Sistem kapitalis sedang terkepung. Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis semakin dipandang sebagai penyebab utama dari masalah sosial, lingkungan, dan ekonomi. Perusahaan secara luas dianggap menikmati kejayaan dengan mengorbankan masyarakat banyak.
Lebih buruk lagi, semakin banyak perusahaan yang mulai merangkul tanggung jawab perusahaan, justru semakin banyak perusahaan yang disalahkan atas kegagalan masyarakat. Legitimasi bisnis telah jatuh ke tingkat yang tak terlihat dalam sejarah akhir-akhir ini. Berkurangnya kepercayaan dalam bisnis membawa leader politik menetapkan kebijakan yang melemahkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagian besar masalahnya ada pada perusahaan itu sendiri, yang tetap terjebak dalam pendekatan usang terhadap value creation (penciptaan nilai) yang muncul dalam beberapa dekade terakhir. Mereka terus melihat value creation secara sempit, mengoptimalisasikan kinerja finansial jangka pendek di situasi sulit, serta menghilangkan kebutuhan konsumen yang paling penting dan mengabaikan pengaruh yang lebih luas yang menentukan keberhasilan jangka panjang mereka. Bagaimana bisa perusahaan mengabaikan kenyamanan konsumen mereka, menipisnya sumber daya alam yang vital bagi bisnis mereka, kelangsungan hidup dari supplier utama mereka, atau tekanan ekonomi di masyarakat tempat mereka memproduksi dan menjual? Bagaimana bisa perusahaan berpikir hanya dengan memindahkan aktivitas ke lokasi dengan upah yang lebih rendah adalah “solusi” berkelanjutan untuk tantangan yang kompetitif? Pemerintah dan masyarakat sipil sering kali memperburuk masalah dengan mengatasi kelemahan sosial dengan mengorbankan bisnis. Trade-off yang diduga terjadi antara efisiensi ekonomi dan kemajuan sosial telah diberlakukan dalam pilihan kebijakan di beberapa dekade.
Perusahaan-perusahaan harus memimpin langkah untuk menyatukan bisnis dan masyarakat kembali. Terlebih adanya pengakuan yang mulai muncul di antara pakar dan perusahaan ternama, dan elemen yang menjanjikan model baru. Sayangnya, kita masih kurang dalam kerangka keseluruhan untuk mengarahkan upaya tersebut, dan kebanyakan perusahaan tetap terjebak dalam pola pikir “tanggung jawab sosial” di mana masalah sosial berada di pinggiran dan bukan di inti.
Solusinya ada pada prinsip shared value, yang melibatkan penciptaan value ekonomi yang juga bisa menciptakan value dalam masyarakat dengan menangani kebutuhan dan permasalahan mereka. Bisnis harus menghubungkan ulang kesuksesan perusahaan dengan kemajuan sosial. Shared value bukanlah tanggung jawab, filantropi, atau bahkan keberlanjutan sosial, tetapi sebuah cara baru untuk mencapai kesuksesan ekonomi. Shared value tidak terletak pada margin dari apa yang dilakukan perusahaan, tetapi ada di pusat. Kita percaya bahwa hal itu bisa memunculkan transformasi besar dalam pemikiran bisnis.
Semakin banyak perusahaan yang dikenal dengan pendekatan hard-nosed dalam bisnis seperti GE, Google, IBM, Intel, Johnson & Johnson, Nestlé, Unilever, dan Wal-Mart—telah memulai upaya penting dalam creating shared value (CSV) dengan memahami hubungan antara masyarakat dan kinerja perusahaan. Namun, keyakinan kita terhadap kekuatan transformatif dari shared value masih ada di akarnya. Menyadari hal ini membutuhkan leaders dan manajer untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan baru—seperti apresiasi yang jauh lebih dalam terhadap kebutuhan masyarakat, pemahaman yang lebih besar tentang dasar sebenarnya dari productivity perusahaan, dan kemampuan untuk bekerja sama melewati batasan laba/nirlaba. Dan pemerintah harus belajar bagaimana membuat aturan yang memungkinkan terciptanya shared value dibandingkan menentangnya.
Kapitalisme adalah sebuah kendaraan yang tak terkalahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, meningkatkan efisiensi, menciptakan lapangan kerja, dan membangun kekayaan. Akan tetapi, konsepsi kapitalisme yang sempit telah menghalangi bisnis memanfaatkan potensi penuhnya dalam memenuhi tantangan masyarakat yang lebih luas. Peluang sebenarnya sudah ada selama ini, tetapi diabaikan. Bisnis bertindak seperti bisnis dan bukan sebagai bantuan amal, adalah kekuatan paling kuat untuk mengatasi masalah mendesak yang kita hadapi. Sekarang adalah waktunya bagi konsepsi kapitalisme yang baru; kebutuhan masyarakat itu besar dan bertambah, sementara konsumen, karyawan, dan generasi anak muda yang baru berharap bisnis untuk maju.
Tujuan dari adanya perusahaan harus didefinisikan ulang sebagai creating shared value (CSV), bukan hanya profit semata. Hal ini akan menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg gelombang inovasi berikutnya dan pertumbuhan productivity dalam ekonomi global. Hal ini juga akan membentuk ulang kapitalisme dan keterikatannya dengan masyarakat. Mungkin yang paling penting dari semuanya, belajar mengenai creating shared value adalah kesempatan terbaik untuk melegitimasi bisnis kembali.
Bertindak Melampaui Trade-Off
Bisnis dan masyarakat sudah cukup lama diadu satu sama lain. Hal itu sebagian karena para ekonom telah melegitimasi gagasan bahwa untuk memberikan manfaat sosial, perusahaan harus meredam kesuksesan ekonomi mereka. Dalam pemikiran neoklasik, syarat untuk perbaikan sosial—seperti keselamatan atau mempekerjakan penyandang disabilitas—merupakan kendala perusahaan. Menambahkan kendala ke perusahaan yang sudah memaksimalkan profitnya, menurut teori, pastinya akan meningkatkan biaya dan mengurangi profit tersebut.
Konsep yang terkait, dengan kesimpulan yang sama, adalah gagasan eksternalitas. Eksternalitas muncul ketika perusahaan menciptakan dampak sosial yang tidak seharusnya ditanggung masyarakat, seperti polusi. Oleh karenanya, masyarakat harus mengenakan pajak, regulasi, dan penalti supaya perusahaan “menginternalisasi” eksternalitas ini—suatu keyakinan yang memengaruhi banyak keputusan kebijakan pemerintah.
Perspektif ini juga telah membentuk strategi perusahaan itu sendiri, yang sebagian besar telah mengesampingkan pertimbangan sosial dan lingkungan dari pemikiran ekonomi mereka. Perusahaan telah menggunakan konteks yang lebih luas di mana mereka melakukan bisnis sebagai standar peraturan yang diberikan dan dilawan yang selalu bertentangan dengan kepentingan mereka. Pemecahan masalah sosial telah diserahkan kepada pemerintah dan LSM. Program tanggung jawab perusahaan, sebagai reaksi terhadap tekanan eksternal, sebagian besar muncul untuk meningkatkan reputasi perusahaan dan dianggap sebagai pengeluaran yang diperlukan. Jumlah pengeluaran yang lebih dari yang diperlukan akan dianggap oleh banyak orang sebagai penggunaan uang dari pemegang saham yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah, dalam tugas mereka, sering kali membuat aturan yang membuat shared value lebih sulit untuk dicapai. Secara implisit, masing-masing pihak telah berasumsi bahwa masing-masing dari mereka adalah penghalang untuk mengejar tujuan dan bertindak semestinya.
Sebaliknya, konsep dari shared value, mengakui bahwa kebutuhan masyarakat, bukan hanya kebutuhan ekonomi konvensional itu juga menentukan pasar. Konsep tersebut juga mengakui bahwa kerugian atau kelemahan sosial sering kali menciptakan biaya internal bagi perusahaan—seperti energi atau bahan mentah yang terbuang, kecelakaan berbiaya besar, dan kebutuhan akan pelatihan remedial untuk mengimbangi kekurangan dalam pendidikan. Dan mengatasi kerugian dan kendala masyarakat tidak serta merta meningkatkan biaya bagi perusahaan, karena mereka bisa berinovasi melalui penggunaan teknologi baru, metode operasi, dan pendekatan manajemen—dan sebagai hasilnya, meningkatkan productivity mereka dan memperluas pasar mereka.
Kemudian, shared value bukanlah tentang value personal saja, juga bukan tentang “membagikan” value yang sudah diciptakan oleh perusahaan—sebuah pendekatan redistribusi. Justru, shared value adalah tentang memperluas semua value ekonomi dan sosial. Contoh yang baik dari perbedaan perspektif ini adalah pergerakan fair trade dalam purchasing. Fair trade bertujuan untuk meningkatkan proporsi pendapatan yang masuk ke petani miskin dengan membayar harga yang lebih tinggi untuk hasil panen yang sama. Meskipun ini mungkin merupakan sistem sentimen yang baik, fair trade kebanyakan berhubungan dengan redistribusi dibandingkan dengan memperluas jumlah keseluruhan dari value yang diciptakan. Perspektif shared value justru berfokus pada peningkatan teknik penanaman dan penguatan kluster lokal supplier pendukung dan lembaga lain untuk meningkatkan efisiensi, hasil, kualitas produk, dan keberlanjutan petani. Ini mengarah pada pendapatan dan profit yang lebih besar yang menguntungkan baik petani dan perusahaan yang membeli dari mereka. Penelitian terbaru pada petani kakao di Côte d’Ivoire, contohnya, menunjukkan kalau fair trade bisa meningkatkan pendapatan petani sebesar 10% hingga 20 %, investasi shared value bisa meningkatkan pendapatan mereka lebih dari 300%. Investasi awal dan waktu mungkin dibutuhkan untuk menerapkan praktik pengadaan baru dan mengembangkan kluster pendukung, tetapi pengembaliannya akan berupa value ekonomi yang lebih besar dan manfaat strategis yang lebih luas bagi semua pihak.
Akar dari Shared Value
Dalam tingkatan yang paling mendasar, daya saing sebuah perusahaan dan kesehatan masyarakat di sekitar sangatlah terikat. Sebuah perusahaan membutuhkan masyarakat yang sukses, bukan hanya untuk menciptakan permintaan akan produk, tetapi juga untuk menyediakan aset publik yang penting dan lingkungan yang mendukung. Masyarakat juga membutuhkan perusahaan yang sukses untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan peluang kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hubungan ketergantungan ini menunjukkan jika kebijakan publik yang merusak productivity dan daya saing perusahaan itu merugikan sendiri, terutama dalam ekonomi global di mana fasilitas dan pekerjaan bisa dengan mudah berpindah ke tempat lain. Sayangnya, LSM dan pemerintah tidak selalu mengapresiasi hubungan tersebut.
Dalam pandangan kapitalisme lama yang sempit, perusahaan berkontribusi pada masyarakat dengan menghasilkan profit yang bisa membantu pekerjaan, upah, pembelian, investasi, dan pajak. Menjalankan perusahaan sebagaimana biasanya termasuk manfaat sosial yang memadai. Sebuah perusahaan adalah entitas mandiri, dan permasalahan sosial atau masyarakat berada di luar ruang lingkup wajarnya. (Ini adalah pendapat yang diajukan secara persuasif oleh Milton Friedman dalam kritiknya terhadap seluruh gagasan tentang corporate social responsibility (CSR)).
Kebutuhan masyarakat, bukan hanya kebutuhan ekonomi konvensional itu juga menentukan pasar dan kerugian sosial bisa menciptakan biaya internal bagi perusahaan.
Perspektif ini telah meresap ke dalam pemikiran manajemen selama dua dekade terakhir. Perusahaan berfokus untuk menarik konsumen supaya membeli lebih dan lebih pada produk mereka. Menghadapi persaingan pertumbuhan bisnis yang semakin ketat dan tekanan kinerja jangka pendek dari pemegang saham, para manajer menggunakan gelombang restrukturasi, pengurangan karyawan, dan relokasi ke daerah berbiaya lebih rendah, serta memanfaatkan neraca untuk mengembalikan modal kepada investor. Hasilnya sering kali berupa komoditasi, persaingan harga, sedikit inovasi yang tepat, pertumbuhan alami yang lambat, dan tidak ada keunggulan kompetitif yang jelas.
Dalam persaingan semacam ini, masyarakat hanya merasakan sedikit keuntungan ketika perusahaan mengalami peningkatan profit. Sebaliknya, perusahaan menganggap kalau profit datang karena mereka melakukan pengeluaran, sebuah kesan yang semakin kuat dalam pemulihan ekonomi saat ini, di mana meningkatnya pendapatan tidak banyak membantu untuk mengimbangi pengangguran yang tinggi, kesulitan bisnis lokal, dan beban berat pada layanan masyarakat.
Sebenarnya tidak harus demikian. Perusahaan terbaik pernah mengambil peran yang luas dalam memenuhi kebutuhan pekerja, masyarakat, dan bisnis pendukung. Namun, ketika institusi sosial lain muncul di tempat kejadian, peran tersebut dialihtugaskan. Memperpendek waktu investor bisa mempersempit pemikiran tentang investasi yang tepat. Ketika perusahaan yang terintegrasi secara vertikal memberi jalan untuk ketergantungan yang lebih besar pada vendor luar, outsourcing dan offshoring melemahkan hubungan antara perusahaan dan masyarakat. Ketika perusahaan memindahkan aktivitas yang berbeda ke lebih banyak lokasi, mereka sering kehilangan kontak dengan lokasi mana pun. Memang banyak perusahaan tidak lagi mengenali sebuah “rumah”—tetapi melihat diri mereka sebagai perusahaan “global.”
Transformasi ini menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg kemajuan besar dalam efisiensi ekonomi. Namun, sesuatu sangat penting hilang dalam prosesnya, karena peluang yang lebih mendasar untuk penciptaan value hilang. Lingkup pemikiran strategis pun berkurang.
Teori strategi menyatakan bahwa untuk menjadi sukses, perusahaan harus menciptakan proposisi value khusus yang memenuhi kebutuhan dari sekelompok pelanggan tertentu. Perusahaan memperoleh keunggulan kompetitif dari cara mengonfigurasi value chain, atau serangkaian aktivitas yang terlibat dalam menciptakan, memproduksi, menjual, menyerahkan, dan mendukung produk atau layanannya. Selama beberapa dekade, pebisnis telah mempelajari positioning dan cara terbaik untuk merancang aktivitas dan mengintegrasikannya. Namun, perusahaan telah mengabaikan peluang untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan salah memahami bagaimana kerugian dan kelemahan masyarakat memengaruhi value chain. Sudut pandang kita terlalu sempit.
Dalam memahami lingkungan bisnis, manajer telah memfokuskan sebagian besar perhatian mereka pada industri atau bisnis tertentu di mana perusahaan bersaing. Ini karena struktur industri memiliki dampak yang menentukan pada profitabilitas perusahaan. Namun, apa yang terlewatkan adalah pengaruh besar lokasi terhadap productivity dan inovasi. Perusahaan telah gagal untuk memahami pentingnya lingkungan bisnis yang lebih luas di sekitar operasi utama bisnis mereka.
Bagaimana Shared Value diciptakan?
Perusahaan dapat menciptakan value ekonomi dengan menciptakan value sosial. Ada tiga cara berbeda untuk melakukan ini: dengan memahami kembali produk dan pasar, mendefinisikan ulang productivity dalam value chain, dan membangun kluster industri yang mendukung di lokasi perusahaan. Masing-masing dari hal tersebut adalah bagian dari manfaat shared value; meningkatkan value di satu bidang memunculkan peluang di bidang lain.
Konsep shared value mengatur ulang batas-batas kapitalisme. Dengan menghubungkan kesuksesan perusahaan dengan peningkatan masyarakat dengan lebih baik, hal ini membuka banyak cara untuk melayani kebutuhan baru, mendapatkan efisiensi, menciptakan diferensiasi, dan memperluas pasar.
Sumber: HBR (Michael E. Porter dan Mark R. Kramer, dari the Magazine (Januari–Februari 2011)