Ada banyak metode di luar sana yang bisa membantu kita tetap teratur dengan jadwal. Tetapi, metode mana yang kira-kira bisa diterapkan? Selama empat hari, saya telah mencoba empat cara dalam mengorganisir to-do list saya. Saya mengamati productivity dan tingkat stres secara menyeluruh untuk melihat mana metode yang paling berhasil.
Anda pasti tahu bukan hantu hijau berlendir dari film seri Ghostbusters? Hantu yang melayang-layang memakan semua hal yang dilihatnya?
Itu mengingatkan saya pada to-do list saya. Setiap hari, to-do list itu terus bertambah dan bertambah di saat saya mencoba mengendalikannya. (Kira-kira adakah yang punya proton pack yang bisa saya pakai?).
Tidak semua hal bisa berjalan sesuai yang dibayangkan. Otak saya mengalami perubahan selama tahun pertama saya di kampus. Tiba-tiba, rasanya sulit mengingat berbagai hal sebagaimana biasanya. Ada banyak yang perlu diingat: pekerjaan rumah, magang, ekstrakurikuler, bahkan tentang di mana saya menaruh kunci mobil. Dalam waktu inilah saya mulai mencoba berbagai planner dan to-do list.
Sayangnya, saya tidak pernah sepenuhnya menguasai yang namanya “productivity”, setidaknya tidak dengan cara yang kohesif. Ada banyak metode di luar sana untuk membantu kita tetap teratur dengan jadwal, dan selama bertahun-tahun, saya hampir sudah mencoba semuanya: menulis to-do list di buku catatan, bullet journal, planner, aplikasi ponsel, dan ratusan Post-it dengan warna-warna berbeda yang tertempel di meja saya.
Tapi… belum ada yang berhasil.
Tahun ini, saya putuskan cukup sudah. Saya mulai menjelajahi arsip di website HBR untuk riset mana metode to-do list yang terbaik dan saya berjanji akan mencoba empat yang paling saya favoritkan.
Selama empat hari, saya mencoba empat strategi yang berbeda. Setiap pagi, saya mulai mengatur untuk menyelesaikan 12 tugas yang membutuhkan usaha, waktu, dan fokus yang sama, dan delapan di antaranya termasuk yang penting untuk diselesaikan sebelum jam 5 sore. Jumlah meeting yang saya lakukan dari hari Senin dan Kamis memang sedikit berbeda (mungkin saja ini menjadi salah satu faktor). Pada akhirnya, saya mengukur semua productivity dan tingkat stres yang saya alami.
Senin: Tak ada list apa pun (daftar), hanya sebuah kalender.
Sebagai seorang yang sering dihantui oleh to-do listnya sendiri, ide untuk merobek to-do list jadi serpihan-serpihan kecil terdengar menarik—jadi, ketika saya menjumpai sebuah artikel yang menyarankan untuk melakukan hal itu, saya merasa sangat senang. “Berhentilah membuat to-do list,” begitulah yang ditulis oleh penulis Daniel Markovitz. “Daftar-daftar itu hanya menjebak Anda dalam kegagalan dan frustasi.”
Ide penulis tersebut sangat blak-blakan. Dibandingkan bergantung pada Post-it atau aplikasi productivity, gunakan kalender digital untuk mengelola waktu Anda. Untuk tiap tugas yang perlu Anda selesaikan, perkirakan berapa lama Anda butuh menyelesaikannya, dan blokir waktu Anda saat itu untuk hal yang lain. Markovitz berpendapat jika metode ini membantu Anda memprioritaskan pekerjaan dengan lebih penting, memberikan deadline bawaan, dan mencegah Anda memprioritaskan pekerjaan yang super mudah.
Saya pun mencobanya. Di akhir hari Jum’at, saya mengamati daftar terakhir saya dan menjadwalkan semua tugas yang ingin saya selesaikan di hari Senin. Saya sisakan waktu untuk makan siang, meninjau email, dan tugas-tugas dadakan yang bisa saja muncul tiba-tiba.
Dengan mencatat pekerjaan di kalender saya sebelumnya, hal ini memberi saya rasa kendali yang nyata atas waktu saya. Namun, seiring akhir pekan tiba, saya mulai panik. Sebagai orang yang cemas, “Sunday Scaries” mulai saya rasakan di hari Sabtu sekitar jam 2 siang. Saya terus-menerus membuka Outlook untuk melihat apa yang akan saya lakukan. Setiap tugas seolah menatap saya melalui layar dan berbisik “segera.”
Begitu Senin pagi tiba, saya mencoba bersiap-siap. Ketika *ding* pertama berbunyi, memberi tahu saya bahwa itu adalah tugas saya, saya siap untuk memulai. Saya tidak perlu menggunakan kekuatan otak apa pun untuk mencari tahu tugas apa yang harus diselesaikan (rasanya sangat melegakan, terutama pada Senin pagi), dan saya menyelesaikannya dengan waktu luang 10 menit. Waktu yang saya blokir di kalender juga mampu mengurangi stres apa pun yang biasanya saya rasakan untuk menanggapi email atau banyak tugas. Oleh karenanya, saya harus memindahkan beberapa pekerjaan karena perubahan jadwal di menit terakhir.
Bagian yang paling tidak saya sukai dari metode ini: Tidak melakukan checklist (memberikan tanda centang) di tugas saya yang sudah selesai. Memberikan checklist tugas sebenarnya benar-benar mampu melepaskan dopamine di otak kita, neurotransmitter yang membuat kita merasa ringan dan bahagia—dan WOW, apakah saya merindukan perasaan itu?
Tugas yang diberikan: 12
Tugas yang selesai: 8
Pro:
- Membatasi keragu-raguan
- Bagus untuk menjadwalkan keseimbangan hidup dan pekerjaan
- Membuat Anda tetap patuh pada tugas
Kontra:
- Menakutkan jika dilihat
- Tugas atau pekerjaan perlu disusun ulang jika ada perubahan jadwal
- Tanpa melakukan checklist saat menyelesaikan tugas (atau dopamine)
Metode ini cocok untuk… orang-orang yang terstruktur, yang tidak takut dengan kalender yang dipenuhi tugas, atau orang yang menyukai perencanaan ke depannya.
Apakah saya akan melakukannya lagi? Meskipun saya menyukai ide merobek to-do list saya, jika saya mencoba metode ini lagi, saya akan melakukannya dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Saya akan menyimpan to-do list tertulis dan menjadwalkan item-item pekerjaan di to-do list itu kalender saya setiap pagi. Dengan begitu, saya mendapatkan struktur tugas dengan metode time-boxing dan saya mendapat kepuasan dengan melakukan checklist di kertas.
Selasa: Buat list atau daftar yang harus dikerjakan tetapi prioritaskan hanya “satu tugas” dari daftar tersebut.
Otak kita mulai kewalahan ketika kita memiliki lebih dari tujuh opsi untuk dipilih. Bagi saya, ini adalah masalah yang terjadi secara berulang. Terkadang to-do list saya sangat panjang sehingga saya benar-benar menutupnya. Alih-alih memutuskan tugas mana yang harus diselesaikan, saya menatap ke kejauhan dan memikirkan hal-hal di luar pekerjaan. (Jika alien ada, mengapa mereka belum menghubungi kita?).
Taktik yang saya coba di hari Selasa, yang saya sebut metode “kerjakan satu tugas”, seharusnya membantu saya mengatasi masalah ini. Ini adalah strategi yang disarankan dalam artikel Peter Bergman, “Your To-Do List Is, in Fact, Too Long” (“To-Do List Anda, Sebenarnya, Terlalu Panjang”). Konsep intinya adalah: Simpan to-do list Anda, tetapi gunakan hanya sebagai referensi—bukan sesuatu untuk dikerjakan. Setiap kali Anda ingin mengerjakan suatu tugas, tulislah di Post-It dan tempelkan di tempat yang dapat Anda lihat. Kemudian, sembunyikan daftar lengkap tersebut dan fokus. Setelah Anda menyelesaikan tugas yang Anda pilih, coret dari daftar Anda, dan mulai lagi.
Intinya di sini adalah bahwa dengan memilih satu tugas pada satu waktu, Anda lebih mungkin untuk menindaklanjutinya, daripada melompat setengah hati dari satu tugas ke tugas lain (atau justru hanya menatap ke luar angkasa).
Tiba di hari Selasa, saya memilih tugas pertama saya: melakukan riset ide untuk meeting presentasi kami yang akan datang. Saya menulisnya di Post-it, menyembunyikan daftar lengkap dari tugas saya, dan menempelkan Post-it itu ke dinding di depan saya, di tempat yang akan tetap terlihat. Setiap kali pikiran saya mulai mengembara, mata saya kembali tertuju pada catatan itu. Hal ini sedikit mengingatkan saya tentang meditasi: ketika pikiran Anda mulai melayang, Anda perlu kembali merasakan sensasi napas Anda yang bergerak masuk dan keluar, dan kembali berfokus pada saat ini. Saya memikirkan Post-it sebagai “napas saya” dalam skenario ini. Kehadiran fisiknya membantu saya berkonsentrasi pada pekerjaan yang ada.
Bagian terbaik? Setelah menyelesaikan setiap tugas, saya dengan senang hati melepas Post-it dari dinding DAN mencoretnya dari daftar saya. Dopamine ganda!
Tugas yang diberikan: 12
Tugas yang selesai: 11
Pro:
- Membatasi keragu-raguan
- Bermanfaat untuk fokus yang lebih tinggi
- Tingkat pemenuhan tugas tergolong tinggi
- DOPAMINE GANDA
Kontra:
- Sulit untuk disesuaikan dengan pekerjaan berupa meeting
Metode ini bagus untuk… orang yang suka melamun, pekerja multi-tasking, atau orang yang mudah terdistraksi perhatiannya.
Apakah saya akan melakukannya lagi? Sangat. Dibandingkan dengan taktik kalender, saya memang mengalami kesulitan mengelola waktu saya menjelang meeting dan menghindari interupsi. Tetapi, metode ini terbukti lebih berguna daripada yang sebelumnya, setidaknya untuk orang seperti saya, yang memiliki kesulitan untuk tetap fokus. Meski hanya satu hari, saya lebih percaya diri dengan pilihan saya, lebih produktif, dan meskipun saya juga menghadiri lebih banyak meeting daripada hari Senin, saya dapat menyelesaikan lebih banyak dan memulai tugas yang telah saya tunda.
Rabu: Gunakan tasks manager digital.
Beri tahu saya jika Anda juga mengalami hal ini karena inilah terjadi pada saya sepanjang waktu: Saya dengan santai menggulir layar saat membuka app store di ponsel ketika saya melihat aplikasi task manager baru yang begitu bersinar. Saya mengunduhnya dengan ekspektasi tinggi, berharap itu akan membantu mengelola kehidupan saya. Dan itu benar! Selama sehari… sampai saya lupa jika aplikasi itu ada dan saya tidak pernah membukanya lagi.
Namun, pada hari Rabu, tampaknya akan jadi hari yang pas untuk memberi task manager digital kesempatan. Lagi pula, to-do list digital, bila digunakan dengan benar, memiliki daya pikat yang cukup besar. Aplikasi yang terbaik bahkan memungkinkan Anda untuk menjadwalkan tugas, menyinkronkannya dengan email Anda, dan membuat beberapa daftar sekaligus.
Untuk percobaan ini, saya memutuskan untuk menggunakan aplikasi bernama Todoist. Saat Anda mencari di Google “task manager digital terbaik”, Todoist adalah salah satu yang pertama muncul. Tapi kita semua tahu mesin pencari tidak selalu tahu segalanya, jadi saya melakukan sedikit riset untuk memastikan saya membuat pilihan yang tepat. Menurut The Muse dan LifeHack.org, pilihan saya memang tepat.
Todoist memiliki semua yang saya cari dalam planner digital: penyortiran proyek (yang memungkinkan Anda untuk mengatur tugas ke dalam kelompok yang berbeda), penjadwalan tugas (sehingga Anda dapat melakukan beberapa perencanaan jangka panjang), dan tugas berulang (bagus untuk hal-hal yang harus Anda lakukan lakukan setiap hari). Banyak aplikasi lain, seperti Trello dan Asana, yang memiliki fungsi serupa, tetapi saya dapat mengujinya secara gratis menggunakan Todoist.
Untuk mengoptimalkan pengalaman saya, saya menggunakan setiap alat unik yang ditawarkan Todoist—dan itu berbayar.
Pertama, saya memasukkan setiap tugas yang terpikirkan oleh saya ke dalam aplikasi. Kemudian, saya menggunakan fitur penyortiran proyek untuk mengaturnya ke dalam kelompok: media sosial, artikel, video, dll. Fitur pengkodean warna memungkinkan saya untuk memberi makna pada setiap tugas dan memprioritaskan proyek saya yang paling mendesak. Saya bertanya pada diri sendiri, “Apa yang sebenarnya akan saya selesaikan hari ini?” Jika saya tidak berencana untuk menyelesaikannya, saya menggunakan fungsi penjadwalan untuk memberikan tanggal jatuh tempo nantinya.
Terakhir, saya mengatur tugas berulang saya. Sungguh melegakan, mengetahui bahwa saya tidak perlu menjadwalkannya lagi—aplikasi akan melakukannya untuk saya. (Meskipun, Anda dapat melakukan hal serupa di sebagian besar kalender digital.)
Berpikir secara strategis tentang apa yang dapat saya capai dalam kerangka waktu tertentu memungkinkan saya untuk menghindari beberapa keragu-raguan saya yang biasanya saya alami dan kecemasan yang menyertainya. Daripada menatap daftar 30 tugas yang akan saya selesaikan dalam lima jam ke depan, saya mempersempitnya menjadi 12 tugas teratas, yang jauh lebih mudah untuk dipahami. Aplikasi ini juga memungkinkan saya untuk menyeret tugas ke atas dan ke bawah dan menyusun ulang berdasarkan prioritas sepanjang hari.
Tugas yang diberikan: 12
Tugas yang selesai: 11
Pro:
- Sangat bagus untuk mengelola banyak tugas (termasuk tugas jangka pendek dan panjang)
- Menjadwalkan tugas berulang, memberikan ruang untuk memikirkan tugas lain
- Menyelamatkan pohon
Kontra:
- Sulit melacak tugas yang berlangsung
- Lebih sedikit dopamine
Metode ini bagus untuk… techie atau orang yang menyukai teknologi, orang yang suka menggunakan ponsel mereka dan memiliki BANYAK tugas untuk diatur, atau yang sedang mengerjakan berbagai proyek.
Apakah saya akan melakukannya lagi? Saya menyukai fungsionalitas unik yang ditawarkan aplikasi digital. Tetapi lebih sulit untuk melacak semua yang telah saya selesaikan—begitu Anda menyelesaikan tugas, daftar itu akan menghilang begitu saja. (Versi berbayar Todoist memberikan solusi untuk ini.) Mengklik tanda centang di layar juga kurang memuaskan daripada mencoret tugas dari daftar di kertas saya—faktor yang, tampaknya, sangat penting bagi saya. Terakhir, aplikasi digital dapat terlihat seperti versi glamor dari kalender digital: lebih mudah digunakan dan lebih menyenangkan secara visual. Tetapi pada akhirnya, ia menawarkan alat serupa. Secara keseluruhan, saya masih lebih suka daftar kertas daripada daftar digital.
Kamis: Buat tiga daftar.
Pada hari Kamis, saya menjadi sedikit liar. Saya membuat TIGA to-do lists.
Dalam artikelnya, “Taming the Epic To-Do List” (“Menjinakkan To-Do List Epik”), coach eksekutif Allison Rimm menulis bahwa satu daftar tugas tidak cukup untuk mengelola kehidupan kita yang sangat rumit. “Daftar kita penuh dengan prioritas mendesak yang harus segera kita selesaikan, tugas penting yang takut kita lupakan karena tidak memiliki tanggal jatuh tempo yang spesifik, dan tugas dasar yang kita tambahkan ke daftar karena membuat kita merasa senang untuk memeriksa sesuatu,” dia menjelaskan.
Pada dasarnya, kita memiliki lebih banyak tugas dalam to-do list untuk diselesaikan daripada yang kita bayangkan. Ketika ini terjadi, kita terjebak dalam siklus yang tidak pernah berakhir untuk menyelesaikan yang paling mudah dan paling mendesak, dan gagal menyelesaikan yang paling penting. Alih-alih mengerjakan satu daftar panjang, Rimm menyarankan untuk menyimpan tiga daftar. Daftar #1 adalah untuk tugas-tugas penting yang tidak sensitif terhadap waktu (atau hal-hal yang perlu Anda lakukan tetapi tidak harus hari ini). Daftar #2 adalah tugas yang harus Anda selesaikan hari ini. Daftar #3 adalah untuk tugas-tugas yang telah ada di to-do list Anda terus menerus, tetapi tidak akan pernah selesai.
Setelah Anda memiliki ketiga daftar tersebut, mulailah dengan daftar #2. Jadwalkan tugas yang harus Anda selesaikan hari ini di kalender Anda (mirip dengan apa yang saya lakukan pada hari Senin). Kemudian, ambil daftar #1 dan jadwalkan tugas-tugas tersebut untuk tanggal-tanggal mendatang. Dengan menjadwalkan tugas Anda berdasarkan prioritas, Anda mengakui bahwa waktu Anda adalah sumber daya yang berharga dan terbatas. Anda lebih mungkin menyelesaikan pekerjaan yang berarti dan membuang pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Menulis daftar #3 sejauh ini menjadi bagian terbaik dari taktik ini. Rasanya memuaskan untuk mengakui, “Saya tidak akan pernah menyelesaikannya.” Menjadwalkan tugas jangka panjang memberi saya rasa kepuasan yang sama, dan rasa cemas saya sedikit berkurang jikalau saya melupakannya.
Menjadwalkan daftar #2 jauh lebih menantang. Entah itu dua meeting tambahan di kalender saya atau semangkuk makanan pedas yang menenangkan yang saya makan untuk makan siang, taktik ini tidak memberi saya dukungan untuk lebih leluasa sepanjang hari seperti yang dimiliki beberapa metode lain. Saya membutuhkan dukungan motivasi ekstra untuk membantu saya menyelesaikan tugas-tugas jangka pendek, dan pendekatan ini tampaknya lebih cocok untuk jangka panjang.
Tugas yang diberikan: 12
Tugas yang selesai: 8
Pro:
- Membantu Anda tetap teratur
- Mengerucutkan daftar tugas Anda
- Meredakan kecemasan mengenai proyek masa depan
Kontra:
- Semua penjadwalan itu bisa membuat kewalahan
- Tidak membantu saya termotivasi saat ini
- To-do list mudah hilang (jika Anda memilih metode itu)
Metode ini bagus untuk… orang yang memiliki prioritas yang saling bersaing, yang suka mencoret item pekerjaan yang mudah dari daftar mereka, atau yang tidak membutuhkan banyak dukungan untuk tetap fokus.
Apakah saya akan melakukannya lagi? Saya pribadi tidak akan menggunakan metode ini dalam jangka panjang. Saya suka menuliskan daftar saya di atas kertas, dan melacak ketiganya itu sulit. Namun, ada satu aspek dari metode ini yang jenius, yaitu: Daftar #3. Buka to-do list Anda sekarang dan buat daftar semua tugas yang mungkin tidak akan pernah Anda selesaikan. Anda tidak akan menyesalinya.
Apa Kesimpulan Saya?
Metode “lakukan satu tugas” membuat saya merasa lebih produktif dan terkendali daripada yang lain. Metode itu benar-benar yang terbaik untuk menyelesaikan tugas-tugas saya yang paling mendesak. Ke depannya, saya akan menggabungkannya dengan Todoist, pengelola tugas digital saya, yang lebih baik untuk menjadwalkan tugas-tugas penting yang akan jatuh tempo.
Saya akui: Kesimpulan saya sepenuhnya didasarkan pada preferensi, kelebihan, dan kekurangan saya sendiri. Tidak ada satu metode yang benar-benar lebih baik dari yang lain—apa yang berhasil untuk Anda akan bergantung pada kebiasaan dan apa yang Anda coba selesaikan. Jadi lakukan percobaan! Dan pastikan untuk meninggalkan beberapa ruang kosong di kalender Anda untuk bersantai. (Burnout itu benar-benar nyata.)Ingatlah: Jika Anda tidak menyelesaikan semua yang ada di to-do list Anda hari ini, selalu ada hari esok, atau lusa, atau esoknya lagi.
Sumber: HBR (Kelsey Alpaio, 14 Januari 2021)