Senior Leadership sering kali menerima kebanyakan training leadership selama masa-masa akhir karier mereka, saat mereka memiliki pengalaman terbanyak dari yang lain. Perusahaan juga berusaha keras untuk mengadakan tinjauan terhadap talenta dan kinerja tahunan untuk mengetahui karyawan berkinerja tinggi dan berpotensi tinggi (HiPo’s) dan menawarkan pengembangan yang cukup. Dalam kedua kondisi tersebut, individu yang menerima pengembangan terbanyak adalah orang yang tidak terlalu membutuhkannya. Kami menyebut ini sebagai paradoks pengembangan kepemimpinan.
Dalam hal bisnis yang berinvestasi pada yang sumber daya perusahaan yang ‘terbaik’ dibandingkan dengan sumber daya terbatas terlihat jelas: Individu yang memiliki rekam jejak yang terlihat sukses patut untuk diakui, bukan? Mereka juga tampak sebagai taruhan pasti yang akan mendapat manfaat paling banyak dari peluang pengembangan kepemimpinan karena mereka memiliki pengalaman dan kemampuan yang diperlukan untuk tumbuh.
Konsekuensi dari paradoks pengembangan kepemimpinan adalah karyawan “sisanya” biasanya dikecualikan dari peluang tersebut, sehingga menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan yang dirasakan dalam perusahaan. Penemuan lama terkait penelitian kesehatan dan kebijakan adalah adanya ketidaksetaraan masyarakat dengan kesenjangan besar antara mereka yang berada dan tidak berada memiliki kualitas hidup yang lebih buruk. Demikian pula, perusahaan memiliki kesenjangan besar antara mereka yang menerima dan tidak menerima pengembangan kepemimpinan juga rentan terhadap kesenjangan dalam perusahaan.
Ditambah lagi, strategi ini bisa merusak ekspektasi karyawan. Umumnya, para pekerja percaya jika perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan karyawan peluang pengembangan selama rentang masa jabatan mereka. Gagal dalam memenuhi ekspektasi pada akhirnya bisa membawa konsekuensi negatif, seperti kinerja yang semakin memburuk, penurunan komitmen pada perusahaan, dan keinginan yang lebih besar untuk keluar.
Berikut adalah 3 asumsi yang umum tetapi berpotensi problematik yang mendasari paradoks dan strategi pengembangan kepemimpinan bagi para pemimpin untuk mengatasi beberapa blindspot tersebut.
Asumsi #1: Sukses adalah Hasil dari Usaha Individual
Orang-orang cenderung percaya jika usaha dan kerja keras individu yang membawa pada kesuksesan. Dengan pemikiran ini, alasan individu tidak sukses adalah karena mereka tidak memiliki etos kerja yang kuat. Namun, cobalah untuk mempertimbangkan pengamatan dari psikolog Kanada, Roger Barnsley di pertengahan tahun 1980 dan dideskripsikan ulang oleh Malcolm Gladwell di Outliers: Diantara kelompok elit pemain hoki, jumlah atlet yang tidak proporsional akan lahir lebih dekat di awal tahun. Kenapa bisa demikian?
Dikarenakan penutupan kelas hoki saat tanggal 1 januari di Kanada, seorang anak yang berusia 10 tahun pada tanggal 2 januari bisa bermain dengan anak lain yang belum berusia 12 tahun untuk tahun berikutnya; 12 bulan kecil ini memberikan perbedaan fisik yang besar di usia tersebut. Akibatnya, selagi kedua anak itu memberikan usaha yang sama, anak yang lebih tua cenderung lebih dipilih untuk tim all-star dan menerima waktu bermain lebih banyak dan juga pelatihan lebih baik—rangkaian keuntungan tersebut seiring waktu membuka jalan ke liga-liga besar.
Semua karyawan memasuki perusahaan dengan kombinasi kemampuan dan pengalaman unik mereka, beberapa di antaranya mungkin tidak berada di bawah kontrol langsung, yang bisa berkontribusi pada perbedaan kinerja dan tingkat produktivitas. Seiring waktu, individu dengan kinerja tinggi mendapatkan rangkaian keuntungan berupa: Mereka kemungkinan diundang ke program pengembangan kepemimpinan, dikenal sebagai HiPos, dan dipromosikan ke jabatan yang lebih senior dan memiliki eksposur lebih tinggi.
Konsekuensi bagi karyawan sisanya adalah rangkaian kerugian, di mana individu dengan kinerja rendah atau menengah kemungkinan tetap atau menurun dari kinerja mereka karena mereka dikecualikan dari program pengembangan kepemimpinan yang bisa meningkatkan kemampuan dan kapabilitas mereka, membawa pada peluang yang lebih sedikit untuk peningkatan karier.
Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah menawarkan dukungan pelatihan untuk semua karyawan dengan kriteria kinerja yang fleksibel untuk pemenuhan syarat.
Coba pertimbangkan Pendanaan Pembelajaran dari perusahaan perangkat lunak global, Adobe: Untuk mendukung pendidikan yang berkelanjutan dan pengembangan profesional, semua “karyawan yang memiliki kinerja baik” memenuhi syarat untuk pengembalian dana hingga $10.000 USD untuk gelar akademik dan sertifikasi lainnya, serta $1.000 USD untuk kesempatan pembelajaran jangka pendek. Meskipun kinerja karyawan masih jadi titik fokus dari pembuatan keputusan, Pendanaan Pembelajaran Adobe tidak secara tidak proporsional mendukung kinerja terbaik.
Asumsi #2: Kinerja Masa Lalu Bisa Memprediksi Kinerja Masa Depan
Sebuah prinsip dasar psikologi mengatakan bahwa perilaku masa lalu kita memprediksi perilaku masa depan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perusahaan memberikan penghargaan kepada karyawan berkinerja tinggi saat ini dengan peluang pengembangan lebih lanjut, dengan asumsi bahwa individu-individu ini akan terus berkinerja baik di masa depan. Namun, coba perhatikan 2 kondisi berikut yang menggambarkan jebakan dari asumsi ini.
Pertama adalah Prinsip Peter: Dalam hierarki apa pun, seperti yang ditemukan dalam organisasi, individu cenderung naik ke tingkat ketidakmampuan mereka. Ketika seorang karyawan bekerja dengan baik di jabatannya, mereka sering dipromosikan ke posisi yang lebih kompleks. Siklus promosi kinerja ini akan berulang hingga akhirnya, karyawan dipromosikan ke posisi final di mana mereka tak lagi bekerja dengan baik. Oleh karenanya, ketika promosi diberikan berdasarkan kinerja masa lalu saja, setiap jabatan di sebuah perusahaan pada akhirnya akan ditempati oleh seseorang yang mungkin berjuang untuk bisa berprestasi di tingkat yang lebih tinggi.
Kedua, terganggunya masa depan pekerjaan. Dalam “2020 Future of Jobs Report” di World Economic Forum, mereka memperkirakan bahwa pada tahun 2025, otomatisasi dan kemajuan teknologi akan menggantikan 85 juta pekerjaan dan menciptakan 97 juta pekerjaan baru. Akibatnya, perusahaan semakin dihadapkan pada tantangan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan individu untuk jabatan yang belum ditentukan, membuat kinerja karyawan dalam jabatan mereka saat ini hanya bagian dari puzzle yang lebih besar saat memprediksi kinerja mereka pada kemungkinan jabatan mereka di masa depan.
Salah satu pendekatan untuk mengatasi blind spot ini adalah dengan menilai elemen yang menunjukkan bahwa seorang individu memiliki potensi untuk berkembang untuk kebutuhan perusahaan di masa depan daripada memusatkan keputusan hanya pada kinerja mereka saat ini. Indikator yang relevan terdiri dari kelincahan belajar mereka yang mencerminkan kemauan dan kemampuan untuk belajar dan melakukan kompetensi baru, dan keterlibatan intelektual tertentu yang mencerminkan keinginan yang luas untuk terlibat dan memahami dunia. Instrumen laporan diri telah dikembangkan untuk menilai karakteristik ini, tetapi mereka juga dapat diukur melalui wawancara atau observasi—seperti dengan berfokus pada saat individu terakhir kali memperoleh keterampilan baru dan mampu menerapkannya pada situasi baru, atau seberapa fokus mereka ketika mencurahkan waktu untuk minat dan hobi mereka.
Secara lebih luas, perusahaan perlu memiliki praktik penilaian yang kuat untuk memastikan mereka berinvestasi pada orang yang tepat untuk pengembangan kepemimpinan, seperti instrumen yang valid dan bisa diandalkan secara ilmiah, pemahaman tentang konteks organisasi dan bisnis, dan profesional yang memenuhi syarat untuk menginterpretasikan hasil penilaian. Meskipun rekomendasi ini bukan hal baru, bukti menunjukkan banyak perusahaan saat ini gagal. Dalam studi tolak ukur yang meneliti 84 perusahaan, hanya sekitar satu dari empat yang menggunakan metode penilaian untuk mengidentifikasi HiPos.
Asumsi #3: Karyawan yang Termotivasi Paling Diuntungkan dari Pengembangan Kepemimpinan
Ketika organisasi mengirim karyawan ke program pengembangan kepemimpinan, tujuan akhir mereka adalah membuat mereka bekerja lebih baik dari sebelumnya. Untuk tujuan ini, manajer biasanya memilih individu yang mereka yakini paling mungkin mendapat manfaat dari pelatihan yaitu mereka yang umumnya termotivasi untuk belajar atau secara alami tertarik untuk memimpin dan oleh karena itu dianggap “siap secara perkembangan.” Akibatnya, individu yang memiliki ruang paling besar untuk tumbuh adalah mereka yang memiliki “kebutuhan perkembangan” paling banyak—tetapi, sering kali dikecualikan dari peluang tersebut.
Namun, apa yang terjadi jika kita menyertakan orang-orang itu dalam kesempatan pelatihan ini? Berapa banyak yang akan mereka dapatkan dari pelatihan kepemimpinan formal?
Paper terbaru kami yang diterbitkan di “The Leadership Quarterly” mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini. Kami mengikuti 240 kadet di Royal Canadian Air Cadet Program yang menjalani kursus pengembangan kepemimpinan enam minggu yang intensif dan berkelanjutan yang berpusat pada peningkatan kemampuan kepemimpinan mereka. Mirip dengan pengembangan kepemimpinan yang ditawarkan kepada karyawan di banyak organisasi bisnis, kursus ini disampaikan secara tatap muka, termasuk metode berbasis teori dan praktik, serta memberikan penilaian dan umpan balik.
Selama periode pelatihan tersebut, kami melacak perubahan peserta dalam efektivitas pemimpin—yaitu, kepercayaan diri mereka dalam memimpin orang lain. Kami menilai hasil ini karena untuk menjadi pemimpin yang efektif, individu perlu percaya diri dalam kemampuan kepemimpinan mereka, dan penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa keefektivitasan pemimpin bisa menilai kinerja kepemimpinan.
Kami menemukan bahwa individu dengan “kebutuhan perkembangan” terbesar adalah mereka yang umumnya kurang termotivasi untuk belajar atau secara alami tertarik untuk memimpin, memiliki pertumbuhan kepercayaan kepemimpinan dua kali lebih banyak daripada mereka yang paling “siap untuk perkembangan.” Pada akhir pelatihan, kesenjangan kepercayaan kepemimpinan antara kedua kelompok ini berkurang sebesar 35%. Jadi, mereka yang tampaknya tidak memiliki motivasi untuk belajar atau memimpin, pada kenyataannya mendapat manfaat dari investasi dalam pengembangan kepemimpinan, dan jika dipertimbangkan secara mutlak, sebenarnya mereka paling diuntungkan dari pengalaman ini.
Oleh karena itu, salah satu metode bagi para pemimpin untuk mengatasi blind spot ini adalah dengan memilih karyawan satu per satu ke dalam program pengembangan kepemimpinan—dalam kata lain, untuk setiap karyawan yang siap berkembang dan dipilih untuk program pengembangan kepemimpinan, dan sertakan karyawan dengan kebutuhan pengembangan. Hal ini memastikan bahwa kesenjangan kompetensi kepemimpinan antara dua kelompok individu ini tidak tumbuh dan menimbulkan kekangan kesenjangan organisasi. Meskipun program spesifik ini mungkin tidak sama untuk kedua kelompok ini dan tujuan pengembangan mereka berbeda, mereka masih menerima pengembangan yang memastikan perusahaan memiliki kumpulan talenta yang lebih kuat.
Pada akhirnya, memastikan bahwa paradoks pengembangan kepemimpinan tidak terjadi sangatlah penting, karena keberhasilan organisasi sangat bergantung pada karyawan yang “rata-rata berbakat” bukan pada sedikit yang berbakat. Di tengah perang talenta yang saat ini tidak memiliki batasan geografis dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, berinvestasi di karyawan “sisa” memastikan Anda memiliki cadangan yang kuat dan melindungi Anda dari risiko karyawan kabur di tengah masa Great Resignation.
Sumber: Harvard Business Review (Navio Kwok dan Winny Shen, 20 Januari 2022)