Apa yang Para Leaders Salah Pahami Mengenai Kesehatan Mental

 (Tujuan dari setiap pemimpin haruslah menciptakan tempat kerja yang sedikit lebih baik daripada sebelumnya)

Setelah hampir dua tahun pandemi global dan daftar panjang dampak negatifnya, kesehatan mental kolektif kita tidak pernah lebih rapuh dari sekarang. McKinsey baru-baru ini mensurvei 5000 warga Amerika dan menemukan 37% dari mereka didiagnosa permasalahan kesehatan mental atau mencari pengobatan untuk kesehatan mental di tahun 2021. Dengan ketidakpastian seputar varian Omicron, masyarakat seluruh dunia menderita perasaan semacam siklus kegelisahan, depresi dan kehilangan tanpa henti, bukan hanya untuk jutaan orang yang kehilangan hidupnya dari penyakit ini, tapi akan kebebasan yang selama ini kita dapatkan.  

Salah satu dari sedikit hikmah dari momen menghancurkan ini adalah adanya kemajuan yang ditandai dengan menghilangkan stigma terhadap kesehatan mental. Dalam proses yang mengakibatkan malapetaka pada hidup kita, COVID telah memulai diskusi tentang pentingnya memberikan dukungan kesehatan mental. Studi terbaru kami yang dilakukan oleh Forrester Consulting menemukan banyak temuan yang menggembirakan, termasuk 85% pemimpin tingkat korporat dan SDM yang percaya kalau kesehatan mental bukan hanya tentang penyakit mental, tetapi sesuatu yang dimiliki setiap karyawan.

Namun, ada satu statistik yang kurang menggembirakan: Lebih dari setengah (54%) dari pimpinan tingkat korporat berpikir manfaat kesehatan mental tidak tersedia bagi karyawan di masa dulu dan seharusnya tidak menjadi prioritas di masa ini. Kelompok pimpinan seperti ini perlu disadarkan. 

Hal-hal mulai berubah

Ini jelas. Kesehatan mental dan burnout disebut-sebut dalam ulasan Glassdoor sebanyak lebih dari dua kali lipat selama pandemi dan studi baru-baru ini menemukan bahwa mayoritas pekerja berpengetahuan (69% yang bekerja jarak jauh dan 61% yang bekerja di kantor) percaya jika kesehatan mental karyawan adalah tanggung jawab bersama antara karyawan dan pimpinan. Ekspektasi ini secara cepat menjadi taruhan meja, terutama di kalangan generasi muda. Faktanya, menurut penelitian kami, 86% dari mereka yang berusia 18-29 tahun mengatakan bahwa mereka akan lebih mungkin bertahan di perusahaan yang menyediakan sumber daya berkualitas tinggi untuk merawat kesehatan mental mereka. Di tengah “Great Resignation” dan di tengah perang bakat yang memanas, ini adalah statistik yang tidak dapat diabaikan.

Standar Gen-Z

Gen Z dewasa yang berusia 18-23 tahun, dilaporkan memiliki tingkat stres tertinggi dibandingkan dengan generasi lainnya dan merupakan kelompok usia yang paling mungkin melaporkan gejala depresi, menurut survei Stres di Amerika tahun 2020 dari American Psychological Association. Karena Gen Z akan mewakili 82 juta orang pada tahun 2026 dan segera menjadi bagian besar dari angkatan kerja modern yang terus bertambah, kebutuhan dan standar mereka untuk dukungan kesehatan mental harus membentuk kepemimpinan. Penelitian kami menemukan bahwa standar mereka semakin tinggi dan tinggi, dengan 41% anak berusia 18-29 tahun mengatakan bahwa mereka berpikir tunjangan kesehatan mental akan menjadi persyaratan hukum bagi semua pemberi kerja dalam waktu lima tahun.

Namun, terlepas dari prediksi mengenai masa depan, banyak yang masih ragu untuk membagikan permasalahan mereka dengan pimpinannya saat ini. Sebuah laporan Deloitte tahun 2021 menemukan bahwa hanya 4 dari 10 pekerja Gen Z yang mengemukakan masalah kesehatan mental kepada manajer mereka, menunjukkan stigma yang bertahan lama yang kemungkinan diakibatkan oleh kecenderungan para pemimpin untuk berpegang pada standar masa lalu.

Sisi positif dari sejarah

Bukan hal yang aneh bagi generasi yang lebih tua untuk menyebut “anak-anak zaman sekarang” sebagai orang yang merasa berhak atau egois, tetapi mengingat kehidupan Gen Z yang akrab dengan disrupsi digital, ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari mereka. Dan mengingat generasi ini akan menggerakkan masa depan bisnis, kita harus belajar dari mereka sama seperti mereka belajar dari kita.

Setiap generasi ditentukan oleh peristiwa-peristiwa besar yang terjadi selama hidup mereka dan sesudahnya. Tumbuh di dunia pasca-9/11 dengan pengaruh budaya seperti Black Lives Matter dan sekarang adanya pandemi global, Gen Z telah belajar beradaptasi dengan gangguan dengan ketangkasan. Contoh kasusnya adalah kerja jarak jauh. Gen Z dengan cepat merangkul tren yang didorong oleh pandemi, tetapi dengan peringatan bahwa pekerjaan juga harus menggabungkan fleksibilitas, otonomi, dan fokus pada kesehatan. Dan sejujurnya, peringatan ini membuat pekerja lebih baik.

Penelitian kami menemukan jika 67% dari pimpinan tingkat korporat berpikir manfaat kesehatan mental bisa membuat karyawan lebih produktif dan 62% dari manajer dan karyawan setuju. Dengan pemikiran ini, bersamaan dengan adanya Great Resignation, yang masih berlaku penuh menurut data Labor Department yang baru menunjukkan jika warga Amerika keluar atau mengubah pekerjaan dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya, menawarkan dukungan kesehatan mental kepada karyawan sebenarnya adalah hal yang mudah. 

Dari baby boomers ke Gen Z, setiap generasi karyawan telah memperkenalkan standar tempat kerja baru. Sebagai pemimpin, ini adalah tanggung jawab kita untuk beradaptasi, dibandingkan hanya dengan mendengarkan, kembali seperti masa lalu.

Sumber: Entrepreneur (Alyson Watson, 19 Februari 2022)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *