Stoicism dan Law of Attraction: Manifestasi & Pemikiran Magis

Apa itu Law of Attraction?

Law of Attraction dipopulerkan dalam The Secret karya Rhonde Byrne. The Secret telah diterjemahkan ke dalam 50 bahasa dan terjual lebih dari 35 juta eksemplar. Buku tersebut telah dibuat menjadi film di tahun 2006 dan gabungan dari keduanya telah meraup keuntungan lebih dari $300 juta.

Oprah Winfrey bisa dibilang memberikan dukungan terbesarnya dalam The Larry King Show, dengan mengatakan, “Amanat di The Secret adalah pesan yang telah saya coba bagikan kepada dunia di acara saya selama dua puluh satu tahun terakhir.”

Byrne yang sebelumnya tampil di The Oprah Winfrey Show, menjelaskan jika ia mulanya membaca The Science of Getting Rich karya Wallace D. Wattles dan terinspirasi untuk menulis The Secret. Ketika ditanya tentang judulnya saat itu, Byrne memberi tahu Oprah, “Judul buku ini perlu memuat pengetahuan hanya dalam beberapa kata dan ‘the secret’ jadi law of attractionnya.”

Apa maksudnya? Tanya Oprah.

Law of attraction,” Byrne menjawab, “adalah hukum yang paling kuat di alam semesta. Itu adalah hukum yang menciptakan kehidupan kita. Disadari atau tidak, law of attraction ini bekerja sepanjang waktu. Jika Anda tidak tahu bagaimana hukum itu bekerja maka Anda tidak bisa menciptakan hidup yang Anda inginkan. Law attraction berarti hal yang serupa menarik yang serupa. Sederhananya, kita menarik sesuatu dalam kehidupan kita hal-hal yang kita inginkan dan itu berdasarkan pada apa yang kita pikirkan dan rasakan.”

Law of attraction (LOA) adalah keyakinan bahwa Semesta menciptakan apa pun yang menjadi fokus pikiran Anda.

Oprah bukan satu-satunya penasihat terkenal. Ketika dia mempromosikan film The Pursuit of Happyness, Will Smith mengatakan bagaimana ia merasa terhubung dengan karakter tersebut yaitu seorang pria bernama Chris Gardner, tunawisma yang menjadi seorang jutawan. “Kita sama-sama percaya, dengan sepenuh hati, bahwa pikiran, perasaan, impian, ide kita itu memiliki wujud di alam semesta… Bahwa kita akan memerintah dan menuntut agar alam semesta menjadi seperti yang kita inginkan.”

Jay Z pernah berkata, “Aku percaya jika kita bisa menyuarakan hal menjadi kenyataan.” Conor McGregor juga percaya, “Jika Anda benar-benar memercayainya dan menyuarakannya, Anda menciptakan law of attraction dan itu akan menjadi kenyataan.” Di film dokumenter In Wonder, ada adegan saat Shawn Mendes menunjukkan sebuah jurnal. Pada 24 November 2018, dia memenuhi semua baris dalam satu halaman, “Aku akan menjual habis tiket di Rogers Center.” Tiket mulai dijual hari itu. Keesokan harinya, kami melihat satu halaman penuh di jurnal tersebut berisikan, “Aku berhasil menjual habis tiket Rogers Center.” Dia berhasil menjual habis tiket di Rogers Center—stadion berkapasitas lebih dari 50.000 kursi di kota kelahirannya di Toronto—“karena aku menulisnya di jurnal manifestasiku.”

Orang-orang yang percaya dengan LOA mengatakan itu sebagai hukum universal: “yang serupa selalu menarik yang serupa.” Mereka mengatakan hal-hal seperti itu melalui “keilmuan mutakhir”, kita dapat menunjukkan bahwa pikiran kita memiliki kekuatan magnetis. Bahwa energi dan frekuensi dari suatu pikiran memancar keluar ke Semesta dan menarik energi dan frekuensi yang sama dari pikiran, orang, benda, kemudian kembali kepada Anda. Pikiran itu menjadi berwujud. Bahwa jika itu ada di pikiran atau papan visi Anda, pada akhirnya itu akan ada dalam kehidupan nyata Anda. Menciptakan kehidupan impian Anda hanyalah masalah memikirkannya dengan niat yang lebih.

Orang-orang yang percaya dengan LOA menyebutnya, “membuat pesanan.” Tulis apa yang Anda inginkan—lebih spesifik lebih baik—kemudian, tunggu hingga itu terjadi. Benar sekali, seperti yang Anda dengarkan dari seorang guru LOA, kita tidak butuh bertindak sama sekali!

Orang-orang yang percaya dengan LOA menulis sendiri sebuah cek jutaan dollar, membawanya kesana kemari, dan menunggu hingga uang itu masuk ke dalam dompetnya. 

Mereka menuliskannya, hari demi hari, jika mereka ingin jutaan pengikut di TikTok dan menunggu hingga pengikutnya mulai menumpuk. 

Mereka menaruh sebuah gambar rumah besar di papan visi mereka dan mengatakan jika mereka akan menanam benih yang akan jadi kenyataan. 

Lalu, sisanya adalah bermeditasi, menulis jurnal, dan memvisualisasikan dan mengatakan afirmasi, kemudian seperti yang dikatakan seorang guru LOA, “terimalah hal yang terwujud dari keinginan Anda.”

Apakah Law of Attraction Benar-Benar Bekerja?

Akan sangat menakjubkan jika itu benar adanya. Jika kita bisa, dengan kekuatan pikiran, memanifestasikan realita yang kita inginkan. Namun, tentu saja, itu tidaklah benar. 

Ini dia contohnya:

Di tahun 2014, Rhonda Byrne, penulis The Secret—buku laris yang membahas tentang Law of Attraction—mendaftarkan rumahnya di Santa Barbara untuk dijual dengan harga $23,5 juta. Setahun kemudian, ia menguranginya menjadi $18,8, lalu menguranginya lagi menjadi $14,9. Akhirnya, setelah mendekam selama lebih dari lima tahun, rumah tersebut terjual seharga $13,6. Lebih rendah $5 dari yang ia beli dulu dan lebih rendah $10 juta dari yang ia inginkan awalnya. 

Realitas—dalam hal ini adalah pasar—tidak peduli apa yang Anda pikirkan. Tidak ada jumlah manifestasi yang mengubah nilai sesuatu. Kemudian, seorang reporter di The Wall Street Journal bertanya kepada Rhonda Byrne mengapa ia tidak memohon saja supaya rumahnya mendapatkan harga penuh seperti yang ia harapkan. Itu bukan prioritas, kata Byrne, jadi dia tidak perlu “menghabiskan waktu dan tenaganya.” Jawaban itu terdengar sedikit lebih manis daripada mengakui bahwa dia adalah seorang pembual.

Dave Chappelle memberikan lelucon dengan mengatakan jika Rhonda Byrne harus terbang ke Afrika dan memberi tahu anak-anak yang kelaparan itu mengenai rahasianya. Yang perlu mereka lakukan hanyalah memvisualisasikan enaknya daging sapi panggang, mashed potato, dan saus. Anak-anak itu kemudian akan meminta Byrne supaya berhenti mengiming-iming dengan ketidakmungkinan yang nikmat. “Tidak, tidak, tidak,” kata Chappelle, berpura-pura menjadi Byrnes, “Masalahnya adalah kalian memiliki persepsi yang buruk terhadap kelaparan.”

Tidak ada ilmu pengetahuan yang mengatakan jika pikiran-pikiran Anda akan membuat realita bergerak sesuai dengan keinginan Anda. Serta, pemikiran negatif akan membawa pada hasil yang negatif pula. Kenyataannya, semua ilmu pengetahuan kontra terhadap hal ini. Berikut contoh-contohnya.

Penelitian menunjukkan jika bayangan positif tentang masa depan memprediksikan kinerja yang buruk.

Penelitian menunjukkan jika bayangan positif juga memprediksikan rendahnya usaha dan suksesnya kinerja. 

Penelitian menunjukkan jika terus menerus berfokus pada tipe tubuh yang ideal akan membuat berat badan naik. 

Perlu diulang: semua ilmu pengetahuan bertentangan dengan law of attraction. Seperti magnet dan listrik—sering kali, seperti penolakan.

Bukan berarti berpikir positif itu tidak penting. Perlu diketahui jika berpikir positif itu berbeda dengan law of attraction

Perbedaan Berpikir Positif dan Law of Attraction 

Dalam The Laws of Human Nature, Robert Greene yang hebat membuat diksi antara memiliki sikap terbatas (negatif) dengan sikap ekspansif (positif). Cara kita melihat dunia itu penting. Untuk mengilustrasikan hal ini, dia menggunakan contoh seorang pria muda dan seorang wanita muda yang belajar di luar negeri di Paris.

Pria muda itu memiliki sikap yang terbatas. Dia tidak menyukai orang, cuaca, atau makanan. Katedral Notre Dame tidak seperti yang dia harapkan, apalagi tempat itu penuh dengan turis yang mengganggu. Dia memiliki pengalaman yang menyedihkan di Paris dan berikrar untuk tidak pernah kembali ke sana.

Sementara itu, wanita muda itu memiliki sikap ekspansif. Dia tidak pandai berbicara bahasa Prancis, tetapi dia senang belajar bahasa itu. Dia menganggap orang Paris itu luar biasa dan mendapat banyak teman baru. Dia menemukan cuaca yang mendung menjadi kombinasi yang sempurna untuk kota romantis ini. Setiap hari terasa seperti petualangan. Dia terpesona dan ingin tinggal selama mungkin dan kembali sesering mungkin ke sana.

Dua orang melihat dan memiliki pengalaman di kota yang sama dengan cara yang berlawanan. Bagaimana itu bisa terjadi? “Dengan perspektif khusus kita,” tulis Robert, “[kita] menambah atau mengurangi warna dari benda dan orang. Kita bisa berfokus pada arsitektur Gotik yang indah atau turis yang menyebalkan.”

Jadi, memang benar, pikiran positif itu penting. Realitas kita sebagian besar diciptakan dari bagaimana cara kita melihat: positif atau negatif. Jika Anda memiliki pikiran positif, Anda akan memiliki pengalaman positif. Jika Anda melihat segala sesuatu sebagai negatif dan buruk, Anda akan melihat orang-orang yang menyebalkan dan cuaca yang buruk.

Tetapi, law of attraction mengesampingkan variabel penting itu. Seperti yang dijelaskan Ryan Holiday kepada Lewis Howes di podcast The School of Greatness, “Persepsi kita memang mewarnai realitas kita… Tapi para Stoic tidak mengatakan, ‘Jika Anda hanya melihat semuanya positif, semuanya akan positif.’ Sikap positif akan membawa pada tindakan yang bisa menghasilkan kenyataan yang positif.

Law of attraction mengatakan supaya kita menulis sendiri cek sebesar satu juta dolar dan kemudian menunggu sampai itu terwujud. Para Stoic akan mengatakan jika hal itu boleh-boleh saja, tetapi, seperti halnya Ryan melanjutkan, “lalu bertindaklah untuk mewujudkannya.” 

Apakah Para Stoic Percaya dengan Law of Attraction?

Bagian yang sulit di sini seperti yang baru kita bicarakan, para Stoics percaya bahwa pikiran kita sangat kuat. Pandangan kita terhadap dunia memang memengaruhi apa yang kita lihat. Dengan mengatakan kepada diri sendiri bahwa sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin terjadi bisa menunjukkan kebenaran yang efektif.

Pemikir yang jauh lebih teliti dan tidak terlalu percaya pada hal mistis daripada para guru Secret telah mengetahui hal ini selama berabad-abad.

Marcus Aurelius berkata, “Hal-hal yang Anda pikirkan menentukan kualitas pikiran Anda. Jiwa Anda mengambil warna dari pikiran Anda.” Dia juga berkata, “Hidup kita adalah apa yang kita pikirkan.”

Sebelum Marcus, seorang budak yang menjadi guru yaitu Epictetus, berkata, “Waspada dengan persepsi Anda karena itu bukan hanya hal remeh yang harus Anda lindungi, tetapi rasa hormat, kepercayaan, dan kemantapan Anda, ketenangan pikiran, kebebasan dari rasa sakit dan ketakutan, singkatnya persepsi adalah kebebasan Anda.”

Bagi para Stoic, disiplin persepsi sangatlah penting. Jika Anda melihat dunia sebagai tempat yang negatif dan mengerikan, jika Anda melihat orang lain sebagai musuh Anda, jika Anda percaya bahwa Anda kacau, maka demikianlah adanya.

Marcus Aurelius tidak percaya Anda memanifestasikan masa depan melalui “energi”, tetapi dia percaya bahwa Anda memiliki kekuatan di masa kini untuk menentukan apakah Anda akan “dirugikan” oleh sesuatu atau tidak. Jika Anda memutuskan untuk melihat apa yang terjadi sebagai hal yang baik, Anda bisa menjadikannya baik pula.

Para Stoic akan mengatakan jika pikiran kita menentukan karakter kita dalam realitas kehidupan. Jika Anda melihat hal buruk dalam segala hal, hidup Anda akan terasa buruk—bahkan jika Anda dikelilingi oleh kekayaan dan kesuksesan. Jika Anda terus-menerus memiliki pandangan negatif, semua yang Anda temui akan tampak negatif. Tutup pintu pemikiran Anda dan Anda akan menjadi berpikiran tertutup. Warnai pikiran dengan hal yang salah dan hidup Anda akan berakhir demikian. Jika Anda memiliki mindset berkembang, jika Anda meyakini adanya berbagai kemungkinan, Anda tidak akan mudah putus asa saat gagal. Jika Anda menemukan sesuatu untuk disyukuri dalam setiap situasi, Anda akan merasa diberkati dan bahagia di saat orang lain merasa tidak puas atau sedih.

Masalahnya adalah Law of Attraction punya sisi baik dan buruk. 

Dengan memercayai bahwa berpikir secara positif menghasilkan hasil yang positif, sebenarnya membuat orang yang melakukannya menjadi sangat rentan—karena mereka akan dengan sengaja menghindari memikirkan hasil yang berpotensi negatif. Lalu coba tebak? Ketika hasil negatif benar-benar terjadi, mereka tidak siap—dan yah begitulah hidup.

Itulah mengapa latihan premeditatio malorum (“perencanaan kejahatan”), yang akan kita bicarakan lebih lanjut di bawah, tidaklah berbahaya, seperti yang mungkin ditakuti oleh banyak penganut Secret, tetapi sebagai wujud keamanan. “Latih kata-kata ini dalam pikiran Anda,” kata Seneca, “pengasingan, penyiksaan, perang, kehancuran. Semua kondisi umum dalam diri manusia harus ada di depan mata kita.” Yang tidak waspada akan merasa hancur, tetapi yang bersiap, akan tetap tegar.

Intinya, disiplin persepsi tidak bisa berfungsi sendiri. Tetapi, yang terpenting adalah hal selanjutnya—disiplin tindakan.

Disiplin Tindakan

Saat kecil, Demosthenes—salah satu orator terhebat dalam sejarah dan seseorang yang akan dipelajari dengan cermat oleh orang-orang Stoic yang berpikiran publik—sakit-sakitan dan lemah dengan kesulitan bicara yang membuatnya lumpuh. Dia adalah anak yang kikuk yang tidak dimengerti orang dan semua orang menertawakannya.

Bayangan akan seorang orator hebat, seorang pria yang pernah Demosthenes saksikan berbicara di pengadilan di Athena terus terngiang dalam pikirannya saat muda. Seorang individu bisa membuat khalayak umum mendengarkan setiap katanya selama berjam-jam—hal itu menginspirasinya dan membuat Demosthenes tertantang, tetapi ia sangat menyadari bahwa orator yang percaya diri ini dalam banyak hal berlawanan dengan dirinya.

Jadi, dia mulai melakukan sesuatu. 

Untuk mengatasi kesulitannya dalam berbicara, dia mengisi mulutnya dengan kerikil dan mencoba praktik berbicara. Dia berlatih berpidato secara lengkap didengarkan oleh angin atau saat berlari di tanjakan yang curam. Dia mencukur setengah kepalanya sehingga dia terlalu malu untuk pergi keluar dan tidak punya pilihan selain tinggal di dalam dan berlatih pidato, ekspresi wajah, dan argumentasinya. Dia bahkan mengunci diri di bawah tanah di ruang istirahat yang dia bangun untuk belajar dan mendidik dirinya sendiri.

Semua usahanya ini akan terbayar. Sama seperti orator yang percaya diri yang citranya telah lama tersimpan di benaknya, Demosthenes memperoleh kemampuan untuk memimpin orang banyak dan akan menjadi lambang suara Athena, berkat kemampuannya sebagai pembicara yang baik dan kemurnian hatinya, menjadikannya salah satu orator terhebat di Athena.

Beberapa akademis pun menanyai Demosthenes apa tiga hal terpenting dalam pembuatan pidato, dan jawaban Demosthenes merangkum semuanya: “Aksi, aksi, aksi!”

Entah apakah impian Anda adalah menjadi orator hebat, penulis hebat, pengusaha hebat, atlet hebat—jalan untuk mewujudkan impian itu sama persis: sebuah jalan. Dan layaknya Anda melakukan perjalanan di sepanjang jalan dengan langkah-langkah, Anda bisa mencapai sesuatu tujuan adalah karena Anda mengambil langkah. Dan mengambil langkah berarti mengambil tindakan.

Nampak jelas jika tindakan adalah variabel penting dalam mencapai tujuan dan impian Anda. Tetapi, tidak untuk orang yang percaya dengan LOA. Menurut salah satu guru LOA, Esther Hicks, “Anda tidak datang ke lingkungan ini untuk berkreasi melalui tindakan.” Padahal tindakan adalah satu-satunya cara untuk menciptakan sesuatu. Hicks dan para pengikutnya percaya bahwa mengambil tindakan berarti meragukan kekuatan manifestasi Semesta. Lebih baik tunjukkan keyakinan kalian yang tidak perlu dipertanyakan lagi pada Semesta melalui kelambanan kalian sendiri.

Ini jelas merupakan antitesis dari cara hidup para Stoics. “Anda harus menyusun hidup Anda sendiri,” tulis Marcus Aurelius, “tindakan demi tindakan.”

Seorang CEO memanggil stafnya ke ruang konferensi menjelang peluncuran penemuan baru yang besar. Mereka berbaris dan mengambil tempat duduk mereka di sekeliling meja. Ia meminta perhatian orang-orang di ruangan dan memulai meeting, “Saya punya kabar buruk. Proyek ini gagal secara besar-besaran. Apa yang salah sebenarnya?”

Tim itu terkejut: Gagal?! Tapi, kita bahkan belum memulainya…!

Kedengarannya aneh, bahkan kontraproduktif jika menuntut karyawan berpikir negatif alih-alih secara optimis. Di lingkaran LOA, hal itu dilarang. Seperti kata guru LOA, Esther Hicks, “Pemikiran tentang apa yang tidak Anda inginkan hanya akan menarik lebih banyak hal yang tidak Anda inginkan ke dalam pengalaman Anda.”

Teknik yang digunakan CEO di atas dirancang oleh psikolog Gary Klein. Ini disebut premortem. Secara premortem, seorang manajer proyek harus membayangkan apa yang salah—apa yang akan salah—di awal, sebelum memulai.

Mengapa? Terlalu banyak usaha ambisius gagal hanya karena alasan yang sebenarnya bisa dicegah. Terlalu banyak orang tidak memiliki rencana cadangan karena mereka hanya mempertimbangkan bagaimana Semesta akan mewujudkan apa yang mereka harapkan dan inginkan.

Di kalangan bisnis saat ini, semua orang mulai dari perusahaan rintisan hingga perusahaan Fortune 500 dan Harvard Business Review melakukan latihan ini. Menanggapi langsung pemikiran yang optimis dan menyenangkan itu, para leader ini mendorong karyawan mereka untuk berpikir negatif..

Tetapi praktiknya jauh lebih mundur dari psikologi. Itu berasal dari ribuan tahun yang lalu, tepatnya dari para filsuf Stoic yang hebat seperti Marcus Aurelius, Epictetus, dan Seneca. Dan mereka memiliki nama yang lebih baik untuk itu: premeditatio malorum (perencanaan kejahatan).

Marcus Aurelius sebenarnya mempelajari satu praktik premeditatio malorum dari Epictetus. “Saat Anda mencium putra Anda dan mengucapkan selamat malam, kata Epictetus,” tulis Marcus, ayah dari empat belas anak, “berbisiklah pada diri sendiri, ‘Dia mungkin sudah mati di esok hari.’”

Jangan main-main dengan takdir! Kita bisa mendengar orang-orang yang percaya LOA berteriak seperti itu. “Jangan menggoda takdir, katamu,” lanjut Marcus. “Dengan berbicara tentang peristiwa alam? Apakah takdir tergoda ketika kita berbicara tentang biji-bijian yang dipanen?”

Maksud dari memikirkan hal yang tidak terpikirkan ini bukan berarti mengundangnya supaya terjadi. Tetapi ada tujuan lainnya. Orang tua yang menghadapi kenyataan bahwa mereka bisa kehilangan anak kapan saja adalah orang tua yang tidak berani menyia-nyiakan waktu. Orang tua yang bijak melihat dunia yang kejam dan berkata, “Aku tahu apa yang bisa kau lakukan untuk keluargaku di masa depan, tetapi untuk saat ini kau telah menyelamatkanku. Aku tidak akan menerima begitu saja.”

Atau ambil contoh penulis seperti Seneca. Praktik premeditatio malorumnya akan ia mulai saat meninjau atau melatih rencananya, misalnya, ketika ia akan melakukan perjalanan. Dan kemudian, di kepalanya (atau dalam tulisan), dia akan membahas hal-hal yang bisa jadi salah atau mencegahnya terjadi—badai bisa muncul, kapten bisa jatuh sakit, kapal bisa diserang oleh bajak laut.

“Tidak ada yang terjadi pada orang bijak yang bertentangan dengan harapannya,” tulisnya kepada seorang teman, “juga tidak semua hal terjadi sesuai keinginannya kecuali seperti yang dia perhitungkan dan dari semua itu dia menganggap bahwa ada sesuatu yang dapat menghalangi rencananya.”

Dengan melakukan latihan ini, Seneca selalu siap menghadapi gangguan dan selalu memasukkan gangguan itu ke dalam rencananya. Ia pantas menghadapi kekalahan atau kemenangan. Dan jujur saja, kejutan yang menyenangkan jauh lebih baik daripada kejutan yang tidak menyenangkan.

Wallace Wattles—yang bukunya The Science of Getting Rich menginspirasi The Secret karya Rhonda Byrne—berkata, “Jangan bicara tentang kemiskinan; jangan mencari tahu tentang kemiskinan, atau berkutat dengan kemiskinan. Jangan habiskan waktu dalam pekerjaan amal, atau gerakan amal, semua amal hanya cenderung melanggengkan kemalangan yang ingin diberantasnya… Berikan perhatian sepenuhnya pada kekayaan; abaikan kemiskinan.”

Itu adalah cara yang bagus untuk membuat diri Anda berada dalam kondisi yang sangat, sangat buruk jika terjadi sesuatu pada ekonomi atau pekerjaan Anda. Astaga.

Seneca, salah satu orang terkaya di Roma selama hidupnya, berbicara banyak tentang kemiskinan Kata “kemiskinan” muncul hampir seratus kali dalam suratnya kepada temannya, Lucilius.

Ia berbicara berulang kali tentang bagaimana kemiskinan bukanlah beban yang harus paling ditakuti. Ia berkata jika orang miskin memiliki pemahaman yang lebih baik tentang persahabatan sejati dan langgeng daripada orang kaya. Dia juga membicarakan mengenai orang seperti apa yang akan disambut di meja makannya—miskin atau kaya, tidak masalah, karakter seperti apa yang mereka miliki? Orang seperti apa mereka? Dia mengatakan jika orang miskin itu bukan orang yang memiliki lebih sedikit tetapi menginginkan lebih banyak.

Tentu saja, Seneca akan mencemooh saran Byrne dan Wattles untuk mengabaikan kemiskinan. Justru, saran Seneca adalah sebaliknya. Dia mengatakan jika kita harus melakukan apa yang ia lakukan secara rutin: mempraktikkan kemiskinan. Seperti yang dia jabarkan:

“Tetapkan hari-hari tertentu saat Anda akan mengambil jeda dari bisnis Anda dan membuat diri Anda merasa cukup hanya dengan sedikit uang. Jalin hubungan bisnis dengan kemiskinan… Karena kemiskinan sendiri yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Dewa yang telah mencemooh kekayaan. Tentu saja saya tidak melarang Anda untuk memiliki kekayaan, tetapi saya ingin Anda mencapai titik di mana Anda memilikinya dengan berani; ini hanya dapat dicapai dengan meyakinkan diri sendiri bahwa Anda dapat hidup bahagia tanpa kekayaan dan juga dengan kekayaan, dan dengan memikirkan jika kekayaan kemungkinan besar menghindari Anda.” 

Seneca bukanlah pengecualian yang langka. Banyak orang lainnya yang telah mempraktikkan kemiskinan tanpa hidup dalam kemiskinan.

Dari kumpulan biografi Romawi akhir yang dikenal sebagai Historia Augusta, ada kisah kaisar Romawi Marcus Aurelius seperti ini: “Dia belajar filsafat dengan semangat, bahkan saat masih muda. Ketika dia berusia dua belas tahun dia mengadopsi jubah itu dan, namun beberapa saat kemudian, dengan ketangguhannya sebagai seorang filsuf, ia belajar dengan mengenakan jubah Yunani yang kasar dan tidur di tanah; meskipun permintaan ibunya, dia dengan enggan setuju untuk tidur di sofa yang dipenuhi kulit.

Baru-baru ini, ketika kami mewawancarai Tim Ferriss, kami menanyakan saran atau praktik taktis apa yang akan dia rekomendasikan kepada pembaca kami yang ingin menumbuhkan ketahanan. Jawaban Tim? “Yang pertama adalah mempraktikkan kemiskinan,” katanya. Sebulan sekali, Tim melakukan puasa tiga hari “untuk sekadar membuat diri saya merasakan sensasi lapar yang sebenarnya, yang sering kali tidak saya kenal.”

Dia juga menyebutkan bagaimana temannya, seorang CEO kaya, menjadwalkan seminggu di setiap kuartal untuk tidur di sleeping bag di ruang tamunya dan bertahan hidup dengan kopi instan dan oatmeal instan. Dengan meyakinkan dirinya sendiri supaya tetap bisa berkembang meski tidak memiliki apa-apa, kemampuan pengambilan keputusannya pun jadi lebih baik. Dia bisa memikirkan gambaran besar daripada melakukan sesuatu karena takut atau kewajiban.

“Semakin Anda menjadwalkan dan mempraktikkan ketidaknyamanan dengan sengaja,” Tim menjelaskan, “semakin sedikit ketidaknyamanan yang tidak direncanakan akan mengganggu hidup Anda dan mengendalikan hidup Anda.”

Rhonda Byrne memberi nasihat supaya jangan memikirkan kematian. Saat dia menulis The Secret, “Jika Anda berpikir atau berbicara tentang penyakit, Anda akan menjadi sakit. Apa yang Anda pikirkan atau apa yang mengelilingi Anda—baik atau buruk, adalah apa yang akan Anda bawa pada diri Anda sendiri.”

Tapi inilah masalahnya: Anda sudah memiliki diagnosis terminal. Kita semua memilikinya! Seperti yang dikatakan oleh penulis Edmund Wilson, “Kematian adalah salah satu ramalan yang tidak pernah gagal.” Setiap orang dilahirkan dengan penyakit mematikan.

Itulah sebabnya selama hampir 3.000 tahun, para pemikir hebat pada dasarnya mengatakan hal yang sama: pikirkan tentang kematian. Kenyataannya, para Stoics tidak sendirian dalam memperdebatkan Byrne:

Socrates: “Satu-satunya tujuan dari mereka yang mempraktikkan filsafat adalah berlatih mengenai sekarat dan kematian.”

Shakespeare: “Ingatlah kematian saat mendekati akhir hidup.”

Michelangelo: “Tidak ada pemikiran dalam diriku tanpa melibatkan kematian yang diukir dengan pahat di dalamnya.”

Tolstoy: “Jika kita ingat bahwa kita akan segera mati, hidup kita akan sangat berbeda.”

Moses: “Ajarilah kami menghitung hari-hari kami, agar kami beroleh hati yang bijaksana.”

Mozart: “Kematian, ketika kita memikirkannya dengan cermat, adalah tujuan sebenarnya dari keberadaan kita.”

Sekali lagi, semua itu adalah kebijaksanaan yang berusia lebih dari 3.000 tahun dengan tema yang sama…

Setiap era dan setiap budaya memiliki caranya sendiri untuk mengajarkan pelajaran yang sama: Memento Mori, seperti yang diingatkan oleh orang Romawi sendiri. Pada kemenangan Romawi, sebagian besar publik akan terpaku pada jenderal pemenang di depan—salah satu tempat yang paling didambakan selama zaman Romawi. Hanya sedikit orang yang menyadari ajudan di belakang, tepat di belakang komandan, berbisik ke telinganya, Memento Mori. “Ingat, kamu fana.”

Apakah itu menyebabkan mereka semua mati sebelum waktunya? Em. Tidak.

Memento Mori bukan berarti menjadi sakit. Bukan juga untuk menggoda Semesta. Tetapi, seperti yang ditulis Samuel Johnson, “ketika seseorang tahu dia akan digantung dalam dua minggu, dia jadi mengingat kematian dengan baik.”

Para Stoics menganggap pemikiran tentang kefanaan mereka ini menghidupkan dan merendahkan hati. Tak heran jika salah satu biografi Seneca berjudul Dying Every Day. Lagi pula, Seneca-lah yang mendesak kita untuk mengatakan pada diri kita sendiri “Kamu mungkin tidak bangun besok”, ketika akan tidur dan “Kamu mungkin tidak tidur lagi” ketika kita bangun dan mengingat kematian kita. Atau seperti orang Stoic lainnya, Epictetus, mendesak murid-muridnya: “Ingatlah kematian dan pengasingan setiap hari, dan segala sesuatu yang tampak mengerikan—dengan melakukan itu, Anda tidak akan pernah memiliki pemikiran dan keinginan yang berlebihan.”

Gunakan pengingat-pengingat seperti itu dan renungkan setiap hari—biarkan itu menjadi landasan untuk menjalani hidup Anda sepenuhnya supaya tidak menyia-nyiakan sedetik pun.

Sumber: Dailystoic

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *