Untuk bisa terus hidup, Jack Pritchard harus mengubah hidupnya. Operasi bypass tiga kali dan pengobatan bisa membantu, kata ahli bedah jantung, tetapi tidak ada perbaikan teknis yang dapat melepaskan Pritchard dari tanggung jawabnya sendiri untuk mengubah kebiasaan seumur hidup. Dia harus berhenti merokok, memperbaiki pola makan, berolahraga, dan meluangkan waktu untuk bersantai, mengingat untuk bernapas lebih dalam setiap hari. Dokter Pritchard mampu memberikan saran teknis secara berkelanjutan dan mengambil tindakan suportif, tetapi hanya Pritchard yang dapat menyesuaikan kebiasaannya yang mendarah daging untuk meningkatkan kesehatan jangka panjangnya. Dokter menghadapi tugas leadership untuk mobilisasi pasien dalam membuat perubahan perilaku yang kritis; Jack Pritchard menghadapi pekerjaan adaptif untuk mencari tahu perubahan spesifik mana yang harus dilakukan dan bagaimana memasukkannya ke dalam kehidupan sehari-harinya.
Perusahaan di masa kini menghadapi tantangan yang serupa dengan yang dihadapi Pritchard dan dokternya. Mereka menghadapi tantangan adaptif. Perubahan dalam masyarakat, pasar, pelanggan, persaingan, dan teknologi di seluruh dunia memaksa perusahaan untuk memperjelas value mereka, mengembangkan strategi baru, dan mempelajari cara-cara baru dalam bekerja. Sering kali tugas terberat bagi para leaders dalam melakukan perubahan adalah memobilisasi orang-orang di seluruh perusahaan untuk melakukan pekerjaan adaptif.
Pekerjaan adaptif dibutuhkan ketika keyakinan kita yang kita pegang teguh dipermasalahkan, ketika value yang membuat kita sukses menjadi kurang relevan, dan ketika perspektif kompetitif yang dibenarkan mulai muncul. Kami melihat tantangan adaptif setiap hari di setiap tingkat tempat kerja—ketika perusahaan merestrukturisasi atau merekayasa ulang, mengembangkan atau menerapkan strategi, atau menggabungkan perusahaan. Kami melihat tantangan adaptif ketika pemasaran mengalami kesulitan bekerja secara operasional, ketika tim lintas fungsi pekerjaan tidak bekerja dengan baik, atau ketika eksekutif senior mengeluh, “Kita tampaknya tidak dapat mengeksekusi secara efektif.” Masalah adaptif sering kali merupakan masalah sistemik tanpa jawaban yang siap.
Memobilisasi perusahaan untuk menyesuaikan perilakunya agar berkembang di lingkungan bisnis baru sangatlah penting. Tanpa perubahan seperti itu, perusahaan mana pun saat ini akan goyah. Pada dasarnya, membuat orang melakukan pekerjaan adaptif adalah ciri leadership di dunia yang kompetitif. Namun bagi sebagian besar eksekutif senior, menyediakan leadership dan bukan hanya sekadar karyawan ahli yang bisa diandalkan sangatlah sulit. Mengapa? Kami melihat dua alasan. Pertama, untuk membuat perubahan terjadi, para eksekutif harus mematahkan pola perilaku mereka sendiri yang sudah berlangsung lama: memberikan leadership dalam bentuk solusi. Kecenderungan ini cukup wajar karena banyak eksekutif mencapai posisi otoritas mereka berkat kompetensi mereka dalam mengambil tanggung jawab dan memecahkan masalah. Tetapi tujuan tanggung jawab untuk pemecahan masalah ketika sebuah perusahaan menghadapi tantangan adaptif harus beralih ke orang-orangnya. Solusi bagi tantangan adaptif tidak berada di jajaran eksekutif tetapi dalam kecerdasan kolektif karyawan di semua tingkatan yang perlu mengandalkan satu sama lain sebagai sumber daya dan sering kali melintasi batas, dan mempelajari bagaimana cara mereka menuju solusi tersebut.
Solusi bagi tantangan adaptif tidak berada di jajaran eksekutif tetapi dalam kecerdasan kolektif karyawan di semua tingkatan.
Kedua, perubahan adaptif menyusahkan orang-orang yang melaluinya. Mereka perlu mengambil posisi baru, hubungan baru, value baru, perilaku baru, dan pendekatan baru untuk bekerja. Banyak karyawan yang ragu mengenai upaya dan pengorbanan yang diperlukan dari mereka. Mereka sering mengatasi masalah yang ada di pundak eksekutif senior. Namun, ekspektasi seperti itu harus dihilangkan. Alih-alih memenuhi ekspektasi jika mereka akan memberikan jawaban, para leaders harus mengajukan pertanyaan yang sulit. Alih-alih melindungi orang dari ancaman luar, para leaders harus membiarkan mereka merasakan kenyataan untuk merangsang mereka beradaptasi. Alih-alih mengarahkan orang pada jabatan mereka saat ini, para leaders harus membuat mereka bingung sehingga hubungan baru dapat berkembang. Alih-alih memadamkan konflik, para leaders harus menarik keluar masalahnya. Alih-alih mempertahankan norma, para leaders harus menantang “cara menjalankan bisnis” dan membantu orang lain membedakan value paten dari praktik turun temurun yang harus dijalankan.
Berdasarkan pengalaman kami dengan manajer dari seluruh dunia, kami menemukan enam prinsip untuk memimpin pekerjaan adaptif: (1) Membiarkan pengamatan memandu tindakan, (2) mengidentifikasi tantangan adaptif, (3) mengatasi stres, (4) mempertahankan perhatian disiplin, (5) memberikan pekerjaan kembali kepada orang-orang, dan (6) melindungi suara leadership dari bawah. Kami mengilustrasikan prinsip-prinsip tersebut dengan contoh perubahan adaptif di KPMG Belanda, sebuah perusahaan jasa profesional.
Membiarkan pengamatan memandu tindakan
Kehebatan Earvin “Magic” Johnson dalam memimpin tim bola basketnya sebagian berasal dari kemampuannya bermain maksimal sembari tetap mengamati seluruh situasi permainan, seolah-olah dia berdiri di dalam press box atau di balkon di atas lapangan permainan. Bobby Orr bermain hoki dengan cara yang sama. Pemain lain mungkin gagal mengenali pola permainan yang lebih besar yang cepat dipahami oleh pemain seperti Johnson dan Orr, karena mereka begitu masuk dalam permainan sehingga mereka terbawa oleh permainan tersebut. Perhatian mereka ditangkap oleh gerakan cepat, kontak fisik, deru penonton, dan tekanan untuk mengeksekusi. Dalam olahraga, sebagian besar pemain mungkin tidak melihat siapa yang terbuka untuk mendapatkan operan, siapa yang melewatkan satu blok, atau bagaimana serangan dan pertahanan saling bekerja sama. Pemain seperti Johnson dan Orr mengamati hal-hal ini dan membiarkan pengamatan mereka memandu tindakan mereka.
Leaders bisnis harus bisa melihat pola seolah-olah mereka berada di balkon. Tidak ada gunanya bagi mereka untuk tergiring dalam aksi. Leaders harus melihat konteks perubahan atau menciptakannya. Mereka harus memberikan pemahaman yang kuat kepada karyawan tentang sejarah perusahaan dan hal-hal baik dari masa lalu perusahaan, serta gagasan tentang kekuatan pasar yang bekerja saat ini dan tanggung jawab yang harus diambil orang dalam membentuk masa depan. Leaders harus mampu mengidentifikasi perebutan value dan kekuasaan, mengenali pola penghindaran kerja, dan memperhatikan banyak reaksi fungsional dan disfungsional lainnya terhadap perubahan.
Tanpa kemampuan untuk bergerak secara bolak-balik dari ‘lapangan dan balkon’, seorang leader dengan mudahnya dan tanpa disadari bisa menjadi tawanan sistem saat merefleksikan mengenai banyak cara di mana kebiasaan perusahaan bisa menyabotase pekerjaan adaptif. Dinamika perubahan adaptif terlalu rumit untuk dilacak, apalagi dipengaruhi, jika para leaders hanya tinggal di lapangan.
Kami telah bertemu dengan beberapa leaders, beberapa di antaranya akan kami bahas dalam artikel ini, yang berhasil menghabiskan banyak waktu berharga mereka di ‘balkon’ saat mereka membimbing perusahaan mereka melewati perubahan. Tanpa perspektif ini, mereka mungkin tidak akan mampu memobilisasi orang untuk melakukan pekerjaan adaptif. ‘Berada di balkon’ dengan demikian merupakan prasyarat untuk mengikuti lima prinsip berikutnya.
Identifikasi Tantangan Adaptif
Ketika macan tutul memburu sekelompok simpanse, macan tutul jarang bisa berhasil menangkap seekor pun. Simpanse tahu bagaimana mengatasi ancaman semacam itu. Tetapi ketika seorang pria dengan senapan otomatis mendekat, respons yang biasa dilakukan simpanse tidak berhasil. Simpanse berisiko punah karena pemburu liar kecuali jika para simpanse menemukan cara untuk melucuti ancaman baru tersebut. Demikian pula, ketika bisnis tidak dapat belajar beradaptasi secara cepat dengan tantangan baru, mereka bisa saja menghadapi bentuk kepunahan mereka sendiri.
Ambil contoh kasus British Airways yang terkenal. Setelah mengamati perubahan revolusioner dalam industri penerbangan selama tahun 1980-an, kepala eksekutif saat itu Colin Marshall dengan jelas menyadari keharusan untuk mengubah maskapai penerbangan yang dijuluki Bloody Awful oleh penumpangnya sendiri supaya menjadi contoh layanan pelanggan. Dia juga memahami bahwa ambisi ini akan membutuhkan seluruh perubahan dalam value, praktik, dan hubungan di seluruh perusahaan. Sebuah perusahaan yang orang-orangnya berpegang teguh pada departemen fungsional dan lebih menghargai kesenangan atasan mereka daripada menyenangkan pelanggan tidak bisa menjadi “maskapai penerbangan favorit dunia.” Marshall membutuhkan perusahaan yang didedikasikan untuk melayani orang, bertindak berdasarkan kepercayaan, menghormati individu, dan membuat kerja tim secara lintas batas. Value harus berubah di seluruh British Airways. Orang-orang harus belajar bekerja sama dan mengembangkan rasa tanggung jawab kolektif untuk tujuan dan kinerja maskapai. Marshall mengidentifikasi pentingnya tantangan adaptif yaitu: menciptakan kepercayaan di seluruh perusahaan. Dia adalah salah satu eksekutif pertama yang kami kenal yang menjadikan “menciptakan kepercayaan” sebagai prioritas.
Untuk memimpin British Airways, Marshall harus membuat tim eksekutifnya memahami ancaman yang diciptakan oleh pelanggan yang tidak puas: Apakah itu merupakan tantangan teknis atau tantangan adaptif? Apakah saran ahli dan penyesuaian teknis dalam rutinitas dasar sudah cukup, atau akankah orang-orang di seluruh perusahaan harus mempelajari berbagai cara berbisnis, mengembangkan kompetensi baru, dan mulai bekerja secara kolektif?
Marshall dan timnya mulai mengamati secara lebih mendalam mengenai tantangan perusahaan. Mereka berfokus pada 3 area. Pertama, mereka mendengarkan ide dan kekhawatiran orang-orang di dalam dan di luar perusahaan—meeting dengan kru penerbangan, hadir di pusat reservasi 350 orang di New York, berkeliaran di sekitar area penanganan bagasi di Tokyo, atau mengunjungi penumpang yang bersantai di bandara mana pun mereka berada. Pertanyaan utama mereka adalah: Value, kepercayaan, sikap, atau perilaku siapa yang harus diubah agar terjadi kemajuan? Pergeseran apa dalam prioritas, sumber daya, dan kekuasaan yang diperlukan? Pengorbanan apa yang harus dilakukan dan oleh siapa?
Kedua, Marshall dan timnya melihat konflik sebagai petunjuk atau gejala dari tantangan adaptif. Konflik lintas fungsi yang ditunjukkan hanyalah fenomena permukaan; konflik yang mendasarinya harus diidentifikasi. Perselisihan atas masalah yang tampaknya teknis seperti prosedur, jadwal, dan batas wewenang sebenarnya adalah proksi untuk konflik mendasar tentang value dan norma.
Ketiga, Marshall dan timnya bercermin pada diri mereka sendiri, mengakui bahwa mereka mewujudkan tantangan adaptif yang dihadapi perusahaan. Pada awal transformasi British Airways, value dan norma yang bersaing dimainkan di tim eksekutif dengan cara yang disfungsional sehingga mengganggu kapasitas seluruh perusahaan untuk berkolaborasi lintas fungsi dan unit serta membuat pertukaran yang diperlukan. Tidak ada eksekutif yang dapat menyembunyikan fakta bahwa timnya mencerminkan value dan norma perusahaan yang terbaik dan terburuk, dan oleh karena itu perusahaan harus memberikan contoh kasus sebagai wawasan mengenai sifat pekerjaan adaptif di masa depan.
Dengan demikian, mengidentifikasi tantangan adaptif sangat penting dalam upaya British Airways untuk menjadi maskapai penerbangan favorit dunia. Agar strategi berhasil, para leaders perusahaan perlu memahami diri mereka sendiri, orang-orang mereka, dan potensi sumber konflik. Marshall menyadari bahwa pengembangan strategi itu sendiri membutuhkan kerja adaptif.
Mengatasi Stres
Pekerjaan adaptif menimbulkan stres. Sebelum menempatkan orang untuk mengerjakan tantangan yang tidak ada solusi yang tersedia, seorang leader harus menyadari bahwa orang hanya dapat belajar dengan kadar yang sesuai. Pada saat yang sama, mereka harus merasakan kebutuhan untuk berubah karena adanya kenyataan akan tantangan baru. Mereka tidak dapat mempelajari cara-cara baru ketika mereka kewalahan, tetapi menghilangkan stres sama sekali berarti menghilangkan https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan untuk melakukan pekerjaan adaptif. Karena seorang leader harus mencapai keseimbangan yang tepat antara membuat orang merasa perlu untuk berubah dan membuat mereka merasa kewalahan oleh perubahan, leadership adalah ujung tombak.
Seorang leader harus memperhatikan tiga tugas mendasar untuk membantu mempertahankan tingkat ketegangan yang produktif. Mengikuti tugas-tugas ini akan memungkinkan leader untuk memotivasi orang tanpa melumpuhkan mereka. Pertama, seorang leader harus menciptakan apa yang disebut sebagai holding environment. Dalam menggunakan analogi pressure cooker, seorang leader perlu mengatur tekanan dengan menaikkan panas sambil membiarkan uap keluar. Jika tekanan melebihi kapasitas kompor, kompor bisa meledak. Namun, tidak ada yang dimasak tanpa panas.
Pada tahap awal perubahan perusahaan, holding environment dapat menjadi “tempat” sementara di mana seorang leader menciptakan kondisi bagi kelompok yang berbeda untuk berbicara satu sama lain tentang tantangan yang dihadapi, untuk membingkai dan memperdebatkan masalah, dan untuk mengklarifikasi asumsi di balik perspektif dan value kompetitif. Seiring waktu, masalah yang lebih banyak bisa terjadi secara bertahap saat karyawan menjadi lebih matang. Di British Airways, misalnya, pergeseran dari fokus internal ke fokus pelanggan terjadi selama empat atau lima tahun dan menangani isu-isu penting secara berurutan dengan cara: membangun tim eksekutif yang kredibel, berkomunikasi dengan perusahaan yang sangat terfragmentasi, menentukan ukuran kinerja baru dan kompensasi, serta mengembangkan sistem informasi yang canggih. Selama waktu itu, karyawan di semua tingkatan belajar untuk mengidentifikasi apa dan bagaimana mereka harus berubah.
Dengan demikian, seorang leader harus mengurutkan dan mempercepat pekerjaan. Namun sering kali, manajer senior menyampaikan bahwa semua hal itu penting. Mereka memulai inisiatif baru tanpa menghentikan aktivitas lain, atau memulai terlalu banyak inisiatif pada saat yang bersamaan. Mereka membanjiri dan membingungkan orang-orang yang harus bertanggung jawab atas suatu pekerjaan.
Kedua, seorang leader bertanggung jawab untuk mengarahkan, melindungi, mengorientasi, mengelola konflik, dan membentuk norma. (Lihat paparan “Adaptive Work Calls for Leadership.”) Memenuhi tanggung jawab ini juga penting bagi seorang manajer dalam situasi teknis atau rutin. Tetapi seorang leader yang terlibat dalam pekerjaan adaptif menggunakan otoritasnya untuk memenuhi tanggung jawabnya secara berbeda. Seorang leader memberikan arahan dengan mengidentifikasi tantangan adaptif perusahaan dan membingkai pertanyaan dan masalah utama. Seorang leader mengorientasikan orang dengan mengelola tingkat perubahan. Seorang leader mengarahkan orang pada peran dan tanggung jawab baru dengan mengklarifikasi realitas bisnis dan value-value utama. Seorang leader membantu mengekspos konflik, melihatnya sebagai mesin kreativitas dan pembelajaran. Terakhir, seorang leader membantu perusahaan mempertahankan norma-norma yang harus dipertahankan dan menantang norma-norma yang perlu diubah.
Ketiga, seorang leader harus memiliki kehadiran dan ketenangan; mengatasi stres mungkin adalah pekerjaan leader yang paling sulit. Beban untuk memulihkan keseimbangan sangat besar. Sama seperti molekul membentur dinding kompor bertekanan, orang-orang membenturkan para leaders yang mencoba mempertahankan tekanan dari pekerjaan yang keras dan penuh konflik. Meskipun leadership menuntut pemahaman yang mendalam tentang sulitnya perubahan seperti ketakutan dan pengorbanan yang terkait dengan penyesuaian kembali yang besar, leadership juga membutuhkan kemampuan untuk tetap stabil dan mempertahankan ketegangan. Jika tidak, beban akan hilang dan rangsangan untuk belajar dan berubah juga akan hilang.
Seorang leader harus memiliki kemampuan emosional untuk menoleransi ketidakpastian, kekesalan, dan rasa sakit. Dia harus mampu mengajukan pertanyaan sulit tanpa menjadi terlalu cemas sendiri. Karyawan serta kolega dan pelanggan dengan hati-hati akan mengamati isyarat verbal dan nonverbal terhadap kemampuan leader untuk tetap stabil. Dia perlu mengomunikasikan keyakinan bahwa dia dan mereka dapat menangani tugas-tugas yang ada di depan.
Mempertahankan Atensi yang Terkendali
Orang-orang yang berbeda dalam perusahaan yang sama membawa pengalaman, pendapat, value, keyakinan, dan kebiasaan yang berbeda dalam pekerjaan mereka. Keragaman ini berharga karena inovasi dan pembelajaran adalah produk dari perbedaan. Tak ada yang bisa dipelajari oleh seseorang tanpa merasa terbuka terhadap sudut pandang yang kontras. Namun para manajer di semua tingkatan sering kali tidak mau—atau tidak mampu—untuk mengatasi perspektif persaingan mereka secara kolektif. Mereka sering menghindari dalam memperhatikan masalah yang mengganggu mereka. Mereka mengembalikan keseimbangan dengan cepat, sering kali dengan manuver penghindaran kerja. Seorang leader harus membuat karyawannya menghadapi pertukaran yang sulit dalam value, prosedur, gaya bekerja, dan kekuasaan.
Hal itu benar adanya bukan hanya bagi tingkat atas perusahaan, tetapi juga tingkat tengah atau di garis depan. Memang benar jika tim eksekutif tidak dapat mencontoh kerja adaptif, perusahaan akan kesulitan. Jika manajer senior tidak dapat menarik keluar dan menangani masalah yang memecah belah, bagaimana orang-orang di tempat lain dalam perusahaan mengubah perilaku mereka dan memperbaiki hubungan mereka? Seperti yang dikatakan Jan Carlzon, CEO legendaris Scandinavian Airlines System (SAS) kepada kami, “Salah satu misi leadership yang paling menarik adalah membuat orang-orang di tim eksekutif mendengarkan dan belajar satu sama lain. Dalam debat, orang dapat mempelajari cara mereka menemukan solusi kolektif ketika mereka memahami asumsi satu sama lain. Tugas seorang leader adalah mengungkapkan konflik dan menggunakannya sebagai sumber kreativitas.”
Seorang leader harus mengurutkan dan mempercepat pekerjaan. Namun sering kali, manajer senior menyampaikan bahwa semua hal itu penting. Mereka membanjiri dan membingungkan orang-orang yang perlu bertanggung jawab atas suatu pekerjaan.
Karena penghindaran kerja merajalela dalam perusahaan, seorang leader harus mengatasi gangguan yang mencegah orang berurusan dengan masalah adaptif. Pengkambinghitaman, penyangkalan, hanya berfokus pada masalah teknis saat ini, atau menyerang individu daripada perspektif yang mereka wakili, semua bentuk penghindaran pekerjaan tersebut, diekspektasikan ketika sebuah perusahaan melakukan pekerjaan adaptif. Gangguan harus diidentifikasi ketika terjadi sehingga orang akan kembali fokus.
Ketika konflik murni menggantikan diskusi, seorang leader harus turun tangan dan menempatkan tim untuk bekerja membingkai ulang isu-isu tersebut. Dia harus memperdalam perdebatan tersebut dengan pertanyaan, menguraikan bagian-bagian masalah daripada membiarkan konflik tetap terpolarisasi dan dangkal. Ketika orang menyibukkan diri dengan menyalahkan faktor eksternal, manajemen yang lebih tinggi, atau beban kerja yang berat, seorang leader harus mempertajam rasa tanggung jawab tim untuk mengukir waktu untuk bergerak maju. Ketika bagian tim dan individu berusaha melindungi area mereka sendiri, para leader harus menunjukkan perlunya kerja sama. Orang-orang harus menemukan nilai konsultasi satu sama lain dan menggunakan satu sama lain sebagai sumber daya dalam proses pemecahan masalah. Misalnya, seorang CEO yang kita kenal menggunakan meeting eksekutif yang berfokus pada masalah operasional dan teknis, sebagai peluang untuk mengajari tim cara bekerja secara kolektif dalam mengatasi masalah adaptif.
Tentu saja, hanya manajer langka saja yang bermaksud menghindari pekerjaan adaptif. Secara umum, orang merasa tidak yakin tentang hal itu. Meskipun mereka ingin membuat kemajuan dalam masalah-masalah sulit atau hidup sesuai dengan value mereka yang diperbarui dan diperjelas, orang-orang juga ingin menghindari kesusahan. Sama seperti jutaan warga AS ingin mengurangi defisit anggaran federal, tetapi tidak dengan menyerahkan uang pajak atau tunjangan atau pekerjaan mereka, demikian juga, para manajer mungkin menganggap pekerjaan adaptif sebagai prioritas tetapi mengalami kesulitan mengorbankan cara mereka menjalankan bisnis. Orang membutuhkan leadership untuk membantu mereka mempertahankan fokus mereka pada pertanyaan-pertanyaan sulit. Atensi yang terkendali adalah mata uang leadership.
Berikan Kembali Pekerjaan kepada Orang-Orang
Setiap orang dalam perusahaan mereka memiliki akses khusus ke informasi yang berasal dari sudut pandang khusus mereka. Setiap orang mungkin melihat kebutuhan dan peluang yang berbeda. Orang-orang yang merasakan perubahan awal di pasar sering kali berada di pinggiran, tetapi perusahaan akan berkembang jika dapat membawa informasi itu ke dalam keputusan taktis dan strategis. Ketika orang tidak bertindak berdasarkan pengetahuan khusus mereka, bisnis gagal beradaptasi.
Sering kali, orang mencari rantai komando, mengharapkan manajemen senior untuk memenuhi tantangan pasar yang menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Memang tekanan yang lebih besar dan lebih persisten yang menyertai pekerjaan adaptif membuat ketergantungan seperti itu semakin buruk. Orang cenderung menjadi pasif, dan manajer senior yang bangga menjadi pemecah masalah mengambil tindakan tegas. Perilaku itu memulihkan keseimbangan dalam jangka pendek tetapi pada akhirnya mengarah pada kepuasan diri dan kebiasaan menghindari pekerjaan yang melindungi orang dari tanggung jawab, rasa sakit, dan kebutuhan untuk berubah.
Membuat orang memikul tanggung jawab yang lebih besar tidaklah mudah. Tidak hanya banyak karyawan tingkat bawah yang nyaman diberi tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak manajer yang terbiasa memperlakukan bawahan seperti mesin yang memerlukan kontrol. Membiarkan orang mengambil inisiatif dalam mendefinisikan dan memecahkan masalah berarti bahwa manajemen perlu belajar untuk mendukung daripada mengendalikan. Pekerja, pada bagian mereka, perlu belajar untuk bertanggung jawab.
Manajemen perlu belajar untuk mendukung daripada mengontrol. Pekerja, pada bagian mereka, perlu belajar untuk bertanggung jawab.
Jan Carlzon menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg pengambilan tanggung jawab di SAS dengan memercayai orang lain dan mendesentralisasikan otoritas. Seorang leader harus membiarkan orang memikul beban tanggung jawab. “Kuncinya adalah membiarkan mereka menemukan masalahnya,” katanya. “Anda tidak akan berhasil jika orang tidak membawa pengakuan atas masalah dan solusi dalam diri mereka sendiri.” Untuk itu, Carlzon mencari keterikatan yang lebih luas.
Misalnya, dalam dua tahun pertamanya di SAS, Carlzon menghabiskan hingga 50% waktunya untuk berkomunikasi secara langsung dalam meeting besar dan secara tidak langsung dengan berbagai cara inovatif: melalui workshop, sesi brainstorming, latihan pembelajaran, buletin, brosur, dan paparan di media publik. Dia menunjukkan melalui berbagai tindakan simbolis—misalnya, dengan menghilangkan ruang makan eksekutif yang megah dan membakar ribuan halaman manual book dan handbook—sejauh mana aturan telah mendominasi perusahaan. Dia menjadikan dirinya hadir secara sebenarnya, melakukan meeting dan mendengarkan orang-orang baik di dalam maupun di luar perusahaan. Dia bahkan menulis sebuah buku, “Moments of Truth” (HarperCollins, 1989), untuk menjelaskan value, filosofi, dan strateginya. Seperti yang ditulis Carlzon, “Jika tidak ada orang lain yang membacanya, setidaknya orang-orang saya akan membacanya.”
Seorang leader juga harus mengembangkan kepercayaan diri kolektif. Sekali lagi, Carlzon mengatakannya dengan baik: “Orang tidak dilahirkan dengan kepercayaan diri. Bahkan orang yang paling percaya diri pun bisa hancur. Kepercayaan diri berasal dari kesuksesan, pengalaman, dan lingkungan perusahaan. Peran leader yang paling penting adalah untuk menanamkan kepercayaan pada orang-orang. Mereka harus berani mengambil resiko dan tanggung jawab. Anda harus mendukung mereka jika mereka membuat kesalahan.”
Lindungi Suara Leadership dari Tingkat Bawah
Memberikan suara kepada semua orang adalah dasar dari sebuah perusahaan yang mau bereksperimen dan belajar. Namun pada kenyataannya, whistleblower (pelapor pelanggaran), creative deviant, dan suara-suara orisinal lainnya secara terus-menerus dihancurkan dan dibungkam dalam kehidupan perusahaan. Mereka menghasilkan ketidakseimbangan, dan cara termudah bagi sebuah perusahaan untuk memulihkan keseimbangan adalah dengan menetralisir suara-suara itu, terkadang atas nama kerja tim dan “penyelarasan.”
Suara-suara dari bawah biasanya tidak begitu jelas seperti yang diinginkan. Orang-orang yang berbicara di luar otoritas mereka biasanya sadar diri dan terkadang harus membangkitkan “terlalu banyak” passion untuk mempersiapkan diri mereka untuk berbicara. Tentu saja, hal itu sering membuat mereka sulit berkomunikasi secara efektif. Mereka memilih waktu dan tempat yang salah, dan sering melewati jalur komunikasi dan jalur otoritas yang tepat. Tetapi sebuah pendapat yang terkubur dalam diri seseorang bisa menghilangkan intuisi penting yang perlu diutarakan dan dipertimbangkan. Membuang suara tersebut karena waktu yang tidak tepat, kurangnya kejelasan, atau tampak tidak masuk akal berarti kehilangan informasi yang bisa saja penting dan mengecilkan hati calon leader dalam perusahaan.
Itulah yang terjadi pada David, seorang manajer di sebuah perusahaan manufaktur besar. Dia telah mendengarkan ketika atasannya menhttps://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg orang untuk mencari masalah, berbicara secara terbuka, dan bertanggung jawab. Jadi, dia mengangkat masalah tentang salah satu proyek kesayangan CEO—masalah yang dianggap “terlalu panas untuk ditangani” dan telah disembunyikan selama bertahun-tahun. Semua orang mengerti bahwa topik itu tidak terbuka untuk diskusi, tetapi David tahu bahwa melanjutkan proyek dapat merusak atau menggagalkan elemen utama dari keseluruhan strategi perusahaan. Dia mengangkat masalah ini secara langsung dalam sebuah meeting dengan atasannya dan CEOnya. Dia memberikan gambaran yang jelas tentang masalah, garis besar mengenai perspektif kompetitif, dan ringkasan konsekuensi jika terus mengejar proyek.
CEO dengan marah memadamkan diskusi dan memperkuat aspek positif dari proyek kesayangannya. Ketika David dan atasannya meninggalkan ruangan, bosnya meledak: “Kamu pikir kamu siapa, dengan sikapmu yang sok suci itu?” Dia menyindir bahwa David tidak pernah menyukai proyek kesayangan CEO karena David tidak menemukan ide itu sendiri. Topik ditutup.
David memiliki keahlian yang lebih besar di bidang proyek daripada atasannya atau CEOnya. Tetapi kedua atasannya tidak menunjukkan rasa ingin tahu, tidak ada upaya untuk menyelidiki alasan David, tidak ada kesadaran bahwa dia berperilaku secara bertanggung jawab dengan kepentingan perusahaan. David secara cepat memahami bahwa lebih penting untuk memahami apa yang penting bagi bos daripada berfokus pada masalah nyata. CEO dan bos David secara bersamaan menekan sudut pandang seorang leader dari bawah dan dengan demikian membunuh potensi leadership dalam perusahaan. David kemungkinan akan meninggalkan perusahaan atau tidak pernah melawan arus lagi.
Para leader harus mengandalkan orang lain dalam bisnis dalam mengajukan pertanyaan yang mungkin mengindikasikan tantangan adaptif yang akan datang. Mereka harus memberikan perlindungan kepada orang-orang yang menunjukkan kontradiksi internal perusahaan. Orang-orang seperti itu sering memiliki perspektif untuk memprovokasi pemikiran ulang yang biasanya tidak dimiliki oleh orang-orang yang berwenang. Jadi, sebagai aturan praktis, ketika figur otoritas merasakan https://ruangpikir.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpggan refleksif untuk memelototi atau membungkam seseorang, mereka harus melawan. Dorongan untuk memulihkan keseimbangan sosial cukup kuat, dan muncul dengan cepat. Seseorang harus terbiasa “berada di balkon”, menahan impuls, dan bertanya, Apa yang sebenarnya dibicarakan orang ini? Apakah ada sesuatu yang kita lewatkan?
Melakukan Pekerjaan Adaptif di KPMG Belanda
KPMG Belanda yang sangat sukses memberikan contoh yang baik tentang bagaimana perusahaan dapat terlibat dalam pekerjaan adaptif. Pada tahun 1994, Ruud Koedijk, kepala perusahaan, menyadari tantangan strategis. Meskipun kemitraan audit, konsultasi, dan persiapan pajak adalah leader di industri di Belanda dan tergolong sangat menguntungkan, peluang pertumbuhan di segmen yang dilayaninya terbatas. Margin dalam bisnis audit sedang diperas karena pasar menjadi lebih jenuh, dan persaingan dalam bisnis konsultasi juga meningkat. Koedijk tahu bahwa perusahaan perlu pindah ke area pertumbuhan yang lebih menguntungkan, tetapi dia tidak tahu apa itu atau bagaimana KPMG bisa mengidentifikasinya.
Koedijk dan jajaran dewannya yakin bahwa mereka memiliki alat untuk melakukan pekerjaan strategi analitis: menganalisis tren dan diskontinuitas, memahami kompetensi inti, menilai posisi kompetitif mereka, dan memetakan peluang potensial. Mereka kurang yakin bahwa mereka dapat berkomitmen untuk menerapkan strategi yang akan muncul dari pekerjaan mereka. Secara historis, kemitraan telah menolak upaya untuk berubah, pada dasarnya karena mitra puas dengan keadaannya. Mereka telah sukses untuk waktu yang lama, jadi mereka tidak melihat alasan untuk mempelajari cara-cara baru dalam berbisnis, baik dari rekan-rekan mereka atau dari siapa pun yang lebih rendah jabatannya dalam perusahaan. Membalikkan sikap mitra dan dampaknya yang mendalam terhadap budaya perusahaan merupakan tantangan adaptif yang sangat besar bagi KPMG.
Koedijk bisa “melihat dari balkon” bahwa struktur KPMG sendiri menghambat perubahan. Sebenarnya, KPMG bukanlah kemitraan melainkan kumpulan area kecil di mana masing-masing mitra adalah tuan. Keberhasilan perusahaan adalah pencapaian kumulatif dari masing-masing mitra individu, bukan hasil terpadu dari 300 rekan yang bekerja sama menuju ambisi bersama. Keberhasilan diukur semata-mata dalam hal keuntungan unit individu. Seperti yang dijelaskan oleh salah satu mitra, “Jika laba perusahan tepat, maka Anda adalah ‘mitra yang baik.” Akibatnya, satu mitra tidak akan masuk tanpa izin di wilayah lain, dan belajar dari orang lain adalah peristiwa yang langka. Karena kemerdekaan sangat dihargai, konfrontasi jarang terjadi dan konflik disamarkan. Jika mitra ingin menolak perubahan di seluruh perusahaan, mereka tidak membunuh masalah secara langsung. “Katakan iya, bukan tidak” adalah frasa operatifnya.
Koedijk juga tahu bahwa rasa otonomi ini menghambat pengembangan talenta baru di KPMG. Para direktur memberi reward kepada bawahan mereka karena dua hal: tidak membuat kesalahan dan menghasilkan jumlah jam kerja yang tinggi per minggunya. Penekanannya bukan pada kreativitas atau inovasi. Para mitra mencari kesalahan ketika mereka meninjau pekerjaan bawahan mereka, bukan untuk memberikan pemahaman baru atau wawasan baru. Meskipun Koedijk dapat melihat garis besar tantangan adaptif yang dihadapi perusahaannya, dia tahu bahwa dia tidak dapat memerintahkan perubahan perilaku. Apa yang bisa dia lakukan adalah menciptakan kondisi bagi orang-orang untuk menemukan sendiri bagaimana mereka perlu berubah. Dia pun mengatur proses untuk mewujudkan perubahan.
Untuk memulainya, Koedijk mengadakan meeting dengan 300 mitra dan memusatkan perhatian mereka pada sejarah KPMG, realitas bisnis saat ini, dan masalah bisnis yang akan mereka hadapi. Dia kemudian mengajukan pertanyaan tentang bagaimana mereka akan berubah sebagai sebuah perusahaan dan meminta perspektif mereka tentang masalah tersebut. Dengan meluncurkan inisiatif strategis melalui diskusi dibandingkan perintah, ia membangun kepercayaan di dalam jajaran mitra. Berdasarkan kepercayaan yang muncul dan kredibilitasnya sendiri, Koedijk membujuk para mitra untuk melepaskan 100 mitra dan non-mitra dari tanggung jawab sehari-hari mereka untuk mengerjakan tantangan strategis. Mereka akan mencurahkan 60% waktu mereka selama hampir empat bulan untuk pekerjaan itu.
Koedijk dan rekan-rekannya membentuk tim integrasi strategis yang terdiri dari 12 mitra senior untuk bekerja dengan 100 profesional (disebut “the 100”) dari berbagai tingkat dan disiplin ilmu. Melibatkan orang-orang yang punya peringkat di bawah mitra dalam inisiatif strategis utama tergolong masih asing dan menandakan pendekatan baru dari awal. Banyak pendapat orang-orang tersebut belum pernah dihargai atau dicari oleh figur otoritas di perusahaan. Dibagi menjadi 14 satuan tugas, 100 orang akan bekerja di tiga bidang: mengukur tren masa depan dan diskontinuitas, mendefinisikan kompetensi inti, dan bergulat dengan tantangan adaptif yang dihadapi perusahaan. Mereka ditempatkan di lantai terpisah dengan staf pendukung mereka sendiri, dan mereka tidak dibatasi oleh aturan dan peraturan tradisional. Hennie Both, direktur pemasaran dan komunikasi KPMG, masuk sebagai manajer proyek.
Saat strategi mulai berjalan, gugus tugas harus menghadapi budaya KPMG yang ada. Mengapa? Karena mereka benar-benar tidak dapat melakukan pekerjaan baru mereka dalam aturan lama. Mereka tidak dapat bekerja ketika rasa hormat yang kuat terhadap individu diawali dengan mengorbankan kerja tim yang efektif, ketika keyakinan individu yang dipegang teguh menghalangi diskusi yang baik, dan ketika loyalitas unit membentuk penghalang untuk pemecahan masalah lintas fungsional. Yang terburuk, anggota gugus tugas mendapati diri mereka menghindari konflik dan tidak mampu mendiskusikan masalah tersebut. Sejumlah gugus tugas menjadi disfungsional dan tidak dapat melakukan pekerjaan strategi mereka.
Untuk memusatkan perhatian mereka pada apa yang perlu diubah, Koedijk dan jajaran dewan pun membantu gugus tugas memetakan budaya yang mereka inginkan terhadap budaya saat ini. Mereka menemukan sangat sedikit yang tumpang tindih. Budaya yang berlaku saat ini adalah mengembangkan pandangan yang berlawanan, menuntut kesempurnaan, dan menghindari konflik. Sementara itu, karakteristik utama dari budaya yang diinginkan adalah: menciptakan kesempatan untuk pemenuhan diri, mengembangkan lingkungan yang peduli, dan memelihara hubungan saling percaya dengan rekan kerja. Mengartikulasikan kesenjangan dua budaya ini menjadikan tantangan adaptif kelompok yang dihadapi KPMG menjadi nyata bagi kelompok. Dengan kata lain, orang-orang yang perlu melakukan perubahan akhirnya membingkai tantangan adaptif untuk diri mereka sendiri: Bagaimana KPMG bisa berhasil pada strategi berbasis kompetensi yang bergantung pada kerja sama di beberapa unit dan lapisan jika orang-orangnya tidak berhasil dalam gugus tugas ini? Berbekal pemahaman itu, anggota gugus tugas bisa menjadi utusan ke seluruh perusahaan.
Pada tingkat yang lebih personal, setiap anggota diminta untuk mengidentifikasi tantangan adaptif individunya. Sikap, perilaku, atau kebiasaan apa yang masing-masing perlu diubah, dan tindakan spesifik apa yang akan dia ambil? Siapa lagi yang perlu dilibatkan agar perubahan individu dapat terjadi? Bertindak sebagai pelatih dan konsultan, anggota gugus tugas saling memberikan feedback dan saran yang mendukung. Mereka telah belajar untuk saling curhat, mendengarkan, dan menasihati dengan hati-hati.
Kemajuan dalam masalah ini meningkatkan tingkat kepercayaan secara dramatis, dan anggota gugus tugas mulai memahami apa arti mengadaptasi perilaku mereka dalam istilah sehari-hari. Mereka memahami bagaimana mengidentifikasi masalah adaptif dan mengembangkan bahasa untuk mendiskusikan apa yang perlu mereka lakukan untuk meningkatkan kemampuan kolektif mereka dalam memecahkan masalah. Mereka berbicara tentang diskusi, penghindaran kerja, dan penggunaan kecerdasan kolektif kelompok. Mereka tahu bagaimana memanggil satu sama lain pada perilaku disfungsional. Mereka sudah mulai mengembangkan budaya yang diperlukan untuk menerapkan strategi bisnis baru.
Terlepas dari terobosan penting untuk mengembangkan pemahaman kolektif tentang tantangan adaptif, mengatasi tingkat stres adalah perhatian konstan untuk Koedijk, jajaran dewan, dan keduanya. Pekerjaan memang menyebabkan stres. Kerja strategis berarti penugasan yang luas dengan instruksi yang terbatas; di KPMG, orang terbiasa dengan tugas yang sangat terstruktur. Kerja strategis juga berarti menjadi kreatif. Pada suatu breakfast meeting, seorang anggota dewan berdiri di atas meja untuk menantang kelompok agar lebih kreatif dan mengesampingkan aturan lama. Perilaku radikal dan tak terduga ini semakin meningkatkan tingkat kesulitan: Tidak ada yang pernah melihat mitra berperilaku seperti ini sebelumnya. Orang-orang menyadari bahwa pengalaman kerja mereka telah mempersiapkan mereka hanya untuk melakukan tugas-tugas rutin dengan orang-orang “seperti mereka” dari unit mereka sendiri.
Proses tersebut memungkinkan terjadinya konflik dan memusatkan perhatian orang pada isu-isu hangat untuk membantu mereka belajar bagaimana menangani konflik secara konstruktif. Tetapi ketegangan dipertahankan dalam kisaran yang dapat ditoleransi dengan beberapa cara berikut:
- Pada satu kesempatan ketika ketegangan sangat tinggi, 100 orang berkumpul untuk menyuarakan keprihatinan mereka kepada jajaran dewan dalam sebuah meeting bergaya Oprah Winfrey. Dewan duduk di tengah auditorium dan mengambil pertanyaan tajam dari kelompok sekitarnya.
- Kelompok tersebut merancang sanksi untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Di Belanda yang gila sepak bola, semua peserta dalam proses itu diberi kartu kuning yang digunakan wasit sepak bola untuk menunjukkan “pelanggaran” kepada pemain yang melanggar. Mereka menggunakan kartu untuk menghentikan aksi ketika seseorang mulai memperdebatkan maksudnya tanpa mendengarkan atau memahami asumsi dan perspektif kompetitif dari peserta lain.
- Kelompok tersebut membuat simbol. Mereka membandingkan KPMG lama dengan kuda nil yang besar dan tidak praktis, suka sekali tidur, dan menjadi agresif ketika kebiasaan normalnya terganggu. Mereka bercita-cita menjadi lumba-lumba, yang mereka cirikan sebagai suka bermain, bersemangat untuk belajar, dan dengan senang hati bersedia bekerja lebih keras untuk tim. Mereka bahkan memperhatikan pernyataan yang dibuat oleh pakaian: Beberapa klien terkejut melihat manajer berkeliaran di kantor KPMG musim panas itu dengan celana pendek dan kaos Bermuda.
- Kelompok sengaja membuat tujuan untuk bersenang-senang. “Waktu bermain” bisa berarti bersepeda jarak jauh atau permainan senjata laser di pusat hiburan lokal. Dalam satu momen spontan di kantor KPMG, sebuah diskusi tentang kekuatan orang-orang yang dimobilisasi menuju tujuan bersama membuat kelompok itu keluar dan menggunakan kekuatan kolektif mereka untuk memindahkan balok beton yang tampaknya tak tergoyahkan.
- Kelompok ini sering menghadiri meeting di luar lokasi selama dua atau tiga hari untuk membantu menutup sebagian pekerjaan.
Tindakan tersebut, secara keseluruhan, mengubah sikap dan perilaku. Rasa ingin tahu menjadi lebih dihargai daripada ketaatan pada aturan. Orang-orang tidak lagi tunduk pada figur otoritas senior; Diskusi yang baik menetralisir kekuatan hierarkis dalam perebutan ide. Kecenderungan setiap individu untuk mempromosikan solusi hewan peliharaannya memberi jalan untuk memahami perspektif lain. Keyakinan akan kemampuan orang-orang di unit yang berbeda untuk bekerja sama dan menyelesaikan masalah muncul. Orang-orang dengan pikiran yang paling ingin tahu dan pertanyaan yang menarik segera menjadi yang paling dihormati.
Sebagai hasil menghadapi tantangan strategis dan adaptif, KPMG secara keseluruhan akan beralih dari audit ke asuransi, dari konsultasi operasi untuk membentuk visi perusahaan, dari rekayasa ulang proses bisnis untuk mengembangkan kemampuan perusahaan, dan dari mengajarkan keterampilan tradisional kepada kliennya sendiri untuk menciptakan perusahaan pembelajaran. Gugus tugas mengidentifikasi peluang bisnis baru senilai $50 juta hingga $60 juta.
Sebagai hasil dari menghadapi tantangan strategis dan adaptif, gugus tugas KPMG mengidentifikasi peluang bisnis baru senilai $50 juta hingga $60 juta.
Banyak mitra senior yang percaya bahwa perusahaan yang didominasi oleh mentalitas audit yang tidak dapat menampung orang-orang kreatif akan merasa terkejut ketika proses tersebut membuka kreativitas, semangat, imajinasi, dan kemauan untuk mengambil risiko. Dua cerita berikut menggambarkan perubahan mendasar yang terjadi dalam pola pikir perusahaan.
Kami melihat seorang manajer menengah mengembangkan kepercayaan diri untuk menciptakan bisnis baru. Dia melihat peluang untuk menyediakan layanan KPMG ke perusahaan virtual dan aliansi strategis. Dia berkeliling dunia, mengunjungi para leader 65 perusahaan virtual. Hasil penelitian inovatifnya menjadi sumber daya bagi KPMG untuk memasuki pasar yang sedang berkembang ini. Selain itu, ia mewakili KPMG baru dengan memberikan pidato utama membahas temuannya di forum dunia. Kami juga melihat seorang auditor wanita berusia 28 tahun dengan terampil memandu sekelompok mitra senior pria yang lebih tua melalui hari yang menyulitkan dengan melihat peluang yang terkait dengan penerapan strategi baru perusahaan. Hal itu tidak mungkin terjadi tahun sebelumnya. Mitra senior tidak akan pernah mendengarkan suara seperti itu dari bawah.
Leadership sebagai Pembelajaran
Banyak upaya dilakukan untuk mengubah perusahaan melalui penggabungan perusahaan dan akuisisi, restrukturisasi, rekayasa ulang, dan kerja strategis goyah karena manajer gagal memahami persyaratan kerja adaptif. Mereka membuat kesalahan klasik dalam memperlakukan tantangan adaptif seperti masalah teknis yang dapat diselesaikan oleh eksekutif senior yang berpikiran keras.
Implikasi dari kesalahan itu masuk ke inti pekerjaan para leader dalam perusahaan saat ini. Para leader yang menyusun strategi memiliki akses ke keahlian teknis dan alat yang mereka butuhkan untuk menghitung manfaat penggabungan perusahaan atau restrukturisasi, memahami tren dan diskontinuitas di masa depan, mengidentifikasi peluang, memetakan kompetensi yang ada, dan mengidentifikasi mekanisme pengarah untuk mendukung arah strategis mereka. Alat dan teknik ini sudah tersedia baik di dalam perusahaan maupun dari berbagai perusahaan konsultan, dan sangat berguna. Namun, dalam banyak kasus, strategi yang tampaknya bagus, justru gagal diterapkan. Dan sering kali kegagalan tersebut salah diidentifikasi: “Kami memiliki strategi yang baik, tetapi kami tidak dapat menjalankannya secara efektif.”
Kenyataannya, strategi itu sendiri sering kali kurang karena terlalu banyak perspektif yang diabaikan selama perumusannya. Kegagalan untuk melakukan pekerjaan adaptif yang diperlukan selama proses pengembangan strategi adalah gejala dari orientasi teknis manajer senior. Manajer sering kali mendapatkan solusi mereka untuk suatu masalah dan kemudian mencoba menjualnya kepada beberapa rekan kerja dan mengabaikan atau menenggelamkan orang lain dalam proses pembangunan komitmen. Sering kali, para leaders, tim mereka, dan konsultan gagal mengidentifikasi dan mengatasi dimensi adaptif dari tantangan dan bertanya pada diri sendiri, “Siapa yang perlu mempelajari hal-hal untuk mengembangkan, memahami, berkomitmen, dan mengimplementasikan strategi?”
Orientasi teknis yang sama menjebak inisiatif rekayasa ulang dan restrukturisasi proses bisnis, di mana konsultan dan manajer memiliki pengetahuan untuk melakukan pekerjaan teknis dalam membingkai tujuan, merancang alur kerja baru, mendokumentasikan dan mengomunikasikan hasil, dan mengidentifikasi aktivitas untuk dilakukan oleh orang-orang dalam perusahaan. Dalam banyak kasus, rekayasa ulang gagal mencapai sasaran karena memperlakukan desain ulang proses sebagai masalah teknis: Manajer lalai mengidentifikasi pekerjaan adaptif dan melibatkan orang-orang yang harus melakukan perubahan. Eksekutif senior gagal menginvestasikan waktu dan jiwa mereka dalam memahami masalah ini dan membimbing orang melalui transisi. Memang, rekayasa itu sendiri adalah metafora yang salah.
Singkatnya, gagasan yang berlaku bahwa leadership mempunyai visi dan menyelaraskan orang dengan visi itu tidak berhasil, karena terus memperlakukan situasi adaptif seolah-olah itu hal teknis: Sosok yang bertugas seharusnya menentukan ke mana arah perusahaan, dan orang-orang berada seharusnya mengikuti. Leadership direduksi menjadi kombinasi pengetahuan besar dan keahlian menjual. Perspektif seperti itu mengungkapkan kesalahpahaman dasar tentang cara bisnis berhasil dalam mengatasi tantangan adaptif. Situasi adaptif sulit untuk didefinisikan dan diselesaikan dengan tepat karena mereka menuntut pekerjaan dan tanggung jawab manajer dan orang-orang di seluruh perusahaan. Mereka tidak menerima solusi yang diberikan oleh para leaders; solusi adaptif membutuhkan anggota perusahaan untuk mengambil tanggung jawab atas situasi bermasalah yang mereka hadapi.
Leadership harus dilakukan setiap hari dan tidak bisa menjadi tanggung jawab segelintir orang, peristiwa langka, atau kesempatan sekali seumur hidup. Di dunia kita, dalam bisnis kita, kita menghadapi tantangan adaptif sepanjang waktu. Ketika seorang eksekutif diminta untuk mengatur aspirasi yang bertentangan, dia dan orang-orangnya menghadapi tantangan adaptif. Ketika seorang manajer melihat solusi untuk suatu masalah—teknis dalam banyak hal kecuali bahwa hal itu memerlukan perubahan sikap dan kebiasaan bawahan—dia menghadapi tantangan adaptif. Ketika seorang karyawan yang dekat dengan garis depan melihat kesenjangan antara tujuan perusahaan dan tujuan yang diminta untuk dicapai, dia menghadapi tantangan adaptif dan risiko serta peluang untuk memimpin dari bawah.
Leadership, seperti yang terlihat dalam hal ini, membutuhkan strategi pembelajaran. Seorang leader, dari tingkat atas atau bawah, dengan atau tanpa otoritas, harus melibatkan orang-orang dalam menghadapi tantangan, menyesuaikan value mereka, mengubah perspektif, dan mempelajari kebiasaan baru. Bagi orang yang berwibawa yang membanggakan kemampuannya untuk mengatasi masalah yang sulit, perubahan ini mungkin dianggap sebagai perubahan yang sulit. Tetapi perubahan ini juga harus meringankan beban seseorang saat harus mengemban semua beban dan menyediakan jawaban untuk semua masalah. Bagi orang yang menunggu untuk menerima panggilan atau “visi” untuk memimpin, perubahan ini mungkin juga tampak sebagai campuran antara kabar baik dan kabar buruk. Tuntutan adaptif zaman kita membutuhkan leaders yang bertanggung jawab tanpa menunggu pencerahan atau permintaan. Seseorang bisa memimpin tanpa banyak pertanyaan di tangannya.
Sumber: HBR (Ronald Heifetz dan Donald L. Laurie, dari the Magazine (Desember 2001)