Jika saya harus memilih satu hal yang paling sering dikomplain oleh para pimpinan dan manajer, maka itu adalah kurangnya waktu. Waktu adalah tekanan konstan, penguntit diam-diam dalam kehidupan yang sibuk ini. Terlalu sedikit waktu yang ada untuk mencapai target, mengontrol staf, meluangkan waktu bersama dengan keluarga, atau untuk merefleksikan kehidupan mereka.
Akan selalu jadi hal yang menarik melihat apa yang terjadi ketika para eksekutif dipaksa untuk mengambil jeda dari tekanan sehari-hari, seperti yang saya lakukan dalam program residensial baru-baru ini untuk 12 eksekutif. Bergegas makan malam pada malam pertama, banyak yang terlihat lelah dan tertekan, dengan ponsel menempel di telinga atau BlackBerry di tangan. Beberapa orang mencoba menyingkirkan teknologi selama makan malam, tetapi kebanyakan berakhir menaruh ponsel di meja makan dan mengecek email sepanjang malam. Percakapan yang terjadi terasa kaku dan membosankan, namun tak ada yang terlihat peduli dengan pelanggaran sosial atau fakta bahwa tak ada satu pun yang tertarik dengan orang di sebelah mereka.
Hari selanjutnya, kami langsung tiba pada intinya. Benar, kami berada di bawah tekanan. Benar, sangat sulit mengambil 3 hari libur dari kantor. Benar, beberapa hal bisa saja berjalan tidak sebagaimana mestinya saat mereka pergi—tapi, apa sebenarnya yang terjadi di sini? Apakah mereka tidak melihat inti permasalahannya? Apakah mereka bekerja secara efektif? Apakah tim mereka bahagia? Apakah mereka menikmati hidupnya?
Atau apakah mereka menderita penyakit terburu-buru? Pandangan kosong itu berubah menjadi anggukan, membenarkan hal tersebut selagi kami menjelaskan gejala-gelajanya: Keterikatan fisik pada ponsel, mengirim email sambil menyeberang jalan, berulang kali memencet tombol elevator selama 3 detik, waktu yang sama yang dibutuhkan pintu elevator tertutup, melakukan banyak hal sambil sikat gigi. Mereka pun langsung memahaminya.
Lalu, apa konsekuensi dari penyakit terburu-buru ini? Mereka hanya bicara hanya untuk menarik perhatian singkat, kemampuan komunikasi yang buruk, tingkat kecemasan dan stres yang meningkat, fokus kepada detail yang berlebihan, gangguan pada hubungan (pekerjaan dan personal), dan berkurangnya keefektifan sebagai manajer.
Permasalahan besar tersebut mengharuskan orang untuk lebih santai. Kemudian, mulai untuk bekerja mengontrol diri sendiri. Cara terbaik untuk hal ini adalah dengan melakukan survei yang dijuluki ‘360 degree feedback’. Para eksekutif bisa melihat bagaimana persepsi mereka selaras dengan bawahan, rekan kerja, dan atasan secara langsung. Beberapa mendapatkan hasil yang menarik. Namun, biasanya survei tersebut mengungkap kalau mereka tidak terlalu strategi dan sensitif seperti yang mereka pikirkan. Feedback tersebut memang penting, tetapi waktu yang dihabiskan untuk refleksi lah yang sangat penting untuk pengembangan mereka. Dalam kata lain, pada situasi mana atau dengan siapa mereka akan jadi lebih strategis dan peka? Apa yang menghentikan mereka dari tindakan strategis dan sensitif? Dan apa yang mungkin mereka lakukan untuk mengubah perilaku tersebut?
Pada saat inilah kesadaran diri kalau penyakit terburu-buru itu sudah luntur. Mereka mulai bekerja dalam level yang berbeda. Waktu mulai terbuka dan mereka mulai berfokus pada hal yang benar-benar penting. Kenapa mereka melakukan pekerjaannya? Apa arti keluarga bagi mereka? Apa hal yang mereka sukai untuk dilakukan? Ke mana mereka ingin pergi? Hilang sudah wajah kesal, gestur tubuh yang tegang, ketukan kaki, dan percakapan canggung. Berganti dengan energi dengan wajah yang lebih bersinar, pundak yang lebih relaks, dan orang yang mulai terikat satu sama lain.
Di dunia di mana kita didorong oleh pekerjaan dan profit, ada banyak tulisan yang membahas mengenai hal apa yang perlu dilakukan dan dipikirkan oleh eksekutif untuk bisa sukses, tetapi hanya sedikit yang membahas mengenai bagaimana mereka seharusnya menjadi eksekutif. Untuk sepenuhnya bekerja efektif, pemimpin dan manajer harus memahami diri mereka. Mundur sebentar dan merefleksikan diri mereka—jabatan, cara bekerja, asumsi, dan hidup mereka. Namun, tetap saja, dunia korporat hanya memberikan sedikit waktu untuk hal ini, yang membuat para pimpinan dan manajer sering kali bergantung pada panutan mereka atau teknik orang lain dibandingkan memahami diri mereka sendiri.
Salah satu konsultan yang mendorong para eksekutif untuk beralih lebih fokus pada diri mereka adalah Jagdish Parikh, seorang pebisnis India dan asisten profesor di INSEAD, sekolah bisnis Perancis. Dia meminta para pimpinan dan manajer untuk mempertimbangkan bagan organisasi pribadi: CEO (diganti dengan ‘diri sendiri’) harus mengontrol departemennya (pikiran, tubuh, dan emosi) dengan baik untuk bisa bekerja menjadi lebih efektif. Hal ini pun membawa pada pertanyaan penting: jika mereka tidak dapat melakukan hal ini, bisakah mereka—atau haruskah mereka—memimpin atau mengontrol orang lain?
Sumber: Harvard Business Review (Gill Corkindale, 17 Mei 2007)