Mengapa Kadang Lebih Susah Mendapat Pekerjaan Saat Anda ‘Melebihi Kualifikasi’ yang dibutuhkan?

Kepercayaan yang berlaku sekarang ini adalah: Jangan merekrut pekerja yang melebihi kualifikasi. Mereka akan jadi bosan, tidak puas, dan berisiko kabur. 

Tapi, bukankah itu bergantung pada kandidat dan bukan perusahaan yang memutuskan? Kenapa kita begitu memercayai kalau ada lebih banyak kepuasan pada pekerjaan yang secara terus menerus memaksa kita melewati batas kapasitas mental, waktu, dan stamina? Bukankah Great Resignation telah menunjukkan pada kita kalau kita tidak bisa mengikuti kecepatan ini?

Saya keluar dari pekerjaan saya di akhir tahun 2020 bersamaan dengan jutaan pekerja Amerika. Saya telah menghabiskan 8 tahun melakukan pekerjaan penyuntingan di perusahaan teknologi, perusahaan rintisan, dan publikasi online. Mulanya saya menjadi penulis teknikal, menjadi penyunting naskah, redaktur pelaksana, kemudian content strategist—urutan yang bisa diprediksi bagi karier seperti saya. Kurang dari satu dekade, saya mampu mengelola proyek penyuntingan besar, memulai publikasi dari bawah ke atas, merekrut dan mengelola tim. Tapi saya kelelahan. Dengan setiap langkah naik, semakin banyak tanggung jawab, pekerjaan, dan jam kerja. Stres menaiki tangga karier menggerogoti saya, dan saya hanya bisa mencapai maksimal di usia 29. Bagaimana bisa saya berhasil hingga usia 65?

Tujuan saya bukanlah menduduki jajaran direksi ataupun VP. Saya ingin mahir dalam pekerjaan saya, ketertarikan kreatif saya, dan mempertahankan keseimbangan yang stabil. Ambisi saya ingin beristirahat dengan baik, banyak membaca, menulis dengan baik, memiliki hubungan yang sehat, dan kehidupan intelektual yang aktif. 

Kita beranggapan jika jalur yang biasanya berjalan ke atas. Kita terlalu terbiasa dengan panjatan karier yang vertikal, sehingga cara lain terasa aneh. Setidaknya sekarang, para pekerja mulai menyadari pergerakan karier secara menyamping, namun bagaimana dengan para profesional yang ingin turun satu pasak—atau bahkan dua atau tiga?

Ketika saya keluar dari pekerjaan saya, saya tidaklah buta arah. Saya dengan jelas tahu apa yang saya inginkan: ruang untuk bernapas. Dan saya begitu bahagia saya memotong gaji untuk mendapatkannya. 

Waktu itu, saya melamar pekerjaan penyuntingan. Saya mencintai pekerjaan tersebut. Susah, tapi itu adalah pekerjaan cerdas dan kreatif, dan itu adalah pekerjaan di mana saya merasa paling seimbang. Menyunting naskah itu adalah sebuah seni, sesuatu yang bisa dipraktikkan di tingkat manapun. Saya ingin mendapatkan posisi yang baik dan tetap ada di sana. Pada wawancara berikutnya, bukan kemampuan saya yang dipertanyakan, tetapi motivasi saya: Kenapa Anda ingin mendapat pekerjaan yang telah Anda miliki 6 tahun lalu?

Saya tidak pernah merasa begitu kesulitan membuktikan diri pada pewawancara. Saya bukanlah yang pertama mengalami ini, tentu saja. Ketika Amy deCastro, yang telah menghabiskan satu dekade dalam bidang HR, memasuki dunia tenaga kerja setelah 2 tahun lamanya, dia juga kesulitan untuk bisa melewati gerbang masuk. “Mereka menafsirkan jika saya memberikan penawaran yang terlalu banyak, atau mungkin saya ingin dibayar lebih. Namun kenyataannya, saya tidak pernah punya kesempatan untuk [menjelaskan kenapa saya ingin pekerjaan ini] karena saya tidak diberikan kesempatan untuk masuk ke proses tersebut.”

Dia mendengar kalimat yang sama seperti saya: “Pengalaman Anda sedikit terlalu senior. Kami berpikir Anda akan bosan di posisi ini. Saya tidak merasa ini menjadi bidang dan keahlian yang biasanya Anda lakukan.” Namun deCastro merasa itu harus menjadi keputusannya. “Mengesalkan sekali buat saya untuk Anda di sana, bahkan tidak diberikan kesempatan,” katanya. “Meski di CV saya, saya memiliki profesional senior dalam sertifikasi HR. Saya telah memiliki pengalaman global bertahun-tahun di perusahaan besar. Saya begitu terlibat secara eksternal. Saya merasa seperti, ‘Astaga, mereka akan mendapatkan orang yang hebat.’”

Dengan menyingkirkan pekerja yang melebihi kualifikasi dalam proses perekrutan, para pimpinan melewatkan pekerja yang berpengalaman, berkemampuan tinggi yang begitu yakin dengan tujuan profesional mereka. 

DeCastro telah menaiki tangga karier dan sekarang menjabat sebagai VP di bidang HR, bisnis global di Schneider Electric, di mana dia mengatakan dia begitu menyakinkan kalau menjadi orang yang berkualifikasi tinggi “bukanlah sebuah masalah.” Pada beberapa kondisi, justru bisa menjadi keuntungan. DeCastro tahu dari pengalamannya betapa menantangnya hal tersebut, sehingga ketika ada resume dari seorang yang melebihi kualifikasi mendarat di mejanya, dia tidak melewatkannya. “Ya, mereka memang melebihi kualifikasi, tapi mereka akan membawa terlalu banyak dan saya tidak masalah dengan hal itu. Saya melihat semangat dalam diri mereka.” DeCastro percaya jika kualifikasi adalah apa yang bisa kandidat berikan pada perusahaan, bukan apakah mereka sudah melakukan pekerjaan itu sebelumnya. Nyatanya, dia menemukan jika anggota yang melebihi kualifikasi adalah mentor yang ideal dan bisa membantu mengembangkan dan memajukan tim.  

Terakhir kali adanya ketidaksesuaian antara ketertarikan dan kualifikasi kandidat adalah saat terjadinya Great Recession, saat ada banyaknya talenta di pasar. Pada awal tahun 2010, banyak pimpinan menolak pekerja yang melebihi kualifikasi, mereka yakin jika pekerja yang melebihi kualifikasi hanya akan berakhir pada pemutusan kerja, ketidakpuasan kerja, dan risiko kabur. Namun, hal itu tetap terjadi: 10 tahun kemudian, banyak pekerja yang memutuskan berhenti, tidak puas, dan keluar dari perusahaan. 

Oliver Hahl, profesor teori organisasi, strategi, dan kewirausahaan di Tepper School of Business di Carnegie Mellon University, telah mempelajari kapabilitas kandidat dan komitmennya pada perusahaan. Dia percaya mungkin kita menyaksikan adanya perubahan saat kita ‘melebihi kualifikasi’, dan siapa yang akan memutuskannya. Posisi yang keren di perusahaan ternama biasanya begitu menarik bagi pencari kerja. “Sekarang, evaluasi pekerjaan terlihat berbeda,” dia berkata mengenai Great Resignation

Para karyawan tidak terlihat hanya mementingkan hierarki, setidaknya tidak seperti dulu. Bukan malah mencari langkah selanjutnya untuk menaiki tangga perusahaan atau mempedulikan hustle culture, banyak pencari kerja yang bertanya: Bisakah saya menjalani hidup yang saya inginkan? “Saya berpikir dari beberapa sisi,” kata Hahl, “jika langkah mundur bisa saja terlihat lebih bermakna bagi para pencari kerja.” 

Saya tidak bisa menemukan pekerjaan penuh waktu sebagai penyunting naskah. Saya menjadi pekerja lepas dan membangun jaringan klien yang tidak khawatir dengan motivasi saya. Kemampuan saya cocok dengan kebutuhan mereka. Saya melebihi kualifikasi pada kebanyakan pekerjaan yang saya lakukan, meskipun tidak semua, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, saya begitu terhubung dengan pekerjaan saya, saya merasa puas. Saya bekerja dalam kecepatan saya sendiri. 

Sumber: FastCompany (EMILY MCCRARY-RUIZ-ESPARZA, 19 Januari 2022)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *