Kebanyakan dari kita tahu ada seorang dengan kinerja tinggi yang menjadi bully di tempat kerja atau seorang leader yang selalu menghasilkan pekerjaan dengan baik, tetapi menciptakan lingkungan yang toxic. Para “toxic rock star” bisa menghancurkan pengalaman bekerja bagi kebanyakan karyawan, tetapi mereka lebih berdampak buruk pada wanita kulit berwarna. Orang-orang seperti itu dan budaya yang memungkinkan mereka bertindak demikian adalah faktor utama yang mendorong wanita kulit berwarna meninggalkan tempat kerja mereka.
Penelitian menunjukkan jika budaya toxic merugikan perusahaan AS hampir $50 miliar per tahun, dan budaya toxic adalah satu-satunya dugaan terbesar pengurangan pekerja selama 6 bulan pertama dari Great Resignation. Di tengah perebutan akan kandidat berbakat, di saat hubungan antara keragaman dan hasil bisnis yang lebih baik akhirnya dipahami dan ketika pemangku kepentingan menuntut pertanggungjawaban pada metrik keberagaman, leaders perusahaan harus melihat secara cermat dampak luas dari mentoleransi dan memberikan reward kepada para bully yang berkinerja tinggi dengan mengorbankan budaya perusahaan, terutama karena mereka berpengaruh pada wanita kulit berwarna.
Wanita Kulit Berwarna Berkata, “Tak Bisa ditoleransi Lagi.”
Malia,* yang diwawancarai Deepa untuk buku terbarunya, telah menjadi seorang leader senior selama 10 tahun dan menjadi satu-satunya wanita senior dengan kulit berwarna di perusahaannya ketika tim eksekutifnya meminta dia untuk mengambil tanggung jawab untuk salah satu laporan terbesar di portofolio perusahaan. Dia dipasangkan dengan salah eksekutif lain yang berada di tingkatan yang sama, Frank*, yang merupakan seorang berkulit putih dan sepuluh tahun lebih tua dari Malia.
Segalanya sudah berjalan tidak baik dari awal. Dalam beberapa minggu, Malia tahu jelas kalau Frank adalah seorang bully. Dia akan berteriak dan mencaci maki staf, membuat komentar yang meremehkan tentang orang kulit berwarna, dan memperlakukan Malia seolah-olah dia adalah bawahannya, bukan yang setara dengannya. Frank menjelaskan bahwa Malia “beruntung bisa bekerja” dengannya dan mengatakan kepada Malia bahwa sejak Frank duduk di dewan kompensasi, dia memiliki kekuatan untuk menentukan langkah karier berikutnya dan gaji dar Malia. Faktanya, Frank sering berbicara tentang bagaimana dia memahami permainan politik kantor dan memainkannya lebih baik daripada orang lain di sekitarnya.
Ketika Malia menghubungi wanita senior lainnya di perusahaan untuk meminta saran, dia mengetahui bahwa Frank memiliki sejarah pelanggaran terhadap wanita dan pihak HR dan leadership lainnya sangat sadar akan perilakunya. Malia tidak mengerti mengapa semua orang melihat ke arah lain, dan saran mereka juga mengejutkannya. Mereka menyuruhnya untuk terus bekerja dengan baik dan mengabaikan Frank sebisa mungkin.
Setelah lebih dari satu tahun bertahan dengan perilaku Frank dan meskipun diberitahu itu akan menjadi sebuah “bunuh diri karier,” Malia akhirnya merasa dia harus melaporkan Frank melalui proses perselisihan formal—tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk wanita lain dan karyawan lain di sekitarnya. Itu adalah keputusan yang sulit dan berdampak pada kesehatan mental dan fisiknya. Setelah dia maju, prediksi itu menjadi kenyataan. Tim HR perusahaan tidak berusaha keras untuk menegur Frank, tetapi Malia tetap merasakan efeknya. Dalam tinjauan kinerjanya, peringkat Malia yang biasanya tinggi pun menurun. Dia diberitahu bahwa dia “perlu belajar bergaul” dengan orang lain. Seolah-olah dia telah menjadi masalah bagi perusahaannya, dan orang-orang tampaknya menerima bagaimana Frank dan memberinya tempat yang luas. Bagi Malia, jelas dia tidak bisa dan tidak akan berhasil bekerja di perusahaan yang menoleransi pengganggu seperti Frank. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan pekerjaan baru di sebuah perusahaan dengan budaya yang tidak mentolerir, apalagi menghargai, perilaku toxic.
Tragisnya, pengalaman Malia ternyata bukan satu-satunya. Pada musim panas dan gugur 2021, kami melakukan penelitian dengan wanita kulit berwarna dalam jabatan profesional untuk mempelajari apa yang berhasil dan apa yang tidak dilakukan. Melalui survei nasional terhadap lebih dari 1.500 wanita dan serangkaian pertemuan private dan wawancara, kami mendiskusikan pengalaman hidup mereka di tempat kerja. Berkali-kali, kami diberi tahu cerita tentang para pekerja berprestasi yang menodai budaya dan merugikan perempuan. Hasilnya? Dalam sebagian besar kasus, wanita kulit berwarna meninggalkan perusahaan untuk peluang yang lebih baik di mana mereka tahu bakat dan keterampilan mereka akan dihargai. Seperti yang dikatakan seorang wanita kepada kami, “Perusahaan saya mengabaikan perilaku buruk produser besar di perusahaan. Saya diberi label ‘berisik’ meskipun produser itu memiliki riwayat komplain yang panjang di catatan HR-nya. Apa pilihan lain yang saya miliki? Saya putuskan pergi—dan selamat tinggal!”
Wanita lain berkata, “Para leaders kami memanjakan karyawan “rock star” yang toxic dan membiarkan kami semua menanggung akibatnya.” Dan yang lain, yang memiliki cerita “Frank” versi lain, memberi tahu kami, “Sering kali, orang yang terpinggirkan yang seperti, ‘Hei, orang ini … rasis atau seksis’ diberhentikan sebagai satu-satunya serigala dan dicap sebagai orang yang sulit beradaptasi.”
Cerita mengenai karyawan rock star yang toxic bukan hal baru bagi wanita kulit berwarna, tetapi dampak mereka terhadap para wanita tersebut tak dapat diabaikan. Dengan memikul beban rasisme, mikroagresi, diabaikan, dan di beberapa kasus, menghadapi kebencian, membuat wanita kulit berwarna tidak hanya burnout, tetapi sebagaimana dilaporkan banyak orang kepada kami, mereka mengalami trauma. Penelitian kami menunjukkan jika wanita kulit berwarna 18% lebih sedikit dari wanita kulit putih dalam hal merasa disupport oleh manajer dan 19% lebih sedikit merasa skill dan pengalaman mereka dinilai dan ditingkatkan. 70% merasa mereka harus membuktikan diri mereka secara terus menerus supaya bisa diberikan reward secara adil. Karena permasalahan-permasalahan tersebut, tidak heran kalau rock star toxic sering menjadi masalah besar bagi karyawan yang begitu tangkas dan diinginkan ini.
Saat seorang mitra senior di agensi konsultasi global mengatakan kepada kami ketika dia membagikan cerita “Frank”-nya: “Saya sudah sangat jengah. Inilah waktunya perusahaan mengetahui konsekuensi dari tindakan mereka. Rock star yang toxic adalah sebuah kanker dalam budaya perusahaan. Membuat mereka ada di posisi yang tinggi menunjukkan bagaimana value perusahaan sebenarnya: profit di atas kepentingan orang lain.”
Mengapa Perusahaan Mentoleransi Rock Star yang Toxic?
Kami membantu para leaders perusahaan menumbuhkan budaya berkinerja tinggi yang dibangun di atas inklusi dan rasa memiliki di mana beragam karyawan, dan khususnya wanita kulit berwarna, ingin bekerja. Bagaimana menangani rock star yang toxic adalah permasalahan yang dihadapi hampir semua klien kami.
Di salah satu perusahaan klien, omset di divisi sales mencapai 48%. Alasannya? Seorang kepala sales yang berhasil mencapai hasil penjualan, tetapi membunuh budaya yang coba dibangun oleh CEO baru. Seperti yang dijelaskan oleh CEO yang bermaksud baik, “Saya tahu dia bermasalah, tetapi dia bisa memberikan hasil yang ingin dilihat oleh pemegang saham kami. Bagaimana saya bisa memecatnya ketika kami memiliki target pendapatan yang harus kami penuhi?”
Di lingkungan di mana keuntungan jangka pendek diapresiasi oleh Wall Street dan para investor, CEO sering menemukan diri mereka ditantang oleh tuntutan untuk bersaing. Tentu saja, karyawan rock star yang toxic bisa melakukannya. Namun, dampak jangka panjang dari seorang bully ini pada pengurangan pekerja, keterlibatan karyawan, productivity, dan branding atasan tidak dapat diabaikan.
Bagian dari permasalahan berasal dari mentalitas usang yang disebut “boys club”, di mana karyawan rock star dilindungi dengan mengorbankan karyawan berbakat dan budaya toxic pun diperkuat dengan mengorbankan reputasi dan keuntungan perusahaan. Namun di dunia sekarang ini, para leaders ditantang untuk mengubah cara mereka memimpin, dan ketika mereka tidak—atau tidak bisa—beradaptasi, mereka mempertaruhkan karier mereka sendiri dan kesuksesan perusahaan mereka.
Apa yang Harus Dilakukan oleh Leaders?
Sebuah survei baru-baru ini pada lebih dari 1.400 CEO dan anggota dewan global mengungkapkan bahwa kompetisi menemukan karyawan dengan kinerja baik adalah masalah utama yang dihadapi perusahaan saat ini. Sangat jelas jika kehilangan wanita kulit berwarna karena Anda tidak mau berbicara dengan karyawan rock star toxic Anda adalah cara menuju kegagalan di dunia kerja yang baru. Berikut adalah lima langkah yang dapat diambil leaders untuk memastikan para bully berkinerja tinggi dan tidak mengusir karyawan terbaik mereka.
Menetapkan kebijakan tanpa toleransi.
Ada beberapa perilaku yang tidak perlu diragukan lagi perlu dilakukan pemecatan segera. Tapi seringnya, para atasan mentolerir perilaku buruk karyawan rock star toxic meskipun adanya laporan berulang kali kepada manajemen dan pihak HR mengenai mereka. Jika seorang leader di perusahaan Anda dilaporkan sekali, selidiki. Coaching atau pelatihan yang diperpanjang mungkin dirasa pantas jika orang tersebut tidak mengerti bagaimana tindakan mereka merugikan orang lain. Tetapi adanya laporan kedua, ketiga, dan keempat yang tidak ditindak, seolah memberi tahu semua karyawan jika perilaku buruk dapat dikalahkan oleh faktor lain. Perusahaan harus mengambil tindakan tegas dan memberhentikan orang-orang yang menciptakan lingkungan toxic.
Lihatlah budaya tempat kerja Anda dengan jujur.
“Budaya perusahaan mana pun dibentuk oleh perilaku terburuk yang ditoleransi oleh leader,” seperti yang diamati oleh ahli pengembangan organisasi Steve Gruenert dan Todd Whitaker. Para leader harus bertanya pada diri sendiri apa yang mereka toleransi.
Perhatikan dengan cermat budaya perusahaan Anda. Lakukan survei budaya yang jujur, lakukan FGD, dan lakukan percakapan empat mata dengan karyawan di berbagai tingkatan. Jika Anda rendah hati, ingin tahu, dan berempati, Anda akan terkejut dengan apa yang akan Anda pelajari.
Cari tahu apa yang terjadi ketika seorang karyawan dilaporkan ke HR sebagai karyawan yang “toxic.” Apakah HR melakukan penilaian menyeluruh? Atau apakah mereka mengabaikan pengalaman pihak yang dirugikan? Apakah mereka mengabaikan keluhan yang berulang? Dan, yang penting, apakah mereka melakukan ini karena mereka yakin mereka melindungi perusahaan? Jika ya, saatnya untuk memulai dari awal.
Paling tidak, libatkan diri Anda dengan benar-benar mendengarkan karyawan Anda. Lakukan penilaian pengalaman karyawan secara menyeluruh, libatkan diri dalam kelompok ERG di perusahaan Anda, dan temui satu per satu karyawan untuk memahami apa yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan terbaik mereka. Selama proses berlangsung, tetaplah rendah hati. Terserah Anda untuk mengatur bagaimana budaya yang ingin Anda kembangkan, dan itu juga terserah Anda ketika budaya perusahaan menjadi serba salah.
Tingkatkan proses pemberian feedback jadi lebih baik.
Penelitian yang dilakukan oleh nFormation dan Fairygodboss pada tahun 2021 menemukan bahwa 60% wanita kulit berwarna merasa perusahaan mereka tidak siap untuk menangani insiden rasis di tempat kerja. Dalam penelitian kami di PowHER Redefined, 97% responden mengatakan perusahaan harus menetapkan proses yang lebih baik untuk menyelidiki rasisme dan diskriminasi di tempat kerja. Debra Soltis, seorang pengacara ketenagakerjaan terkemuka di Washington, menasihati kliennya untuk selalu mengingat bahwa “HR bukanlah teman Anda, tetapi HR itu ada untuk melindungi perusahaan.” Melaporkan perilaku yang tidak pantas, baik itu rasisme, seksisme, atau bahkan pelecehan seksual, membuat banyak perempuan menghadapi tugas berat karena harus mengajukan klaim berdasarkan tuduhan yang tidak berdokumen, pembalasan yang halus, dan saksi-saksi yang enggan berbicara.
Memberikan peluang pelaporan dengan anonim menggunakan tools seperti AllVoices atau FaceUp dapat membantu karyawan merasa yakin bahwa mereka tidak akan dihukum karena berbicara. Selain itu, menawarkan dukungan HR eksternal dan bimbingan pembinaan melalui organisasi seperti HRuprise dan Better Up dapat menjadi penyelamat emosional bagi mereka yang sudah menderita dari lingkungan kerja yang toxic.
Tanamkan value diri Anda ke dalam setiap aspek bisnis Anda.
Inklusi dan rasa memiliki telah menjadi core value bagi banyak perusahaan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun hal ini patut dipuji, tetapi jika value tersebut tidak tercermin dalam pengalaman hidup karyawan, intensi yang baik tersebut hanya menjadi performatif dan menciptakan ketidakpercayaan.
Analisa value dalam perusahaan untuk memastikan bahwa core value yang Anda ajarkan tertanam dalam semua aspek siklus hidup karyawan, mulai dari perekrutan, manajemen kinerja, interaksi tim, penetapan tujuan, dan banyak lagi. Lakukan survei karyawan untuk memahami apakah value tersebut bisa mereka rasakan. Ajukan pertanyaan sulit untuk memahami apakah para leaders dan manajer melakukan apa yang direncanakan. Jangan hanya mengatakan—tindak lanjuti dengan tindakan.
Jika Anda melihat sesuatu, katakan sesuatu.
Bagaimana bisa para leaders—khususnya, leaders pria—menjadi bagian dari solusi masalah ini? Hal ini dimulai dengan keberanian. Para leaders harus memahami bahwa bystander effect itu kuat. Ketika orang-orang menemukan adanya situasi toxic, mereka berpikir kalau orang lain dengan jelas tahu hal itu salah atau lebih baik turun tangan membantu. Hasilnya adalah banyak orang diam-diam setuju bahwa ada masalah tetapi tidak benar-benar ingin turun tangan.
Dalam buku Good Guys: How Men Can Be Better Allies for Women in the Workplace, Profesor David Smith dan Brad Johnson berpendapat bahwa para pria memainkan peran penting dalam menghardik perilaku toxic dari rekan pria mereka. Mereka menulis:
Sering kali ada keengganan untuk terlibat, karena pria cemas tentang apa yang seharusnya mereka lakukan, dan takut membuat kesalahan. Atau mereka mundur karena mereka pikir itu hanya masalah perempuan. Tapi, sebenarnya ini adalah masalah leadership, karena itu memengaruhi seluruh perusahaan…. Anda harus menaruh turut turun tangan. Misalnya, membela kolega wanita yang diinterupsi dalam meeting untuk ketiga kalinya, atau menolak lelucon seksis atau melecehkan. Pria harus mau menantang pria lain. Itulah satu-satunya cara kita akan melihat perubahan sejati.
Sekaranglah saatnya
Sangat disayangkan kehilangan wanita kulit berwarna di tempat kerja. Ada lebih banyak data yang menunjukkan keragaman, termasuk dalam tim leadership yang diterjemahkan menjadi pertumbuhan dan keuntungan. Dan seiring dengan semakin beragamnya tenaga kerja Amerika dan kami mulai menghadapi perubahan lanskap masa depan pekerjaan sebagai akibat dari Covid, ada juga penerimaan yang berkembang bahwa kita membutuhkan cara baru untuk memimpin. Kita membutuhkan leaders yang memahami masalah keragaman inti, memimpin dengan empati, dan memiliki pengalaman hidup yang unik.Wanita kulit berwarna dapat memberikan suara ini dan menunjukkan arah baru. Jangan menunggu lebih banyak trauma menimpa mereka dan lebih banyak kerugian yang menimpa keuntungan Anda. Saatnya untuk menyingkirkan karyawan rock startoxic jika Anda ingin mempertahankan karyawan berbakat yang Anda miliki dan menarik wanita kulit berwarna baru dan kandidat beragam lainnya untuk membantu Anda dan perusahaan Anda tumbuh dan berkembang dalam iklim persaingan saat ini.
Sumber: HBR (Deepa Purushothaman dan Lisen Stromberg, 20 April 2022)