Melibatkan Karyawan adalah Hal yang Bagus, Tapi Jangan Berhenti Disitu

Jenius, seperti yang dikatakan oleh Thomas A. Edison, terdiri dari 1% inspirasi dan 99% peluh. Namun, membangun sebuah perusahaan yang benar-benar dicintai karyawannya justru menggunakan rumus yang sebaliknya: hampir semuanya terdiri dari inspirasi, dan keringat hanya memiliki peran yang sangat kecil. Ini adalah kesimpulan yang mengejutkan dari penelitian terbaru Bain & Company yang dilakukan bersama dengan Economist Intelligence Unit. 

Jadi, begini latar belakangnya. Banyak orang yang berkomentar seenaknya tentang “keterlibatan” karyawan, seolah itu adalah konsep yang sudah mencakup keseluruhan dan mudah untuk didefinisikan. Akan tetapi, kami menemukan jika memang lebih mudah untuk membahasnya dengan memecah konsep tersebut ke beberapa bagian komponen. 

Elemen dasar—sebut saja kepuasan karyawan—merupakan hal fundamental seperti memiliki lingkungan kerja yang aman dan sarana yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan. Abraham Maslow mengajarkan kepada kita jika kita tidak dapat berfokus pada tujuan lain yang lebih tinggi sebelum kita memenuhi kebutuhan dalam hidup, termasuk keamanan. Oleh karena itu, dalam tempat kerja: keamanan adalah yang utama. 

Elemen selanjutnya adalah keterikatan yang sesungguhnya, seperti merasa menjadi bagian dari tim yang luar biasa, dimana Anda bisa belajar dan bertumbuh, dan Anda bisa memberikan pengaruh yang nyata. Kemudian, pada elemen teratas—bisa dikatakan setara dengan aktualisasi diri menurut teori Maslow—yaitu ketika Anda bisa merasa mendapat makna dan tujuan dari misi perusahaan. Inilah yang disebut dengan inspirasi. 

Hampir kebanyakan dari kita mengetahui betapa pentingnya inspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang dikatakan oleh seorang pakar, karyawan akan memiliki reaksi yang berbeda ketika berhadapan dengan sebuah dinding. Karyawan yang puas (satisfied employees) akan mengadakan meeting untuk mendiskusikan langkah apa yang harus diambil terkait dengan tembok itu. Karyawan yang merasakan keterlibatan (engaged employees) dengan perusahaan akan mencari tangga untuk memanjat dinding. Sementara itu, karyawan yang terinspirasi (inspired employees) akan menerobos dinding tersebut. 

Dalam penelitian tersebut, kami telah mensurvei 300 eksekutif senior dari berbagai perusahaan di seluruh dunia. Kami meminta mereka untuk menilai, berdasarkan hasil kerja karyawan, tingkat produktivitas dari karyawan yang tidak puas, puas, merasakan keterlibatan, dan merasa terinspirasi. Hasilnya menunjukkan produktivitas yang tinggi ada pada karyawan yang merasakan keterlibatan dan terinspirasi di tempat kerja. Jika karyawan yang puas memiliki tingkat produktivitas di level indeks 100, maka karyawan yang memiliki rasa keterlibatan memiliki level indeks 144, hampir setengah perbedaannya. Namun, ada yang lebih mengejutkan yaitu karyawan yang terinspirasi mencetak nilai 225 dalam skala ini. Dari perspektif kuantitatif, atau dalam kata lain, setidaknya membutuhkan dua seperempat karyawan yang puas untuk mendapatkan hasil yang sama dengan satu karyawan yang terinspirasi. 

Apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk membangun kepuasan, keterlibatan, dan inspirasi? Sayangnya, kebanyakan perusahaan justru melakukan cara yang salah.  

Mari lihat kembali pada para atasan. Para manajer sering kali menganggap jika permasalahan utama dari karyawan adalah seberapa banyak mereka bisa menghasilkan uang. Pekerjakan lebih banyak orang, maka mereka akan melakukan apapun yang diminta oleh perusahaan. Hal tersebut akhirnya membuat perusahaan terlalu banyak berinvestasi pada imbalan ekonomi. Nyatanya, hal ini justru bisa berdampak pada menurunnya tingkat keterlibatan dan membuat segalanya nampak seperti ganti rugi semata. Karyawan bukanlah mesin uang dan lebih banyak uang yang diberikan kepada mereka tidak akan meningkatkan rasa keterlibatan mereka.  

Di waktu yang sama, banyak perusahaan yang justru terlalu sedikit berinvestasi pada elemen-elemen mendasar lainnya. Ketika ada pernyataan, “Saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya secara efisien jika tidak ada birokrasi berlebihan”, berapa banyak orang di perusahaan Anda yang akan setuju dengan perkataan tersebut? Jika kebanyakan orang terus-terusan berurusan dengan meeting yang tak perlu, proses persetujuan yang rumit, dan hambatan rutinitas, mereka tidak akan merasa puas, apalagi merasakan adanya rasa keterlibatan atau terinspirasi. Cara kerja seperti ini, yang menentukan dimana kita bekerja, bagaimana kita bekerja, dan dengan siapa kita bekerja, akan sama pentingnya dalam menjelaskan pengalaman kerja kita sebagai proses bisnis formal dan juga menjelaskan konten pekerjaan. Pada akhirnya, hal tersebut sama dengan pernyataan, “Saya memiliki otonomi untuk melakukan pekerjaan saya.” Rendahnya rentang kontrol manajerial sering membuat supervisor mengelola tim mereka dengan pengelolaan mikro. Melakukan pekerjaan sering dinormalisasikan pada satu titik dimana orang tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan penilaian atau kreativitas mereka sendiri. 

Bagaimana Menjadi Perusahaan yang dicintai Karyawannya? 

Jawabannya, membutuhkan perpaduan misi, manajemen, dan budaya.

Lalu bagaimana dengan inspirasi? Pada saat proses pendiriannya, kebanyakan perusahaan memiliki tujuan dan misi yang mendalam (puncak piramida), yang menginspirasi karyawan dalam organisasi tersebut. Southwest Airlines menjanjikan “kebebasan untuk terbang” dengan harga yang rendah. Walmart memungkinkan orang untuk “menabung untuk kehidupan yang lebih baik.” Google ingin “mengorganisir informasi dari seluruh dunia.” Banyak perusahaan yang kehilangan misi mereka ketika pendiri perusahaan itu pergi atau meninggal, dan perusahaan tersebut pun akhirnya menua. Di titik ini, terkadang tujuan perusahaan tidak lebih dari sekadar untuk menghasilkan cukup uang di setiap kuartalnya untuk membuat laju ekonomi tetap berjalan—tidak sepenuhnya menginspirasi. 

Beberapa perusahaan mencoba menghidupkan kembali tujuannya, hanya saja, mereka sering kali menggunakan cara yang salah. Mungkin saja mereka menuliskan kalimat misi baru yang lebih berani, namun sayangnya tak ada seorang pun yang menganggapnya serius. Mungkin juga mereka mengabaikan hubungan antara misi perusahaan dengan misi individu atau tim, yang bisa menjadi sumber supaya karyawan merasa terinspirasi dengan tujuan perusahaan. Selain itu, banyak perusahaan yang mengevaluasi pemimpinnya hanya pada kinerja mendasarnya saja, dari sisi bonus, dan atas dasar apakah mereka berhasil menginspirasi orang yang mereka pimpin. 

Tentu saja, perusahaan membutuhkan pemimpin yang menjunjung nilai kinerja dan inspirasi, seperti halnya tempat kerja terbaik di luar sana yang membutuhkan kinerja dan keterlibatan yang tinggi. Masalahnya, tipikal manajer di masa kini umumnya hebat hanya dalam mencapai angka saja, namun hanya segelintir yang menguasai kemampuan untuk menjadi pemimpin yang inspirasional. Akibatnya, mereka tidak dapat mengelola individu secara maksimal, membangun dan memimpin tim-tim hebat, dan menghubungkan misi tim atau misi individu yang sesuai dengan tujuan perusahaan. Pastinya terdengar tidak realistis untuk berpikir bisa menginspirasi semua karyawan di perusahaan Anda dikarenakan tiap individu bekerja dengan alasan yang berbeda. Namun, banyak orang yang mencari kepuasan dalam pekerjaan mereka. Jika Anda tidak mencoba untuk menginspirasi karyawan-karyawan tersebut, Anda menyia-nyiakan kesempatan besar. 

Kabar gembiranya, kepemimpinan inspirasional bisa diajarkan dan dipelajari dan faktanya, kita semua memiliki beberapa kualitas untuk menjadi pemimpin yang menginspirasi. Rahasianya kita bisa membantu pemimpin membangun kekuatan yang mereka miliki dan mendukung kualitas tersebut untuk bisa bersamaan dengan kemampuannya dalam menginspirasi. Hal ini bisa dimulai dengan pemberian umpan balik 360 derajat untuk menilai kemampuan pemimpin dalam menginspirasi; hal ini termasuk lokakarya dan pelatihan individu untuk membantu eksekutif menjadi pemimpin inspirasional semampu mereka. Proses ini membutuhkan waktu dan usaha—meskipun hanya 1%–namun investasi untuk meningkatkan inspirasi karyawan akan memberikan dampak yang besar bagi produktivitas tenaga kerja dan hasil keuangan.

Sumber: Harvard Business Review (Eric Garton dan Michael Mankins, 9 Desember 2015)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *