Pemerintah dan organisasi kesehatan masyarakat sudah sering ditugasi untuk mengubah perilaku, contohnya membujuk masyarakat supaya tidak hanya mempraktikkan jaga jarak sosial dan berdiam diri di suatu tempat dalam satu waktu, tetapi selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Kebanyakan dari kita pun menggunakan cara standar untuk mengajak orang berubah: Mengatakan apa yang harus dilakukan oleh mereka. Misalnya, “jangan pergi keluar,” “jaga jarak enam kaki,” “Cuci tangan Anda!” dan “Gunakan masker.”
Meskipun sejauh ini banyak orang masih mematuhi peraturan tersebut, memastikan semua orang patuh terhadap peraturan dalam jangka waktu panjang adalah hal yang sulit. Nyatanya, beberapa orang masih atau telah kembali berkumpul dalam kelompok. Beberapa gereja dengan dukungan dari pemimpin mereka, melanggar peraturan stay-at-home, dan banyak pengunjuk rasa juga meminta supaya bisnisnya kembali dibuka lebih cepat dari yang disarankan para ahli.
Pemberian arahan bisa dikatakan tidak efektif dalam mendorong perubahan perilaku jangka panjang karena kebanyakan dari kita merasa punya kontrol terhadap pilihan kita. Kenapa seorang membeli produk, menggunakan suatu jasa, atau melakukan suatu tindakan? Karena mereka menginginkannya. Oleh karena itu, ketika orang lain mencoba memengaruhi keputusan kita, kita tidak gampang terbujuk, kita bahkan menolak anjuran yang diberikan. Kita tetap keluar bersama teman, belanja lebih dari sekali dalam seminggu, dan tidak menggunakan masker. Kita menolak melakukan apa yang disarankan karena kita tidak mau seolah orang lain mengontrol diri kita.
Radar anti-bujuk rayu dalam diri kitalah yang meningkatkan sikap defensif. Sehingga, membuat kita menghindar, mengabaikan, atau bahkan membantah suatu rekomendasi dan mengumpulkan berbagai alasan mengapa saran dari orang lain itu adalah ide yang buruk. “Gubernur menyuruh untuk tetap tinggal di rumah, tapi mereka itu berlebihan. Mungkin virus itu memang berbahaya di beberapa negara, tapi aku belum tahu satu pun orang yang terkena virus itu. Dan mereka yang terinfeksi juga terlihat baik-baik saja, lalu apa sih masalahnya?” Bak pendebat tingkat SMA yang begitu berapi-api, mereka memaksakan pendapat dan menyanggah sampai-sampai ajakan tersebut tidak berarti lagi.
Jadi, saat membujuk seseorang untuk melakukan sesuatu tidak lagi ampuh, lalu apa hal yang perlu dilakukan? Dibandingkan dengan mencoba membujuk orang, membuat mereka membujuk diri mereka sendiri dirasa lebih efektif. Berikut adalah 3 cara yang dapat dilakukan.
- Tunjukkan adanya keganjilan.
Anda bisa meningkatkan rasa kontrol diri seseorang dengan menunjukkan ketidaksinambungan antara pemikiran dan tindakannya. Anda juga bisa mempertanyakan apa yang akan mereka rekomendasikan untuk orang lain dengan apa yang mereka rekomendasikan untuk diri sendiri.
Contohnya berkaitan dengan stay at home. Bagi kalangan muda yang menolak kampanye tersebut, tanyakan apa hal yang mereka sarankan kepada nenek, atau adik-adik mereka. Apakah mereka benar-benar ingin keluarganya berkeliaran di luar dan berinteraksi dengan orang-orang yang terinfeksi? Jika tidak, kenapa mereka berpikir kalau berkeliaran di luar rumah adalah hal yang aman?
Orang-orang cenderung mempertahankan konsistensi mereka. Mereka ingin supaya perilaku dan tindakan mereka tidak berlawanan. Dengan menyoroti keganjilan tersebut akan membuat mereka berpikir adanya ketidaksinambungan aksi dan pemikiran mereka.
Pimpinan di bidang kesehatan di Thailand menggunakan pendekatan ini dalam kampanye anti-rokok. Dibandingkan dengan mengatakan kepada perokok kalau merokok adalah hal yang buruk, mereka menyuruh anak-anak untuk mendekati para perokok di jalanan dan meminta pemantik api.
Tentu saja, para perokok menolak permintaan anak-anak itu. Bahkan, ada pula yang menceramahi anak-anak tersebut tentang bahayanya merokok. Namun, sebelum anak kecil itu pergi, mereka memberikan sebuah catatan kepada perokok itu yang berbunyi, “Anda khawatir dengan saya… tapi kenapa tidak khawatir dengan diri Anda sendiri?” Lalu, di bagian bawahnya ada nomor bebas pulsa yang bisa dihubungi oleh para perokok yang membutuhkan bantuan. Panggilan ke nomor tersebut pun meningkat sebanyak 60% selama kampanye tersebut.
- Ajukan pertanyaan.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah memberikan pertanyaan dibandingkan pernyataan. Pesan kesehatan masyarakat kerap disampaikan secara terang-terangan: “Junk food membuat Anda gemuk.” “Berkendara saat mabuk adalah pembunuhan.” “Tetap berdiam diri di satu tempat.” Namun, dengan pesan pemaksaan itu bisa membuat orang merasa ditakut-takuti.
Untuk mengakalinya, pernyataan tersebut bisa diubah ke pertanyaan: “Apakah menurutmu junk food bagus untuk kesehatan?” Jika ada yang menjawab tidak, mereka berada di posisi sulit. Dengan mendorong mereka untuk mengungkapkan opini mereka, mereka akan menemukan solusi, mengakui jika hal-hal tersebut tidak baik bagi mereka. Dan saat mereka melakukannya, akan lebih sulit bagi mereka untuk membenarkan perilaku buruk.
Pertanyaan bisa mengubah peran pendengar. Tidak seperti beradu argumen atau memikirkan alasan mengapa mereka tidak setuju dengan suatu perubahan, mengajukan pertanyaan akan membuat mereka memilah jawaban atas pertanyaan Anda dan pendapat mereka tentang hal tersebut. Hal ini pada akhirnya akan membuat mereka setuju. Kemudian, ini akan mendorong orang untuk berkomitmen pada kesimpulan: jika mereka mungkin tidak ingin mengikuti ajakan orang lain, tetapi mereka akan puas karena bisa mengambil keputusan sendiri.
Jawaban tersebut bukanlah sekadar jawaban; itu adalah jawaban yang menunjukkan pemikiran, kepercayaan, dan preferensi mereka sendiri. Sehingga, lebih mudah untuk mendorong mereka melakukan suatu tindakan. Berkaitan dengan masalah krisis, pertanyaan seperti, “Apa jadinya jika orang tercinta Anda jatuh sakit?” bisa menjadi cara efektif daripada memberikan arahan untuk berkomitmen pada pembatasan sosial jangka panjang atau pendek dan praktik kebersihan lainnya.
- Mengajak sedikit demi sedikit.
Pendekatan ketiga yang bisa Anda lakukan adalah mengurangi jumlah permintaan. Ada seorang dokter yang sedang menangani pasien sopir truk gemuk yang punya kebiasaan minum 3 liter Mountain Dew dalam sehari. Dokter itu meminta dia untuk menghentikan kebiasaan buruknya, tapi dia tahu kalau kemungkinan akan gagal, jadi dia mencoba cara lain.
Dokter meminta sopir truk tersebut untuk mengurangi konsumsi 3 liter menjadi 2 liter. Sopir truk tersebut menggerutu, tapi setelah beberapa minggu, dia berhasil melakukannya. Jadi, di kunjungan berikutnya, dokter memintanya mengurangi jadi 1 liter. Akhirnya setelah si sopir berhasil melakukannya, baru kemudian dokter menyarankan untuk berhenti minum minuman tersebut sepenuhnya. Supir truk tersebut sesekali masih minum satu kaleng Mountain Dew, tapi dia sudah berhasil menurunkan bobot sebanyak 25 pound.
Dalam kondisi masa krisis, organisasi kesehatan pastinya menginginkan perubahan secara cepat. Setiap orang harus tetap tinggal di rumah lebih dari dua bulan. Tapi, ajakan melakukan perubahan besar sering kali mendapat penolakan. Orang-orang seperti ini melakukan hal yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh orang-orang kebanyakan, sehingga dikategorikan oleh ilmuwan sebagai “the region of rejection” atau “wilayah penolakan”.
Pendekatan terbaik adalah dengan menekankan permintaan awal. Ajaklah mereka melakukan hal kecil sebagai langkah awal, baru kemudian ajak untuk melakukan hal besar. Bila ingin mengajak pada perubahan besar, ajaklah secara sedikit demi sedikit sehingga lebih mudah. Pemerintah yang bertanggung jawab dalam penanganan pandemi telah melakukan cara ini dengan menetapkan tanggal akhir untuk pembatasan sosial, lalu memperpanjangnya. Namun, masih ada kemungkinan lain, contohnya pencabutan aturan pembatasan berkumpul dalam jumlah kecil. Hanya saja, untuk keperluan lainnya seperti konser dan acara olahraga masih dilarang.
Dalam mengajak pada perubahan, baik itu pembatasan sosial, belanja seminggu sekali, cuci tangan dan memakai masker, atau mengubah perilaku lainnya dalam skala besar, sering kali kita justru menggunakan pendekatan berupa pemaksaan. Kita beranggapan jika mengingatkan orang dengan menjelaskan lebih banyak fakta, gambar, atau alasan, akan membuat mereka patuh begitu saja. Tetapi, seperti yang ditunjukkan dalam reaksi akhir-akhir ini mengenai pembatasan sosial terkait Covid-19, cara ini tidak selalu berhasil untuk jangka panjang, terutama saat tuntutan perubahan itu tidak memiliki tanggal akhir yang pasti.
Sebaliknya, jika kita memahami hambatan utama yang mencegah terjadinya perubahan, seperti adanya sikap penyangkalan, dan menerapkan cara tepat untuk mengatasinya, maka sudah pasti kita bisa mengubah segalanya.
Sumber: Harvard Business Review (Jonah Berger, 20 April 2020)