bisa unggul dalam segala hal, Anda harus mengambil satu langkah kecil ke langkah kecil lainnya. Satu demi satu. Bahkan ketika Anda tidak menyukainya. Bahkan ketika itu tidak terasa seperti membuat banyak perubahan. Karena nyatanya Anda semakin dekat. Akhirnya, Anda akan tiba dan itu akan jadi luar biasa.
[4] Percaya Pada Proses
“Jangan biarkan imajinasi Anda dihancurkan oleh kehidupan secara keseluruhan… Bertahanlah dengan situasi yang ada.” —Marcus Aurelius
Dalam bidang olahraga, filosofi “percaya pada proses” ditelusuri bermula dari Nick Saban, pelatih terkenal Alabama—mungkin dinasti paling dominan dalam sejarah sepak bola perguruan tinggi. Tapi Nick Saban mendapatkannya dari seorang profesor psikiatri bernama Lionel Rosen selama berada di Michigan State.
Pemahaman Rosen akan hal ini adalah: olahraga itu kompleks. Tidak ada yang memiliki kekuatan otak atau motivasi yang cukup untuk secara konsisten mengelola semua variabel yang terjadi selama satu musim, apalagi permainan. Mereka pikir mereka melakukannya—tetapi secara realistis, mereka tidak melakukannya. Ada terlalu banyak permainan, terlalu banyak pemain, terlalu banyak statistik, gerakan balasan, ketidakpastian, serta distraksi. Selama musim playoff yang panjang, ini menambah beban kognitif yang mustahil.
Tapi, seperti yang ditulis Monte Burke dalam bukunya Saban, Rosen menemukan bahwa rata-rata permainan sepak bola hanya berlangsung selama tujuh detik. Tujuh detik—itu sangat mudah untuk diatur.
Alhasil, Saban mengajari para pemainnya untuk mengabaikan gambaran besar: pertandingan penting, memenangkan kejuaraan, keunggulan lawan yang luar biasa. Sebaliknya, Saban memberi tahu para pemainnya untuk fokus melakukan hal-hal terkecil dengan baik yaitu berlatih dengan upaya penuh, menyelesaikan permainan tertentu, mengonversi satu kepemilikan. Saban memberitahu para pemainnya:
“Jangan berpikir untuk memenangkan SEC Championship. Jangan berpikir tentang kejuaraan nasional. Pikirkan tentang apa yang perlu Anda lakukan dalam latihan ini, dalam permainan ini, saat ini. Itulah prosesnya: Mari pikirkan tentang apa yang bisa kita lakukan hari ini, pada pekerjaan yang ada.”
Dalam kekacauan olahraga, seperti dalam kekacauan kehidupan, proses bisa membuka jalan. Sebuah cara untuk mengubah kekacauan dan kebingungan serta kerumitan menjadi sesuatu yang jelas dan dapat diatur serta sederhana. Pekerjaan saat ini. Proses. Apa pun yang Anda ingin menyebutnya, ingatlah bahwa segala sesuatu dalam hidup dibangun dengan satu tindakan kecil pada satu waktu.
[5] Gunakan Pengingat Fisik
“Tak ada yang membesarkan hati seperti saat kebajikan diperlihatkan [ditunjukkan].” — Marcus Aurelius
Mungkin sekarang ini akan terdengar gila, tetapi di antara orang-orang Stoic di zaman kuno pernah ada ketidaksepakatan yang kuat mengenai apakah para filsuf harus memiliki “ajaran” atau ucapan untuk mengingatkan mereka tentang siapa yang mereka dan apa yang ingin mereka capai.
Para Stoics seperti Aristo, yang hidup sekitar zaman Zeno, percaya bahwa ini adalah kecurangan. Orang bijak, terlatih dengan baik, seharusnya tahu apa yang harus dilakukan dalam setiap dan situasi apa pun. Orang-orang Stoic berikutnya, seperti Seneca, menganggap ini konyol, itulah sebabnya surat-suratnya kepada Lucilius dipenuhi dengan segala macam kutipan, kata-kata mutiara, dan aturan. Marcus Aurelius, yang diakui sebagai penggemar Aristo, tampaknya mengikuti jalan yang mirip dengan Seneca, meletakkan “julukan untuk diri sendiri” dan segala macam ajaran lain untuk hidup.
Di satu sisi, perdebatan ini berlanjut hingga hari ini. Beberapa orang mencibir pepatah dalam self-help dan motivasi dan bahkan yang kami tampilkan di sini, di Daily Stoic. Mengapa kita butuh diingatkan untuk hal-hal seperti itu. Bukankah semua ini sudah jelas? Nyatanya, jika Anda masuk ke ruang ganti dari waralaba olahraga profesional atau program tingkat D-1 elit, Anda akan melihat dindingnya dipasang dengan ajaran dan pengingat (The Pittsburgh Pirates bahkan punya pepatah ini di clubhousenya di Florida: “Bukanlah hal-hal yang membuat kita kesal, tetapi penilaian kita mengenai hal-hal tersebut.” Iowa Football punya: “Ego adalah Musuh” di ruang olahraga mereka.”)
Di podcast Daily Stoic, kami bertanya kepada juara 2x NBA dan 6x All-Star (dan penggemar Stoicism) Pau Gasol tentang peran aturan ini dalam olahraga:
Atlet menghargai petunjuk dan arahan. Serta kutipan yang terasa dekat, yang memiliki pesan, seperti “Pukul batunya”. Sekuat ketahanan Anda, Anda harus terus memukul batu. Itu adalah hal yang besar bagi Spurs. Terus saja memukul batu itu. Jika Anda memukulnya seribu kali atau dua ribu kali, Anda mungkin tidak melihat retakan, tetapi pukulan berikutnya, pukulan berikutnya, batu akan retak. Anda hanya perlu terus melakukannya, terus melakukannya, terus melakukannya. Jadi hancurkan batu itu. Itu adalah sesuatu yang diperoleh banyak pelatih lain dan kemudian dibagikan di ruang ganti mereka.
Pengingat itu penting. Itu bukanlah hal curang. Pengingat membuat Anda lebih baik. Mantra membuat Anda tetap fokus. Totem fisik dapat membuat kebiasaan atau standar yang Anda coba pertahankan menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar ide, dan itu sangat membantu. Hal tersebut memberi Anda sandaran—semacam sandaran untuk mencegah kemerosotan. Salah satu alasan kami membuat Coins di Daily Stoic adalah ketika Anda memiliki sesuatu yang bersifat fisik yang dapat Anda sentuh, itu akan menjadi sandaran Anda. Koin-koin itu dibuat di mint yang sama di mana chip Alcoholics Anonymous pertama ditemukan, dan mereka mewakili ide yang sama. Jika Anda memiliki 10 tahun ketenangan duduk di saku atau menggenggam tangan Anda, kecil kemungkinan Anda akan membuangnya.
[6] Beradaptasi
“Tindakan kita mungkin bisa dihalangi… tetapi tidak ada yang menghalangi niat atau watak kita. Karena kita bisa mengakomodasi dan beradaptasi. Pikiran menyesuaikan dan mengubah tujuannya sendiri menjadi penghalang bagi tindakan kita.” —Marcus Aurelius
Dalam bukunya berjudul Mastery, Robert Greene menceritakan kisah Freddie Roach. Sebelum menjadi pelatih tinju yang hebat, Roach berlatih di bawah pelatih legendaris Eddie Futch dan dipersiapkan untuk menjadi juara tinju. Namun tak lama kemudian, Roach terpaksa pensiun dari tinju.
Seperti yang ditulis Greene di The Daily Laws, Roach “menemukan jalan kembali ke ring karena dia mengerti bahwa apa yang dia sukai bukanlah tinju itu sendiri, tetapi olahraga kompetitif dan menyusun strategi. Dengan berpikir seperti ini, ia dapat menyesuaikan kecenderungannya ke arah baru dalam tinju.”
Kisah Marcus Aurelius serupa. Marcus tidak ingin menjadi kaisar. Itu adalah “tragedi esensial Marcus Aurelius,” tulis penulis biografi Frank McLynn. Marcus ingin menjadi seorang filsuf. Dia pada dasarnya tertutup dan kutu buku. Ketika dia mengetahui bahwa dia telah diadopsi oleh kaisar Hadrian dan akan diangkat menjadi kaisar, dia sedih. Tetapi ketika Greene menulis tentang Roach, Marcus segera menyadari bahwa dia dapat menyesuaikan kecenderungannya dalam peran yang dipaksakan kepadanya. Dan seperti cara Roach menjadi salah satu pelatih tinju terhebat dalam sejarah, Marcus Aurelius menjadi raja filsuf Stoic.
Robert Greene mengukuhkannya menjadi Hukum: Sesuaikan kecenderungan Anda. Jangan memiliki tujuan dan impian yang kaku. Perubahan adalah bagian dari hukum.
[7] Bergaul dengan Orang yang Memantik Hal Terbaik dari Anda
“Kuncinya adalah berteman hanya dengan orang yang bisa memotivasi Anda, yang kehadirannya bisa memantik hal terbaik dalam diri Anda.” — Epictetus
Selama ribuan tahun, kita tahu bahwa manusia banyak dipengaruhi oleh orang yang paling sering bersama kita. “Alam memberi kita persahabatan,” tulis Cicero, “sebagai obat untuk kebajikan, bukan sebagai pendamping kejahatan.” Sementara, Seneca berkata, “Bergaul dengan mereka yang akan membuat Anda menjadi manusia yang lebih baik.” Goethe yang terkenal itu berkata, “Katakan pada saya dengan siapa Anda bergaul dan saya akan memberitahu siapa diri Anda.”
Itu adalah kebenaran yang cukup bisa diamati. Kita menjadi seperti orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersama kita. Itu sebabnya kita harus sangat berhati-hati tentang pengaruh yang kita izinkan masuk ke dalam hidup kita. Jika Anda pernah merasa mandek, terus-menerus tidak mencapai tujuan Anda, memiliki motivasi rendah, kesusahan dalam membuat progres yang Anda tahu mampu Anda lakukan—perhatikan baik-baik orang-orang di sekitar Anda.
Apakah mereka menginspirasi Anda, memvalidasi diri Anda, mendorong Anda jadi lebih baik? Atau mereka justru menyakiti Anda, menyinggung Anda, melemahkan Anda? Apakah mereka orang yang positif, rasional, termotivasi, setia? Atah mereka munafik, palsu, timpang, berpura-pura, rapuh, dan tidak jujur?
Pepatah kuno mengatakan, “Jika Anda tinggal dengan orang lumpuh, Anda akan belajar bagaimana menjadi pincang.” Tetapi, pemikiran mengenai bergaul dengan orang lumpuh punya sisi baik dan buruk. Epictetus terkenal “lumpuh” karena kakinya lumpuh saat menjadi budak. Marcus Aurelius menghabiskan banyak waktu dengan tulisan-tulisan Epictetus. Itu tidak membuatnya lemah—itu justru membuatnya lebih bijak, pekerja keras, lebih ulet, lebih tenang, lebih penyayang. Epictetus memberikan hal-hal itu kepadanya. Seorang budak membentuk seorang raja dan menjadikannya lebih baik.
Jika Anda ingin terhubung dengan komunitas yang akan mendorong Anda menjadi lebih baik, kami ingin mengundang Anda untuk melihat program Daily Stoic Life kami. Ini adalah pertemuan Stoic terbesar di dunia. Orang-orang seperti Anda, berjuang, tumbuh, dan membuat kemajuan yang memuaskan menuju jenis orang yang mereka tahu. Beberapa orang mengejar filosofi dan pengembangan diri sebagai proyek sampingan. Tetapi beberapa memperlakukannya dengan serius, mereka ingin mendalami, dan mereka tahu bahwa cara terbaik untuk belajar adalah dengan mengelilingi diri mereka dengan orang-orang yang berpikiran sama dan orang-orang yang akan mendorong mereka. Peningkatan diri terjadi karena keterlibatan, hasil karena akuntabilitas dan kebijaksanaan karena paparan terhadap orang-orang baru dan ide-ide baru. Itu sebabnya kami membuat Daily Stoic Life. Anda dapat mempelajarinya lebih lanjut di sini.
[8] Jadikan Itu Kenyataan. Tak Peduli Apa pun Usaha yang Dibutuhkan
“Mentimun itu pahit? Buanglah. Ada semak duri di jalan? Kelilingiilah mereka. Hanya itu yang perlu Anda ketahui. Tidak ada lagi.” —Marcus Aurelius
Pada tahun 1932, Amelia Earhart menjadi wanita pertama yang terbang sendiri melintasi Atlantik.
Perjalanan solonya itu terkenal. Apalagi Earhart telah melakukan penerbangan yang sama kurang dari lima tahun sebelumnya. Tidak dapat mencari nafkah sebagai pilot wanita, Earhart bekerja sebagai pekerja sosial. Lalu, suatu hari telepon berdering. Di ujung telepon ada tawaran yang cukup ofensif: Dia bisa menjadi wanita pertama yang terbang melintasi Atlantik, tetapi dia tidak akan benar-benar menerbangkan pesawat dan dia tidak akan dibayar apa pun.
Tebak apa yang dia katakan pada tawaran itu? Dia berkata ya. Karena itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang menentang peluang. Begitulah cara orang-orang yang menjadi hebat dalam berbagai hal—entah itu terbang atau menantang stereotip gender—lakukanlah. Mereka mulai di mana saja. Bagaimanapun kondisinya. Mereka tidak peduli apakah kondisinya sempurna atau jika mereka diremehkan. Mereka menelan harga diri mereka. Mereka melakukan apa saja. Karena mereka tahu bahwa begitu mereka memulai, jika mereka bisa mendapatkan momentum, mereka bisa membuatnya berhasil. Dan mereka dapat membuktikan bahwa orang-orang yang meragukan mereka itu salah, seperti yang dilakukan Earhart.
“Podium dan penjara masing-masing adalah tempat, yang satu tinggi dan yang lainnya rendah,” kata Epictetus. “Tapi di tempat mana pun kebebasan memilih Anda dapat dipertahankan jika Anda menginginkannya.”
Dalam perjalanan menuju tempat yang kita tuju atau tempat yang kita inginkan, kita harus melakukan hal-hal yang tidak ingin kita lakukan. Sering kali ketika kita baru memulai, pekerjaan pertama kita “beritahu mana sapunya”, seperti yang dikatakan oleh Andrew Carnegie. Tidak ada yang memalukan tentang menyapu. Ini hanyalah kesempatan lain untuk jadi unggul—dan untuk belajar.
Raih kesempatan itu. Semua. Apa pun itu.
Buktikan jika mereka yang ragu (pada Anda) itu salah.
IV. Kutipan Stoic Terbaik tentang Penetapan Target
“Tapi baik banteng maupun orang yang berjiwa mulia tidak akan menjadi dirinya sekaligus … Kita harus menjalani pelatihan musim dingin yang keras dan tidak terburu-buru melakukan hal-hal yang belum kita persiapkan.” — Epictetus
“… Pemanah harus tahu apa yang ingin dia ingin bidik; oleh karenanya, ia harus membidik dan mengontrol senjata dengan keahliannya.” —Seneca
“Rencana kita gagal karena tidak memiliki tujuan. Ketika seseorang tidak tahu pelabuhan apa yang dia buat, tidak ada angin yang menguntungkan baginya.” —Seneca
“Progres tidak dicapai oleh keberuntungan atau ketidaksengajaan, tetapi oleh kerja keras Anda tiap hari.” —Epictetus
“Fokus pada tugas hari ini, dan Anda tidak perlu terlalu bergantung pada tugas di hari esok. Saat kita menunda, hidup bergerak semakin cepat.” —Seneca
“Kesejahteraan diwujudkan dengan langkah-langkah kecil, tetapi sebenarnya itu bukan hal kecil.” —Zeno
“Langkah pertama: Jangan cemas… Langkah kedua: Berkonsentrasilah pada apa yang harus Anda lakukan. Perbaiki pandangan Anda pada hal itu.” —Marcus Aurelius“Berkonsentrasilah setiap menit seperti seorang Romawi—seperti seorang pria—untuk melakukan apa yang ada di depan Anda dengan keseriusan yang tepat dan tulus, dengan lembut, rela, dengan keadilan. Dan untuk membebaskan diri Anda dari semua gangguan lainnya. Ya, Anda bisa—jika Anda melakukan segalanya seolah-olah itu adalah hal terakhir yang Anda lakukan dalam hidup Anda, dan berhenti tanpa tujuan, berhentilah membiarkan emosi Anda mengesampingkan apa yang dikatakan pikiran Anda kepada Anda.” —Marcus Aurelius.
Sumber: Dailystoic