Kapan (dan Bagaimana) Mengatakan “Tidak” Terhadap Peluang yang Ada

Mengetahui peluang mana yang harus diterima dan yang mana yang harus ditolak bisa menjadi tantangan tersendiri. Tetapi, membuat keputusan dengan berhati-hati dapat memberikan perbedaan apakah nantinya kita menjalani kehidupan yang sukses dan memuaskan atau kehidupan yang kurang memuaskan secara signifikan, jadi lebih baik pertimbangkan keputusan Anda dan lebih selektif saat menilai peluang yang benar-benar akan menguntungkan Anda.

Beberapa minggu yang lalu, saya ditawari untuk menjadi pembicara inti di sebuah acara untuk chief marketing officer. Nampaknya seperti peluang besar, tetapi anggaran mereka hanya sepertiga dari gaji saya.

Haruskah saya menerima tawaran menjadi pembicara itu dengan biaya lebih rendah, atau haruskah saya menolaknya? Perdebatan besar pun dimulai dalam pikiran saya.

Sebagai orang yang secara alamiah menjadi people-pleaser, saya selalu merasa sulit untuk mengatakan tidak. Apalagi dikombinasikan dengan fakta jika saya selalu terbuka dengan peluang baru (dan peluang baru hanya bermanfaat ketika Anda mengatakan ya), saya memiliki kecenderungan untuk mengatakan ‘ya’ terlalu sering.

Selama masa karier saya, saya mengatakan ya saat diminta memilih bintang tamu yang akan berbincang di podcast saya, meskipun insting terbaik saya (dengan benar) mengatakan jika mereka akan menghasilkan wawancara yang kurang bersemangat. Saya mengatakan ya untuk menghadiri acara yang sebenarnya tidak saya minati, berpikir jika mereka akan memperluas jaringan saya, hanya pada akhirnya diisi dengan kecanggungan sosial dan kebosanan saat datang ke sana. Dan saya mengatakan ya untuk jadi pembicara di begitu banyak acara sehingga saya telah mengatur seluruh jadwal saya, pada akhirnya membuat saya tidak punya waktu untuk mengerjakan proyek yang secara aktif ingin saya kejar.

Tentu saja, saya harus melakukan perubahan.

Untuk mendapatkan pemahaman tentang bagaimana saya dapat menimbang keputusan saya dengan lebih baik dan lebih selektif ketika menilai peluang yang benar-benar akan menguntungkan saya, saya bertanya kepada beberapa bintang tamu sukses di podcast saya tentang bagaimana mereka membuat keputusan.

Inilah saran yang menurut saya paling membantu.

Mengakali prinsip kesenangan.

Salah satu jebakan yang saya alami adalah mengatakan ya pada sebuah peluang hanya karena peluang itu masih jauh di masa depan, pada saat jadwal saya sangat kosong, dan mengisi jadwal dengan agenda tersebut membuat saya merasa lebih produktif. Saya berpikir, tentu, kedengarannya menyenangkan, dan sepertinya saya punya waktu untuk itu.

Mengatakan ya juga lebih mudah daripada mengatakan tidak. Dibutuhkan lebih sedikit waktu dan tidak memerlukan penjelasan yang bijaksana. Tapi, ketika acara itu mau tidak mau terjadi, saya mulai menyesali keputusan saya, karena jadwal saya menjadi semakin padat.

Sigmund Freud menyebut keuntungan jangka pendek untuk rasa sakit jangka panjang ini sebagai prinsip kesenangan (pleasure principal), kecenderungan kita sebagai manusia untuk mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Ketika kita langsung mengatakan ya, kita disambut dengan tanggapan positif dari si pemohon, yang membuat kita merasa senang—terutama jika kita memiliki kebiasaan menyenangkan orang lain. Namun, rasa sakit itu muncul kemudian, ketika kita benar-benar harus menindaklanjutinya.

Salah satu bintang tamu di podcast saya, seorang guru motivasi, Turia Pitt, mengatakan kepada saya bahwa dia sering jatuh ke dalam perangkap ini. Pitt sering diminta untuk menjadi pembicara beberapa bulan sebelumnya. “Saya berpikir, ‘Oh, sepertinya masih dalam waktu enam bulan, tidak masalah, saya akan baik-baik saja,’” katanya. “Dan kemudian ketika waktu itu tiba, saya jadi berpikir, ‘Ya ampun, mengapa saya mengatakan ya?’”

Untuk memutus siklus semacam ini, Pitt menanyakan tiga pertanyaan kepada dirinya sendiri sebelum menjawab suatu tawaran: Jika kesempatan atau peristiwa ini terjadi Selasa depan, bagaimana perasaan saya mengenai hal ini? Apakah saya akan seperti, “Ya! Saya tidak sabar menunggu saat itu terjadi”? Atau akankah saya jadi takut dengan hal ini?

Jika dia tidak merasa bersemangat tentang tawaran apa pun yang diberikan, maka jawabannya sudah jelas.

Sekarang, saya pun bertanya pada diri sendiri menggunakan pertanyaan ini, dan saya merasa pertanyaan ini membantu saya fokus pada bagaimana perasaan saya yang sebenarnya tentang peluang apa pun yang sedang saya pertimbangkan. Jika Anda juga kesulitan mengatakan tidak, ini adalah strategi yang saya rekomendasikan.

Perkirakan waktu (dengan bermurah hati).

Masalah lain yang sering saya hadapi adalah saya sangat meremehkan waktu yang saya miliki, jika memang, saya mengatakan ya. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu, saya diminta untuk duduk di sebuah komite untuk meninjau program MBA dari sekolah bisnis Australia yang bergengsi.

Saya memiliki pandangan yang kuat tentang bagaimana program MBA dapat mempersiapkan lulusan terbaik untuk peran leadership, dan mengingat bahwa perusahaan konsultan saya telah merekrut beberapa mahasiswa MBA dari lembaga ini di masa lalu, saya secara egois termotivasi untuk melakukan brainstorming bagaimana dapat menghasilkan lulusan yang lebih sukses. Jadi, seperti biasa, saya setuju dengan penawaran yang diberikan.

Setelah meeting tiga jam pertama yang melelahkan, saya langsung menyesali keputusan saya.

Mantan penulis dan desainer ventura Google, John Zeratsky, menyebut masalah saya sebagai ‘Iceberg Yes.’ “Ketika kita memutuskan apakah akan melakukan sesuatu—proyek, pekerjaan, program sukarela, dan lainnya—kita cenderung fokus pada bagian yang nampak dan menarik. Dengan kata lain, kita fokus pada puncak gunung es yang berkilauan yang berada di atas air.” Zeratsky menunjukkan bahwa sebagian besar komitmen waktu tersembunyi di bawah permukaan.

Ketika Zeratsky menerima suatu tawaran, dia kemudian membayangkan seluruh ‘gunung es’—bukan hanya apa yang ada di atas permukaan. Dia mempertimbangkan semua pekerjaan yang akan berkaitan dengan keputusannya sebelum sampai ke bagian yang menarik. Dia juga mempertimbangkan berapa banyak waktu yang akan diambil dari jadwal kerja regulernya.

“Misalnya, ketika saya setuju untuk menjadi pembicara, itu juga berarti saya juga menjadwalkan waktu untuk mempersiapkan acara itu. Itu membuat lebih sulit untuk mengatakan ya, tapi itu sebenarnya hal yang baik.”

Saya menemukan strategi Iceberg Yes sangat berguna ketika memutuskan apakah akan mengatakan ya pada penawaran bintang tamu podcast. Selain melakukan wawancara yang sebenarnya, saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya akan merasa senang menghabiskan empat hingga delapan jam untuk menganalisis orang ini dalam persiapan wawancara?” Jawaban atas pertanyaan ini membuat keputusan saya menjadi mudah.

Lain kali jika Anda diminta untuk melakukan sesuatu yang awalnya terdengar menarik—seperti menulis sebagai penulis tamu di postingan blog, berpartisipasi dalam panel, atau mempresentasikan topik yang Anda sukai—ambil jeda dan pikirkan betapa kurang menariknya pekerjaan itu nantinya jika Anda mengatakan ya.

Apakah Anda bisa berkomitmen dengan waktu Anda secara penuh untuk tawaran tersebut? Jika ya, Anda bisa mempertimbangkan untuk mengatakan ya dengan percaya diri, mengetahui bahwa Anda akan mampu memenuhinya.

Menerapkan beberapa aturan keras.

Terakhir, membuat keputusan membutuhkan banyak energi. Penelitian tentang kelelahan dalam pengambilan keputusan menunjukkan bahwa semakin banyak keputusan yang kita buat selama satu hari, semakin buruk pengambilan keputusan kita karena cadangan kemauan yang terbatas. Oleh karena itu, saya berhasil menerapkan aturan keras dan cepat untuk diri saya sendiri dalam membantu mempersingkat proses pengambilan keputusan.

Saya membingkai aturan saya tersebut dengan kata-kata “Saya tidak …” (Saya tidak melakukan X; saya tidak melakukan Y) supaya aturan itu terasa jadi bagian nyata dari identitas saya.

Saya punya aturan, misalnya, saya tidak menerima tawaran jadi pembicara di acara makan malam. Saya sudah cukup sering menjadi pembicara di ruangan yang penuh dengan orang mabuk dan itu bukan sesuatu yang ingin saya lakukan lagi dalam hidup saya. Ketimbang harus  mempertimbangkan setiap peluang yang ada selama acara makan malam atau saat meminum koktail, saya hanya mengatakan kepada penyelenggara, “Saya tidak mengambil tawaran menjadi pembicara di acara makan malam.”

Ketika Anda membuat aturan Anda sendiri, pertimbangkan kelebihan Anda dan jenis aktivitas yang memberikan energi pada Anda. Misalnya, Anda mungkin merasa sangat cemas menghadiri acara networking, tetapi di lain sisi menyadari jika membangun networking itu penting untuk karier Anda. Dengan demikian, Anda mungkin bisa menerapkan aturan untuk diri sendiri bahwa Anda tidak menghadiri acara networking karena itu tidak bermanfaat bagi Anda, tetapi sebaliknya, Anda secara proaktif menjangkau orang tertentu untuk percakapan satu lawan satu untuk membangun networking di kondisi yang lebih sedikit memicu kecemasan.

Memilih antara mengatakan ya atau tidak pada setiap peluang itu memang sulit—tetapi, membuat keputusan dengan hati-hati dapat memberikan perbedaan apakah nantinya kita menjalani kehidupan yang sukses dan memuaskan atau kehidupan yang kurang memuaskan secara signifikan.

Sumber: HBR (Amantha Imber, 22 Agustus 2021)

Share your love
Facebook
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *