Revolusi Performance Management (Manajemen Kinerja)

Ketika Brian Jensen memberi tahu audiensnya yang merupakan para HR eksekutif jika Colorcon tak lagi peduli dengan review tahunan, mereka pun terkejut. Ini terjadi di tahun 2002, selama masa jabatannya sebagai kepala bagian HR global di perusahaan pembuat obat tersebut. Dalam presentasinya di Wharton School, Jensen menjelaskan jika Colorcon telah menemukan cara yang lebih efektif untuk meningkatkan tindakan yang diinginkan dan mengelola kinerja, yaitu: Para supervisor memberikan feedback langsung kepada orang-orang, mengaitkannya dengan tujuan masing-masing individu, dan membagikan sedikit bonus mingguan kepada karyawan mereka yang mereka lihat melakukan pekerjaan dengan baik. 

Saat itu gagasan untuk meninggalkan proses penilaian tradisional dan semua yang berhubungan dengan penilaian tersebut terlihat menyeleweng. Tapi sekarang, menurut beberapa perkiraan, lebih dari sepertiga perusahaan AS melakukan hal itu. Dari Silicon Valley hingga New York, dan di kantor-kantor di seluruh dunia, perusahaan mengganti review tahunan dengan check-ins secara informal antara manajer dan karyawan.

Seperti yang bisa Anda duga, perusahaan teknologi seperti Adobe, Juniper Systems, Dell, Microsoft, dan IBM telah lebih dulu menjadi pionir. Namun, mereka telah bergabung dengan sejumlah perusahaan jasa profesional (Deloitte, Accenture, PwC), perusahaan-perusahaan yang lebih dulu menggunakan cara tersebut di bidang lain (Gap, Lear, OppenheimerFunds), dan bahkan General Electric, perusahaan yang jadi panutan lama terkait traditional appraisal (penilaian dengan cara tradisional).

Tidak diragukan lagi, memikirkan ulang performance management merupakan agenda utama banyak tim eksekutif, tetapi apa yang mendorong perubahan ke arah ini? Banyak faktor. Dalam artikel terbaru untuk People + Strategy, seorang manajer Deloitte menyebut proses review sebagai “investasi 1,8 juta jam di seluruh perusahaan yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan bisnis.” Seorang penulis bisnis di Washington Post menyebutnya sebagai “rite of corporate kabuki” yang membatasi kreativitas, menghasilkan tumpukan dokumen, dan tidak memiliki tujuan nyata. Yang lain menggambarkan review tahunan sebagai praktik abad terakhir dan menyalahkan hal tersebut karena kurangnya kolaborasi dan inovasi. Para atasan juga akhirnya mengakui bahwa baik supervisor maupun bawahan membenci proses penilaian atau appraisal—masalah tahunan yang terasa lebih mendesak sekarang karena pasar tenaga kerja meningkat dan kembalinya kekhawatiran tentang retensi.

Tetapi batasan terbesar dari review tahunan dan apa yang kami amati sebagai alasan utama semakin banyak perusahaan meninggalkan hal tersebut adalah: Dengan fokus utama mereka pada penghargaan dan hukuman finansial dan struktur akhir tahun mereka, mereka meminta pertanggungjawaban orang atas tindakan masa lalu dengan mengorbankan peningkatan performance karyawan saat ini dan pengembangan bakat untuk masa depan, yang keduanya sangat penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan. Sebaliknya, diskusi reguler mengenai performance dan pengembangan mengubah fokus untuk membangun tenaga kerja yang dibutuhkan perusahaan Anda agar kompetitif baik hari ini maupun tahun-tahun mendatang. Josh Bersin, peneliti bisnis, memperkirakan bahwa sekitar 70% perusahaan multinasional bergerak ke arah model ini, meskipun mereka belum sempurna menggunakan model tersebut.

Ketegangan antara pendekatan tradisional dan pendekatan yang lebih baru berakar dari perdebatan yang sudah berlangsung lama mengenai pengelolaan orang: Apakah Anda “mendapatkan yang sesuai” saat mempekerjakan karyawan Anda? Haruskah Anda lebih berfokus untuk memotivasi karyawan yang kuat dengan uang dan menyingkirkan karyawan yang lemah? Atau apakah karyawan mudah tunduk? Bisakah Anda mengubah cara mereka membawa diri melalui pembinaan dan manajemen yang efektif dan penghargaan intrinsik seperti personal growth dan rasa kemajuan dalam pekerjaan?

Dengan traditional appraisals, pendulum telah berayun terlalu jauh ke arah sudut pandang kinerja sebelumnya yang lebih transaksional, yang lebih sulit untuk didukung di era inflasi rendah dan anggaran pembayaran jasa yang kecil. Mereka yang masih memegang sudut pandang itu menentang fokus baru pada peningkatan dan pertumbuhan daripada pertanggungjawaban. Namun, perspektif baru sepertinya tidak akan muncul begitu saja karena, seperti yang akan kita bahas, hal ini didorong oleh kebutuhan bisnis, bukan oleh SDM.

Namun, pertama-tama, mari kita pahami bagaimana kita sampai pada titik ini—dan bagaimana perusahaan berjalan dengan pendekatan baru.

Bagaimana Kita Sampai di Titik Ini 

Konteks sejarah dan ekonomi telah memainkan peran besar dalam evolusi performance management selama beberapa dekade. Ketika human capital berlimpah, fokusnya ada pada orang mana yang harus dilepaskan, mana yang harus dipertahankan, dan mana yang harus dihargai—dan untuk tujuan itu, traditional appraisals (dengan penekanannya pada pertanggungjawaban individu) mampu bekerja dengan baik. Namun, ketika talenta tidak banyak tersedia, seperti sekarang ini, mengembangkan kemampuan orang menjadi perhatian yang lebih besar—dan perusahaan harus menemukan cara baru untuk memenuhi kebutuhan itu.

Dari pertanggungjawaban ke perkembangan. 

Sistem appraisal atau penilaian dapat ditelusuri kembali pada sistem “peringkat prestasi” militer AS, yang dibuat selama Perang Dunia I untuk mengidentifikasi orang-orang yang berkinerja buruk yang perlu dikeluarkan atau dipindahkan. Setelah Perang Dunia II, sekitar 60% perusahaan AS menggunakannya (pada 1960-an, mendekati 90%). Meskipun aturan senioritas menentukan kenaikan gaji dan promosi untuk pekerja yang berserikat, standar prestasi yang kuat berarti prospek kemajuan yang baik bagi manajer. Setidaknya pada awalnya, meningkatkan performance pernah dipikirkan.

Dan kemudian kekurangan besar pada bakat manajerial menyebabkan pergeseran prioritas organisasi: Perusahaan mulai menggunakan penilaian untuk mengembangkan karyawan menjadi supervisor, terutama dari manajer menjadi eksekutif. Dalam artikel HBR 1957 yang terkenal, psikolog sosial Douglas McGregor berpendapat bahwa para bawahan, dengan feedback dari atasan, harus membantu menetapkan tujuan performance mereka dan menilai diri mereka sendiri—sebuah proses yang akan membangun kekuatan dan potensi mereka. Pendekatan “Teori Y” ini terhadap manajemen—yang nantinya istilah tersebut ia ciptakan—mengasumsikan bahwa karyawan ingin berkinerja baik dan akan melakukannya jika didukung dengan benar. (“Teori X” berasumsi bahwa Anda harus memotivasi orang dengan imbalan dan hukuman materi.) McGregor mencatat satu kelemahan pendekatan yang dia anjurkan ini yaitu: Melakukannya dengan benar akan membutuhkan waktu beberapa hari bagi manajer untuk setiap bawahan setiap tahun.

Pada awal tahun 1960-an, perusahaan-perusahaan menjadi begitu terfokus pada pengembangan bakat masa depan sehingga banyak pengamat berpikir bahwa pelacakan performance masa lalu telah gagal. Sebagian dari masalahnya adalah supervisor enggan untuk membedakan mana yang berkinerja baik dan mana yang buruk. Contohnya, dalam satu penelitian menemukan bahwa 98% pegawai pemerintah federal menerima peringkat “memuaskan”, sementara hanya 2% yang mendapat salah satu dari dua hasil lainnya: “tidak memuaskan” atau “luar biasa.” Setelah menjalankan eksperimen yang dipublikasikan dengan baik pada tahun 1964, General Electric (GE) menyimpulkan bahwa membagi proses penilaian (appraisal) menjadi diskusi terpisah tentang pertanggungjawaban dan pengembangan adalah hal yang terbaik, mengingat konflik yang muncul antara kedua hal tersebut. Perusahaan lain pun mengikuti.

Kembali ke pertanggungjawaban.

Namun, pada 1970-an, pergeseran dimulai. Tingkat inflasi melonjak, dan gaji berdasarkan prestasi menjadi pusat perhatian dalam proses penilaian. Selama periode itu, kenaikan upah tahunan benar-benar penting. Supervisor sering memiliki keleluasaan untuk memberikan kenaikan 20% atau lebih kepada karyawan yang berkinerja baik, untuk membedakan mereka dari kebanyakan karyawan yang menerima kenaikan biaya hidup dasar, dan tidak mendapatkan kenaikan gaji berarti pemotongan gaji yang substansial. Dengan taruhan yang begitu tinggi—dan dengan undang-undang anti diskriminasi yang baru-baru ini diberlakukan—terdapat tekanan untuk memberikan penghargaan lebih objektif. Akibatnya, pertanggungjawaban menjadi prioritas yang lebih tinggi daripada pengembangan bagi banyak perusahaan.

Tiga perubahan lain dalam zeitgeist yang memperkuat pergeseran tersebut adalah: 

Pertama, Jack Welch menjadi CEO General Electric (GE) pada tahun 1981. Untuk mengatasi kekhawatiran lama jika supervisor gagal memberikan perbedaan nyata dalam performance, Welch memperjuangkan sistem peringkat paksa yakni sebuah hasil kreasi militer lainnya. Meskipun Angkatan Darat AS telah merancangnya, tepat sebelum memasuki Perang Dunia II dan supaya dengan cepat mengidentifikasi sejumlah besar calon perwira untuk ekspansi militer yang akan segera terjadi di negara itu, GE menggunakannya untuk menjatuhkan orang-orang di posisi bawah. Menyamakan performance dengan kemampuan inheren individu (dan sebagian besar mengabaikan potensi mereka untuk tumbuh), Welch membagi tenaga kerjanya menjadi pemain “A”, yang harus diberi penghargaan; pemain “B”, yang harus diakomodasi; dan pemain “C”, yang harus diberhentikan. Dalam sistem itu, pengembangan dicadangkan untuk pemain “A”—pemain berpotensi tinggi yang dipilih untuk maju ke posisi senior.

Kedua, undang-undang 1993 membatasi pengurangan pajak dari gaji eksekutif menjadi $1 juta, tetapi membebaskan pembayaran berbasis performance. Hal itu menyebabkan kenaikan bonus berbasis hasil bagi para leader perusahaan menjadi bentuk perubahan yang mengalir ke manajer garis depan dan bahkan karyawan per jam—dan perusahaan lebih mengandalkan proses penilaian untuk menilai prestasi.

Ketiga, proyek penelitian McKinsey’s War for Talent pada akhir 1990-an menunjukkan bahwa beberapa karyawan pada dasarnya lebih berbakat daripada yang lain (Anda mengenal mereka ketika Anda melihatnya, pemikiran seperti ini hilang). Karena individu seperti itu, menurut definisi, tergolong kurang kontribusi, sehingga organisasi merasa mereka perlu sangat berhati-hati dalam melacak dan memberi penghargaan kepada mereka. Tidak ada dalam studi McKinsey yang menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian tetap, membuat orang-orang tertentu benar-benar tampil lebih baik, tetapi itu adalah sebuah asumsi.

Jadi, pada awal 2000-an, perusahaan menggunakan penilaian performance khususnya untuk meminta pertanggungjawaban karyawan dan untuk memberikan penghargaan. Menurut beberapa perkiraan, sebanyak sepertiga perusahaan AS—dan 60% dari Fortune 500—telah mengadopsi sistem peringkat paksa. Pada saat yang sama, perubahan lain dalam kehidupan perusahaan mempersulit proses penilaian untuk memajukan tujuan yang memakan waktu untuk meningkatkan performance individu dan mengembangkan keterampilan untuk jabatan di masa depan. Perusahaan menjadi jauh lebih datar, yang secara dramatis meningkatkan jumlah bawahan yang harus dikelola oleh supervisor. Norma barunya adalah 15 sampai 25 bawahan langsung (naik dari yang semula sejumlah 6, sebelum tahun 1960-an). Selain mengawasi lebih banyak karyawan, supervisor juga diharapkan menjadi kontributor individu. Jadi, meluangkan waktu berhari-hari untuk mengelola masalah performance setiap karyawan seperti yang dianjurkan Douglas McGregor adalah hal yang tidak mungkin. Sementara itu, minat yang lebih besar pada perekrutan lateral mengurangi kebutuhan akan pengembangan internal. Hingga dua pertiga pekerjaan perusahaan diisi dari luar, dibandingkan dengan sekitar 10% satu generasi sebelumnya.

Kembali ke pengembangan…lagi.

Titik balik besar lainnya terjadi pada tahun 2005, yaitu: Beberapa tahun setelah Jack Welch meninggalkan GE, perusahaan diam-diam tidak menggunakan sistem peringkat paksa karena mendorong persaingan internal dan merusak kerja sama. Welch masih membela praktik tersebut, tetapi apa yang benar-benar dia dukung adalah prinsip umum untuk memberi tahu orang-orang tentang apa yang mereka lakukan: “Sebagai seorang manajer, Anda harus terus-terang kepada orang-orang Anda,” tulisnya di Wall Street Journal pada 2013. “Mereka tidak seharusnya menebak-nebak apa yang perusahaan pikirkan tentang mereka.” Tentunya, sulit untuk membantah keterusterangan. Tetapi semakin banyak perusahaan mulai mempertanyakan seberapa bermanfaat membandingkan orang satu sama lain atau bahkan menilai mereka dalam sebuah skala.

Jadi, penekanan pada pertanggungjawaban atas performance masa lalu mulai memudar. Hal itu berlanjut ketika pekerjaan menjadi lebih kompleks dan berubah bentuk dengan cepat—dalam kondisi itu, sulit untuk menetapkan tujuan tahunan yang masih penting di 12 bulan kemudian. Ditambah lagi, langkah menuju sistem kerja berbasis tim sering bertentangan dengan penilaian dan penghargaan individu. Dan inflasi yang rendah dan anggaran yang kecil untuk kenaikan gaji membuat pembayaran jasa yang didorong oleh penilaian terlihat sia-sia. Apa gunanya mencoba menarik perbedaan performance ketika penghargaan begitu sepele?

Keseluruhan proses penilaian tetaplah dibenci oleh karyawan. Penelitian ilmu sosial menunjukkan bahwa mereka membenci skor numerik—mereka lebih suka diberi tahu bahwa mereka adalah karyawan “rata-rata” dibandingkan diberi nilai 3 pada skala 5 poin. Mereka begitu membenci peringkat paksa. Seperti yang ditunjukkan oleh Iwan Barankay dari Wharton di lapangan, performance sebenarnya menurun ketika orang dinilai relatif terhadap orang lain. Peringkat juga tidak tampak akurat. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian yang terhimpun mengenai skor penilaian, penilaian tersebut memiliki banyak hubungannya dengan siapa yang memberikan nilai sebagaimana mereka menilai performance (orang memberi peringkat lebih tinggi kepada orang yang memiliki kesamaan dengan  mereka).

Dan manajer benci melakukan review, karena survei demi survei semakin memperjelas. Willis Towers Watson menemukan bahwa 45% tidak melihat nilai dalam sistem yang mereka gunakan. Deloitte melaporkan bahwa 58% HR eksekutif menganggap ulasan sebagai penggunaan waktu supervisor yang tidak efektif. Dalam sebuah studi oleh CEB layanan penasihat, rata-rata manajer melaporkan menghabiskan sekitar 210 jam (hampir 5 minggu) untuk melakukan penilaian setiap tahun.

Ketika ketidakpuasan dengan proses tradisional meningkat, perusahaan teknologi tinggi membawa cara berpikir baru mengenai performance. “Agile Manifesto”, yang diciptakan oleh pengembang software pada tahun 2001, menguraikan beberapa nilai utama, contohnya mendukung untuk “merespon perubahan daripada mengikuti rencana.” Ini menekankan prinsip-prinsip seperti kerja sama, self-organization, self-direction, dan refleksi reguler tentang cara bekerja lebih efektif, dengan tujuan membuat prototipe lebih cepat dan merespons feedback pelanggan dan perubahan persyaratan secara real time. Meskipun tidak diarahkan pada performance semata, prinsip-prinsip ini mengubah definisi efektivitas dalam pekerjaan—dan prinsip-prinsip ini bertentangan dengan praktik yang biasa dilakukan untuk menurunkan sasaran dari atas ke bawah dan menilai orang satu sama lain dalam setahun sekali.

Jadi masuk akal bahwa perubahan signifikan pertama dari traditional review terjadi di Adobe, pada tahun 2011. Perusahaan sudah menggunakan metode tangkas, memecah proyek menjadi sistem “sprint” yang segera diikuti dengan sesi tanya jawab. Adobe secara eksplisit membawa gagasan penilaian dan feedback langsung ini ke dalam performance management, dengan check-ins berkala yang menggantikan review tahunan. Juniper Systems, Dell, dan Microsoft adalah pengikut terkemuka dari sistem tersebut.

CEB memperkirakan jika pada tahun 2014, 12% perusahaan AS telah meninggalkan seluruh sistem review tahunan. Willis Towers Watson memberikan angka 8% tetapi menambahkan bahwa 29% sedang mempertimbangkan untuk menghilangkannya atau berencana untuk melakukannya. Deloitte melaporkan jika pada tahun 2015, hanya 12% dari perusahaan AS yang disurvei tidak berencana untuk memikirkan kembali sistem performance management mereka. Tren ini tampaknya meluas ke luar Amerika Serikat juga. PwC melaporkan bahwa dua pertiga perusahaan besar di Inggris, misalnya, sedang dalam proses mengubah sistem mereka.

Tiga Alasan Bisnis Meninggalkan Sistem Penilaian

Terkait dengan sejarah tersebut, kami melihat tiga inisiatif jelas yang membuat perusahaan meninggalkan penilaian performance:  

Kembalinya pengembangan sumber daya manusia.

Perusahaan berada di bawah tekanan yang kompetitif untuk meningkatkan upaya pengelolaan SDM mereka. Hal ini terutama berlaku di perusahaan konsultan dan jasa profesional lainnya, di mana pekerjaan yang melibatkan pengetahuan adalah penawarannya—dan di mana lulusan perguruan tinggi yang tidak berpengalaman diubah menjadi penasihat yang terampil melalui pelatihan terstruktur. Perusahaan seperti itu menggandakan pengembangan, sering kali dengan menempatkan karyawan mereka (yang sangat termotivasi oleh potensi pembelajaran dan kemajuan) yang bertanggung jawab atas pertumbuhan mereka sendiri. Pendekatan ini membutuhkan feedback yang kaya dari supervisor—kebutuhan yang lebih baik dipenuhi dengan check-ins informal berkala daripada review tahunan.

Sekarang ini, pasar tenaga kerja telah diperketat dan mempertahankan orang-orang dengan performance baik adalah hal yang sangat penting, perusahaan-perusahaan seperti itu telah berusaha untuk menghilangkan “ketidakpuasan” yang membuat karyawan pergi. Tentunya, review tahunan ada dalam daftar itu, karena prosesnya sangat dikritisi dan fokus pada peringkat numerik dapat mengganggu pembelajaran yang diinginkan dan harus dilakukan orang. Mengganti sistem ini dengan feedback yang disampaikan tepat setelah keterlibatan klien membantu manajer melakukan pekerjaan pembinaan yang lebih baik dan memungkinkan bawahan untuk memproses dan menerapkan saran dengan lebih efektif.

Kelly Services adalah perusahaan jasa profesional besar pertama yang menghilangkan sistem penilaian pada tahun 2011. PwC mencobanya dengan grup percontohan pada tahun 2013 dan kemudian menghentikan review tahunan untuk 200.000 lebih karyawannya. Deloitte menyusul pada 2015, dan tak lama kemudian, Accenture serta KPMG membuat pengumuman serupa. Mengingat besarnya ukuran perusahaan-perusahaan ini, dan fakta bahwa mereka menawarkan nasihat manajemen kepada ribuan perusahaan, pilihan mereka memiliki dampak besar pada perusahaan lain. Perusahaan yang menghilangkan sistem penilaian juga memikirkan kembali manajemen karyawan secara lebih luas. CEO Accenture Pierre Nanterme memperkirakan bahwa perusahaannya mengubah sekitar 90% dari praktik bakatnya.

Kebutuhan akan ketangkasan. 

Ketika inovasi yang cepat menjadi sumber keunggulan kompetitif, seperti yang terjadi sekarang di banyak perusahaan dan industri, itu berarti kebutuhan masa depan terus berubah. Karena organisasi tidak selalu menginginkan karyawan untuk terus melakukan hal yang sama, tidak masuk akal untuk berpegang pada sistem yang dibangun khususnya untuk menilai dan meminta pertanggungjawaban orang atas tindakan masa lalu atau saat ini. Seperti yang ditunjukkan oleh Susan Peters, kepala SDM di GE, bisnis tidak lagi memiliki siklus tahunan yang jelas. Proyek bersifat jangka pendek dan cenderung berubah di sepanjang jalan, sehingga tujuan dan tugas karyawan tidak dapat diatur setahun sebelumnya dengan sangat akurat.

Di GE, strategi bisnis baru berdasarkan inovasi adalah alasan terbesar perusahaan baru-baru ini mulai menghilangkan sistem peringkat individu dan review tahunan. Pendekatan barunya terhadap manajemen kinerja ini selaras dengan platform FastWorks untuk menciptakan produk dan membawanya ke pasar, yang banyak meminjam dari teknik ketangkasan. Supervisor masih mengadakan diskusi ringkasan akhir tahun dengan bawahan, tetapi tujuannya adalah untuk mendorong diskusi berkala dengan karyawan (GE menyebutnya “touchpoints”) dan terus meninjau kembali dua pertanyaan dasar: Hal apa yang saya lakukan yang harus terus saya lakukan? Dan hal apa yang perlu saya ubah? Tujuan tahunan telah diganti dengan “prioritas” jangka pendek. Seperti banyak perusahaan yang kami lihat, GE pertama kali meluncurkan uji coba, dengan sekitar 87.000 karyawan pada tahun 2015 sebelum menerapkan perubahan tersebut di seluruh perusahaan.

Sentralitas kerja tim.

Beralih dari sistem peringkat paksa dan dari fokus penilaian pada pertanggungjawaban individu dapat mempermudah pengembangan kerja tim. Hal ini menjadi sangat jelas di perusahaan ritel seperti Sears dan Gap—yang mungkin menjadi inovator awal yang paling mengejutkan dalam sistem penilaian. Layanan pelanggan yang canggih sekarang membutuhkan karyawan frontline dan back-office untuk bekerja sama agar persediaan tetap ada dan mengelola aliran pelanggan, dan sistem tradisional tidak meningkatkan performance di tingkat tim atau membantu melacak kerja sama.

Supervisor di Gap masih memberikan penilaian akhir tahun kepada pekerja, tetapi hanya untuk meringkas diskusi mengenai performance yang terjadi sepanjang tahun dan untuk menetapkan kenaikan gaji yang sesuai. Karyawan masih memiliki tujuan, tetapi seperti di perusahaan lain, tujuannya bersifat jangka pendek (triwulanan). Sekarang, setelah dua tahun memasuki sistem barunya, Gap melaporkan kepuasan yang jauh lebih besar dengan proses kinerjanya dan pencapaian tujuan di tingkat store terbaik yang pernah ada. Meskipun demikian, Rob Ollander-Krane, direktur senior efektivitas performance perusahaan di Gap mengatakan jika perusahaan perlu perbaikan lebih lanjut dalam menetapkan tujuan yang lebih luas dan berfokus pada performance tim.

Implikasi.

Ketiga alasan untuk meninggalkan sistem penilaian tahunan mampu mendukung sistem yang lebih dekat mengikuti siklus kerja alami. Idealnya, percakapan antara manajer dan karyawan terjadi ketika proyek selesai, pencapaian tercapai, munculnya permasalahan, dan sebagainya—memungkinkan orang untuk memecahkan masalah dalam performance saat ini sambil mengembangkan keterampilan untuk masa depan. Di sebagian besar perusahaan, manajer memimpin dalam menetapkan tujuan jangka pendek, dan karyawan mendorong adanya career conversation sepanjang tahun. Dalam pendapat salah seorang manajer Deloitte: “Percakapan menjadi lebih menyeluruh yang membahas tentang tujuan dan kelebihan, bukan hanya tentang performance masa lalu.”

Dan kemungkinan yang terpenting adalah, perusahaan merombak performance management karena bisnis mereka membutuhkan perubahan. Hal tersebut memang benar terlepas mereka perusahaan jasa profesional yang harus mengembangkan orang untuk bersaing, perusahaan yang perlu memberikan feedback terkait kinerja berkelanjutan untuk mendukung inovasi yang cepat, atau retailer yang membutuhkan koordinasi yang lebih baik antara sales floor dan back office untuk melayani pelanggan mereka.

Tentu saja, banyak manajer SDM khawatir: Jika kita tidak bisa membuat supervisor melakukan percakapan yang baik dengan bawahan dalam waktu setahun sekali, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka melakukannya lebih sering, tanpa dukungan dari proses penilaian yang biasanya? Ini pertanyaan yang valid—tetapi kami melihat ada alasan untuk optimis.

Seperti yang ditemukan GE pada tahun 1964 dan seperti yang telah didokumentasikan penelitian sejak itu, sangat sulit untuk melakukan diskusi terbuka yang serius tentang suatu permasalahan sambil mengungkapkan konsekuensi seperti gaji yang rendah. Review akhir tahun juga merupakan alasan untuk menunda feedback sampai saat itu, di mana supervisor dan karyawan kemungkinan besar telah melupakan apa yang telah terjadi beberapa bulan sebelumnya. Kedua kendala tersebut hilang saat Anda menghapus sistem review tahunan. Selain itu, hampir semua perusahaan yang telah meninggalkan sistem penilaian tradisional telah berinvestasi dalam melatih supervisor untuk berbicara lebih banyak tentang pengembangan dengan karyawan mereka—dan mereka memeriksa bawahan mereka untuk memastikan hal itu terjadi.

Beralih ke sistem informal membutuhkan budaya kerja yang akan membuat feedback terus berjalan. Seperti yang ditunjukkan oleh Megan Taylor, direktur kemitraan bisnis Adobe, pada konferensi yang diselenggarakan baru-baru ini, sulit untuk mempertahankan sistem tersebut jika tidak terjadi secara alami. Adobe, dengan jumlah karyawan yang tak terhitung tetapi masih memberikan peningkatan prestasi berdasarkan penilaian informal, menjelaskan jika percakapan reguler antara manajer dan karyawan mereka sekarang terjadi tanpa dorongan dari HR. Deloitte juga telah menemukan bahwa model penilaian baru dengan melakukan check-ins informal secara berkala telah menghasilkan diskusi yang lebih bermakna, wawasan yang lebih dalam, dan kepuasan karyawan yang lebih besar. (Untuk detail lebih lanjut, lihat “Reinventing Performance Management,” HBR, April 2015.) Perusahaan dengan jumlah yang mulai tidak terhitung seperti Adobe tetapi kemudian beralih menugaskan beberapa karyawan empat kali dalam setahun, bertujuan untuk memberi mereka feedback bergulir pada dimensi yang berbeda. Jeffrey Orlando, yang mengepalai bagian pengembangan dan performance di Deloitte, mengatakan perusahaan telah melacak efeknya pada hasil bisnis, dan sejauh ini positif.

Tantangan yang Terus Menerus 

Penolakan terbesar untuk meninggalkan sistem penilaian, yang menjadi semacam revolusi dalam bagian HR, berasal dari bagian HR itu sendiri. Alasannya sederhana: Banyak proses dan sistem yang telah dibangun HR selama bertahun-tahun berpusat pada peringkat performance tersebut. Para ahli dalam hukum ketenagakerjaan telah menyarankan perusahaan untuk menstandarisasi praktik, mengembangkan kriteria objektif untuk membenarkan setiap keputusan ketenagakerjaan, dan mendokumentasikan semua fakta yang relevan. Meniadakan penilaian merupakan hal yang tidak disukai oleh nasihat tersebut—dan hal itu juga tidak serta merta menyelesaikan setiap masalah yang gagal mereka atasi.

Berikut adalah beberapa tantangan yang masih dihadapi perusahaan ketika mereka mengganti model performance lama dengan pendekatan baru:

Menyelaraskan tujuan individu dan perusahaan.

Dalam model tradisional, tujuan dan strategi bisnis mengalir ke perusahaan. Semua unit dan semua karyawan individu, seharusnya menetapkan tujuan mereka untuk merefleksikan dan memperkuat tujuan yang ditetapkan oleh pihak atas. Namun, pendekatan ini hanya berhasil jika tujuan mudah untuk dipahami dan dipertahankan terus menerus selama setahun. Seperti yang telah kita diskusikan, hal tersebut sering kali bukan menjadi permasalahan di masa sekarang, dan tujuan karyawan mungkin ditentukan dalam proyek tertentu. Jadi, saat proyek berkembang dan tugas berubah, bagaimana Anda mengkoordinasikan prioritas individual dengan tujuan keseluruhan perusahaan, terutama ketika tujuan bisnis berupa jangka pendek dan harus beradaptasi secara cepat pada perubahan pasar? Ini adalah masalah baru yang harus diatasi, dan para atasan masih bingung bagaimana menanggapinya. 

Memberikan penghargaan atas performance

Sistem penilaian memberikan cara yang jelas bagi manajer untuk memberikan penghargaan pada kontribusi individu. Perusahaan yang mengubah sistem mereka mencoba mencari tahu bagaimana praktik baru mereka akan memengaruhi model gaji-sesuai-kinerja, yang tidak satupun dari cara tersebut secara eksplisit ditinggalkan.

Mereka masih membedakan penghargaan, biasanya lebih mengandalkan penilaian kualitatif manajer daripada peringkat numerik. Dalam program percontohan di Juniper Systems and Cargill, supervisor tidak mengalami kesulitan mengalokasikan gaji berdasarkan prestasi tanpa nilai. Faktanya, baik manajer lini maupun staf bagian HR merasa bahwa memberikan perhatian lebih pada performance karyawan sepanjang tahun kemungkinan akan membuat keputusan pembayaran jasa mereka lebih valid.

Tetapi akan menarik untuk melihat apakah sebagian besar supervisor akhirnya meninjau feedback yang mereka berikan kepada setiap karyawan selama setahun sebelum menentukan kenaikan prestasi (Manajer Deloitte sudah melakukan ini). Jika ya, mungkinkah mereka menghasilkan sesuatu seperti skor penilaian tahunan—walaupun sudah dipertimbangkan dengan lebih cermat? Dan dapatkah hal itu secara perlahan merusak perkembangan dengan mengalihkan fokus manajer kembali ke pertanggungjawaban?

Mengidentifikasi pekerja dengan performance yang buruk.

Meskipun manajer mungkin berasumsi bahwa mereka membutuhkan penilaian untuk menentukan karyawan mana yang tidak melakukan pekerjaan mereka dengan baik, proses tradisional tidak terlalu membantu dalam hal ini. Sebagai permulaan, peringkat individu melonjak seiring waktu. Penelitian menunjukkan bahwa skor performance tahun lalu hanya memprediksi sepertiga dari varians skor tahun ini—jadi sulit untuk mengatakan bahwa seseorang tidak siap untuk memulai. Ditambah lagi, departemen HR secara konsisten mengeluh bahwa manajer lini tidak menggunakan proses penilaian untuk mencatat performance yang buruk. Bahkan ketika mereka melakukannya, menunggu hingga akhir tahun untuk menandai karyawan yang kesulitan memungkinkan kegagalan berlangsung terlalu lama tanpa intervensi.

Kami telah mengamati bahwa perusahaan yang telah meninggalkan sistem penilaian mengharuskan supervisor untuk segera mengidentifikasi karyawan yang bermasalah. Juniper Systems juga secara resmi meminta supervisor setiap kuartal untuk mengonfirmasi bahwa bawahan mereka bekerja sesuai standar perusahaan. Rata-rata hanya 3% yang tidak, dan HR diberikan tugas untuk mengatasinya. Adobe melaporkan bahwa sistem barunya telah mengurangi pemecatan, karena karyawan yang kesulitan dipantau dan dilatih lebih dekat.

Namun, mengingat betapa enggannya sebagian besar manajer untuk memilih karyawan yang gagal, kami tidak dapat berasumsi bahwa menyingkirkan sistem penilaian akan membuat keputusan sulit itu menjadi lebih mudah. Dan semua perusahaan yang kami amati masih memiliki “rencana peningkatan performance” untuk karyawan yang diidentifikasi membutuhkan dukungan. Rencana seperti itu tetap bermasalah secara universal juga, sebagian karena banyak masalah yang menyebabkan performance buruk tidak dapat diselesaikan dengan intervensi manajemen.

Menghindari masalah hukum.

Manajer bagian employee relations dalam HR sering khawatir bahwa tuduhan diskriminasi akan melonjak jika perusahaan mereka berhenti mendasarkan kenaikan gaji dan promosi pada peringkat numerik, yang tampaknya objektif. Namun sistem penilaian tidak mencegah praktik diskriminatif. Meskipun mereka memaksa manajer untuk secara sistematis meninjau kontribusi orang setiap tahun, banyak kelonggaran (yang selalu bias) masuk ke dalam proses tersebut, dan banyak bukti menunjukkan bahwa supervisor mendiskriminasi beberapa karyawan dengan memberi mereka peringkat yang sangat rendah.

Para leader di Gap melaporkan bahwa praktik baru mereka sebagian didorong oleh adanya komplain dan penelitian yang menunjukkan bahwa proses penilaian seringkali bias dan tidak efektif. Pekerja bagian frontliner di ritel (kebanyakan perempuan dan minoritas) sangat rentan terhadap perlakuan tidak adil. Memang, sistem peringkat formal bisa memperlihatkan bias daripada membatasinya. Jika sebuah perusahaan memiliki skor penilaian dan indeks gaji prestasi yang jelas, mudah untuk melihat apakah wanita dan minoritas yang memiliki skor sama dengan pria kulit putih yang mendapatkan kenaikan gaji yang lebih sedikit atau lebih rendah.

Dari semua hal yang dikatakan, tidak jelas apakah pendekatan baru untuk performance management akan banyak membantu mengurangi diskriminasi juga. Gap juga telah menemukan bahwa menyingkirkan skor performance meningkatkan keadilan dalam pembayaran dan keputusan lainnya, tetapi penilaian masih harus dibuat—dan masih ada kemungkinan bias dalam setiap informasi kualitatif yang dipertimbangkan oleh pembuat keputusan.

Mengelola feedback firehose.

Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar sistem informasi HR dibangun untuk mengalihkan penilaian tahunan secara online dan mengaitkannya dengan kenaikan gaji, perencanaan suksesi, dan sebagainya. Penilaian tersebut tidak dirancang untuk mengakomodasi feedback terus-menerus, yang merupakan salah satu alasan banyak check-ins dari karyawan terdiri dari komentar lisan, tanpa dokumentasi.

Dunia teknologi telah merespons dengan aplikasi yang memungkinkan supervisor memberikan feedback kapan saja dan merekamnya jika diinginkan. Di General Electric, aplikasi PD@GE (“PD” adalah singkatan dari “performance development”/”pengembangan kinerja”) memungkinkan manajer untuk membuat catatan dan materi dari diskusi sebelumnya dan meringkas informasi tersebut. Karyawan dapat menggunakan aplikasi itu untuk meminta bantuan saat mereka membutuhkannya. IBM memiliki aplikasi serupa yang menambahkan fitur lain: Ini memungkinkan karyawan untuk memberikan feedback kepada rekan-rekan dan memilih apakah atasan dari penerima mendapat salinan. Amazon’s Anytime Feedback melakukan hal yang sama. Keuntungan besar dari aplikasi ini adalah supervisor dapat dengan mudah meninjau semua teks diskusi ketika tiba waktunya untuk mengambil tindakan seperti memberikan penghargaan atas gaji atau mempertimbangkan promosi dan penugasan kembali pekerjaan.

Tentu saja, menjadi pihak yang menerima semua pelatihan terus-menerus itu bisa membuat Anda kewalahan karena tidak pernah berhenti. Dan untuk feedback dari rekan kerja, tidak selalu bermanfaat, bahkan jika aplikasi membuatnya lebih mudah untuk disampaikan secara real time. Biasanya, feedback itu kurang objektif daripada feedback dari supervisor, seperti yang diketahui oleh siapa pun yang akrab dengan sistem penilaian 360. Hal ini juga dapat “dipermainkan” oleh karyawan untuk membantu atau menyakiti rekan kerja. (Di Amazon, budaya kejam mendorong karyawan untuk bersikap kritis terhadap performance satu sama lain, dan sistem peringkat paksa menciptakan insentif untuk mendorong orang lain ke posisi terbawah.) Semakin penting feedback dari rekan kerja, semakin besar kemungkinan adanya masalah.

Tidak semua atasan menghadapi tekanan bisnis yang sama untuk mengubah proses performance mereka. Di beberapa bidang dan industri (misalnya sales dan jasa keuangan), masih masuk akal untuk menekankan pertanggungjawaban dan imbalan finansial bagi individu yang berprestasi. Organisasi dengan misi publik yang kuat juga dapat dilayani dengan baik oleh sistem penilaian tradisional. Tetapi bahkan organisasi pemerintah seperti NASA dan FBI sedang memikirkan kembali pendekatan mereka, setelah menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban harus kolektif dan supervisor harus melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam melatih dan mengembangkan bawahan mereka.

Ideologi para atasan itu penting. Mari lihat apa yang terjadi di Intel. Dalam uji coba dua tahun, karyawan mendapat feedback tetapi tidak ada skor penilaian formal. Meskipun supervisor tidak mengalami kesulitan membedakan kinerja atau mendistribusikan gaji berbasis kinerja tanpa menggunakan peringkat, eksekutif perusahaan kembali menggunakannya dan percaya jika mereka menciptakan persaingan yang sehat dan hasil yang jelas. Di Sun Communities, sebuah perusahaan manufaktur rumah, para leader senior juga menentang penghapusan sistem penilaian karena mereka pikir feedback formal penting untuk pertanggungjawaban. Dan di Medtronic yang putus asa dengan sistem peringkat beberapa tahun lalu, menghidupkannya kembali sekarang setelah mengakuisisi Covidien yang berbasis di Irlandia, yang memiliki pandangan performance management yang lebih tradisional.

Perusahaan lain tidak sepenuhnya kembali ke pendekatan lama tetapi mencari jalan tengah. Seperti yang telah kami sebutkan, Deloitte telah mundur dari mulanya tidak memberikan peringkat sama sekali dan sekarang memiliki pimpinan proyek dan manajer menugaskannya dalam empat kategori setiap tiga bulan, untuk memberikan “performance snapshot” yang terperinci. PwC baru-baru ini melakukan langkah serupa dalam praktik layanan kliennya: Karyawan masih tidak menerima satu peringkat pun setiap tahun, tetapi mereka sekarang mendapatkan skor pada lima kompetensi, bersama dengan feedback pengembangan lainnya. Dalam kasus PwC, penolakan akan tidak adanya jumlah sebenarnya datang dari karyawan, terutama mereka yang berada di jalur mitra, yang ingin tahu bagaimana performance mereka.

Di satu perusahaan asuransi, setelah peringkat formal dihilangkan, kenaikan gaji berdasarkan prestasi dibagikan secara internal dan kemudian ditafsirkan sebagai skor kinerja. Ini dikenal sebagai “peringkat bayangan,” dan karena hal tersebut mulai memengaruhi keputusan bagian manajemen bakat lainnya, perusahaan akhirnya kembali ke penilaian formal. Tapi tidak mengubah perubahan lain yang sudah dibuat ke sistem performance management, seperti diskusi triwulanan antara manajer dan karyawan, untuk mempertahankan komitmen baru untuk pengembangan.Akan menarik melihat seberapa baik pendekatan “cara ketiga” ini bekerja. Pendekatan ini juga bisa gagal jika tidak didukung oleh kepemimpinan senior dan diperkuat oleh budaya organisasi. Namun, dalam banyak kasus, bertahan dengan sistem lama sepertinya merupakan pilihan yang buruk. Perusahaan yang tidak menganggap perombakan masuk akal bagi mereka setidaknya harus mempertimbangkan dengan hati-hati apakah proses yang dilakukan memberikan apa yang mereka butuhkan untuk memecahkan masalah performance saat ini dan mengembangkan bakat masa depan. Penilaian performance karyawan tidak akan menjadi praktik yang paling tidak populer dalam bisnis, seperti yang diyakini secara luas, jika pada dasarnya tidak ada yang salah dengan penilaian tersebut.

Sumber: HBR (Peter Cappelli dan Anna Tavis, Okt 2016)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *