Lebih Seringlah Anda Bersyukur

Meskipun saya tidak pindah ke Amerika Serikat sampai saya dewasa, setiap tahun saya menantikan salah satu hari libur Amerika: Thanksgiving. Kalkun, pai labu, memasak berjam-jam dan bersantai bersama keluarga dan teman menjadikan hari itu sangat menyenangkan. Saya juga menantikan Thanksgiving untuk alasan penting lainnya: ini adalah hari yang mengingatkan kita akan pentingnya mengungkapkan rasa syukur.

Meskipun banyak dari kita memiliki banyak kesempatan untuk merasa bersyukur baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional, kita sering kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan rasa syukur tersebut, terutama di tempat kerja. Sebuah survei baru-baru ini terhadap 2.000 orang Amerika yang dirilis awal tahun ini oleh John Templeton Foundation menemukan bahwa orang-orang cenderung tidak merasakan atau mengungkapkan rasa syukur di tempat kerja daripada di tempat lain. Kita bahkan tidak bersyukur atas pekerjaan kita, kita bahkan cenderung menempatkannya pada urutan terakhir ketika diminta untuk membuat daftar hal-hal yang kita syukuri dalam hidup.

Gagal mengungkapkan rasa syukur saat kita bisa melakukannya adalah kesempatan yang terlewatkan setidaknya karena dua alasan. Pertama, merasa bersyukur memiliki beberapa efek menguntungkan pada kita: rasa syukur memungkinkan kita menikmati pengalaman positif, mengatasi keadaan yang penuh tekanan dan menjadi tangguh dalam menghadapi tantangan, dan memperkuat hubungan sosial kita. Penelitian psikologis [PDF] telah menunjukkan bahwa menulis surat ucapan terima kasih seminggu sekali selama periode enam minggu menghasilkan kepuasan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan sekadar merekam peristiwa kehidupan yang biasa.

Menghitung keberkahan yang kita dapat tidak hanya mampu menghibur diri kita; tetapi juga dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan kita. Dalam serangkaian penelitian terkenal [PDF], psikolog Robert Emmons dan Michael McCollough meminta partisipan untuk membuat jurnal mingguan selama sepuluh minggu. Beberapa diminta untuk menulis tentang lima hal atau orang yang mereka syukuri setiap minggu, beberapa diminta untuk menulis tentang lima kesulitan yang mereka alami selama seminggu, dan kelompok ketiga diminta untuk menulis tentang lima peristiwa yang terjadi selama seminggu. Partisipan diminta untuk membuat daftar kesulitan termasuk kesulitan seperti: parkir yang sulit ditemukan, menghabiskan uang terlalu cepat, dan makaroni dan keju yang dibakar. Mereka yang menuliskan keberkahan atau hal yang disyukuri menyebutkan pengalaman seperti kemurahan hati teman-teman mereka, belajar sesuatu yang menarik, dan melihat matahari terbenam melalui awan. Mereka yang berada dalam kelompok rasa syukur ini mendapat skor lebih tinggi pada ukuran emosi positif, gejala kesehatan fisik dan mental yang dilaporkan sendiri, dan mereka juga merasa lebih terhubung dengan orang lain dibandingkan dengan mereka yang membuat catatan rutin tentang hari-hari mereka atau menulis tentang kesulitan mereka.

Alasan kedua mengungkapkan rasa syukur adalah bahwa ungkapan terima kasih yang sederhana pun dapat memiliki efek yang kuat dan tahan lama bagi mereka yang menerimanya. Dalam penelitian kami [PDF], Adam Grant dan saya menemukan bahwa ungkapan syukur meningkatkan perilaku prososial yang memungkinkan orang merasa dihargai secara sosial. Dalam satu penelitian, partisipan diminta untuk mengedit cover letter dari para mahasiswa, kemudian partisipan menerima pesan netral dari mahasiswa tersebut (seperti, “Halo [nama], saya hanya ingin memberi tahu Anda bahwa saya menerima tanggapan Anda atas cover letter saya”) atau pesan terima kasih (seperti, “Halo [nama], saya hanya ingin memberi tahu Anda bahwa saya menerima tanggapan Anda di cover letter saya. Terima kasih banyak! Saya sangat berterima kasih”). Mahasiswa yang mengirim pesan tersebut kemudian meminta bantuan untuk mengedit cover letter yang lain setelah eksperimen berakhir dan partisipan tidak memiliki keinginan yang jelas untuk membantu. Di antara yang mendapatkan ucapan terima kasih, 66% bersedia memberikan bantuan lebih lanjut, dibandingkan dengan hanya 32% dari partisipan yang tidak diberi ucapan terima kasih.

Dalam studi kedua, kami menemukan bahwa partisipan yang membantu siswa pertama (“Eric”) dan kemudian mengucapkan terima kasih, lebih mungkin membantu siswa yang berbeda (“Steven”) di kemudian hari. Hanya 25% partisipan yang awalnya membantu Eric dan menerima pesan netral memutuskan untuk membantu Steven; sebaliknya, 55% dari mereka yang membantu Eric dan menerima pesan terima kasih darinya memutuskan untuk membantu Steven. Dengan demikian, menerima ungkapan terima kasih membuat orang merasa dihargai secara sosial dan memotivasi mereka untuk membantu penerima manfaat lainnya.

Ungkapan syukur yang sederhana ini cukup ampuh dalam konteks menolong, tetapi efeknya bahkan lebih luas. Dalam satu percobaan, kami membagi 41 penggalangan dana di universitas negeri AS yang meminta sumbangan alumni menjadi dua kelompok: kelompok “terima kasih” dan “tidak berterima kasih”. Yang berterima kasih menerima kunjungan dari direktur yang memberikan penghargaan tahunan, yang memberi tahu mereka: “Saya sangat berterima kasih atas kerja keras Anda. Kami dengan tulus menghargai kontribusi Anda untuk universitas.” Kelompok lain menerima feedback setiap hari tentang efektivitas mereka, tetapi tidak ada ungkapan terima kasih dari direktur mereka. Hasil? Volume panggilan mingguan penggalangan dana dalam kelompok yang berterima kasih meningkat rata-rata 50% seminggu setelah intervensi berlangsung, semua karena ekspresi terima kasih direktur memperkuat perasaan penggalangan dana tentang nilai sosial.Thanksgiving adalah waktu yang tepat untuk memikirkan mengenai rasa syukur, tetapi mendalami penelitian tentang mengucapkan rasa syukur memperjelas bahwa kita harus melakukannya lebih banyak sepanjang tahun.

Sumber: HBR (Francesca Gino, 26 November 2013)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *